Industri hijau di Jawa Barat hanya berkontribusi kurang dari 5 persen total ekspor selama 2023. Padahal, potensi ekonomi hijau sangat besar dapat menopang ekspor non-migas Jabar.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kontribusi industri hijau dari Jawa Barat hanya kurang dari 5 persen dari total ekspor selama tahun 2023. Jika dimaksimalkan, potensi ekonomi hijau bisa menjadi penopang ekspor nonmigas Jabar selain sektor lainnya.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (DPD GPEI) Jabar Abdul Sobur menyatakan, tren ekspor Jabar tahun ini masih tunjukkan penurunan dibandingkan tahun kemarin. Sentimen geopolitik, seperti perang dan inflasi global, disebut sebagai penyebab penurunan tersebut.
Berdasarkan data yang dirilis GPEI Jabar, nilai ekspor nonmigas provinsi ini mencapai 30,45 miliar dollar AS dalam kurun Januari-Oktober 2023. Jumlah ini turun 5,77 persen dalam periode yang sama pada tahun 2022 sebesar 32,24 miliar dollar AS.
Meski alami penurunan, nilai ekspor nonmigas Jabar tetap menjadi yang teratas di Indonesia karena setara dengan 15,18 persen nilai ekspor nasional tahun 2022. Namun, Abdul mengingatkan, tren ini bisa saja berubah jika Jabar terlalu bertopang pada industri manufaktur hingga garmen yang membutuhkan bahan baku impor.
Di sisi lain, Jabar memiliki potensi industri hijau yang bisa menopang perekonomian tetapi belum dimanfaatkan maksimal. Industri ini mengolah hasil bumi sehingga menambah nilai jual. Contohnya, rempah yang diolah menjadi bahan herbal, kosmetik, mebel, dan lainnya.
Abdul melihat Jabar bisa memimpin sektor industri ini asalkan ada perbaikan rantai pasok. Apalagi, industri hijau menyerap tenaga kerja. Potensinya bisa dilihat dari rantai produksinya yang melibatkan banyak pihak dari hulu hingga ke hilir.
Menurut Abdul, ada banyak pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang bisa masuk ke dalam industri hijau karena bahan mentah yang melimpah. Di GPEI, lanjutnya, 80 persen eksportir berasal dari UMKM sehingga potensi industri hijau ini bisa digarap maksimal.
”Saat ini kontribusi industri hijau di Jabar baru sekitar 5 persen dari total ekspor. Padahal, jika dimaksimalkan, kontribusi idealnya bisa 60 persen. Jabar memiliki lahan yang luas dan pelaku usaha yang kreatif sehingga memiliki potensi besar untuk maju di sektor industri hijau,” ujarnya.
Menurut Tenaga Ahli Free Trade Agreement (FTA) Center Bandung Ponirin Sugito, strategi pendekatan produk bisa dilakukan untuk meningkatkan ekspor di tahun mendatang. Riset pasar baru hingga penetrasi pasar perlu dilakukan untuk menembus celah pasar internasional yang masih diliputi berbagai permasalahan global.
Ponirin mengatakan, perbaikan kurasi dari industri kecil dan menengah yang berorientasi ekspor harus dilakukan sehingga kualitas, kuantitas, kapasitas, kemasan, dan kontinuitas bisa memenuhi standar pasar. Peningkatan kapasitas dari eksportir hingga klusterisasi produk juga perlu disambut dengan promosi di negara-negara tujuan.
”Target pertumbuhan ekspor nonmigas di Jabar tahun 2024 mencapai 3,02 persen. Strategi pengembangan produk untuk ekspor, peningkatan citra produk unggulan, dan pameran internasional perlu diiringi sinergi dan kolaborasi dari berbagai pihak,” ujarnya. (RTG)