Membangkitkan Aroma Kuno Kapur Barus yang Hampir Punah
Pernah dianggap punah, aroma kuno kapur barus kini semerbak lagi. Penelitian senyawanya mengungkap hal menakjubkan.
Pernah dianggap punah, wangi kapur barus tiba-tiba menyeruak di ruang diskusi Museum Sejarah Al Quran Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara. Rupanya, sekian lama riset dilakukan dan mengungkap hasil menakjubkan.
Aroma kuno itu menyeruak dari botol-botol kecil berisi minyak dan kristal kapur barus, Sabtu (16/12/2023). Aswandi dan Cut Rizlani membawanya dari hutan kapur di Pakpak Bharat. Pasangan peneliti di Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu sudah bolak-balik melakukan sejumlah riset kapur barus. Hasil identifikasi kandungan senyawa dalam kapur barus sangat menakjubkan.
”Pantas saja, kapur Sumatera menjadi bahan obat yang nilainya setara emas dan telah digunakan para tabib Timur Tengah lebih dari 1.000 tahun lalu,” kata Aswandi dalam diskusi bertajuk ”Riset Penyelamatan Kapur Pakpak sebagai Warisan Dunia”.
Wewangian kuno dari resin tanaman kapur Sumatera yang pernah dianggap punah akhirnya semerbak kembali. Itu terjadi setelah ditemukan ratusan hektar pohon kapur terakhir di Pakpak Bharat. Ia pun mengambil resin kapur barus. Lokasinya di Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Pakpak Bharat.
Baca juga : Situs Bongal di Tapanuli Tengah Diduga Kosmopolitan sejak Abad PertamaMasehi
Pohon kapur barus hampir punah di hutan. Hanya tersisa puluhan batang di ladang warga di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Secara mengejutkan, sekitar 800 hektar hutan kapur purba ditemukan di Pakpak Bharat. Tidak hanya hutan, jejak peradaban kuno kapur barus juga masih ditemukan di desa itu berupa pengetahuan tradisional warga tentang cara mengambil kapur barus, kegunaan untuk pengobatan, wewangian, hingga pengawet jenazah sebelum ada formalin.
Bahkan, di hutan itu masih ada puluhan pohon kapur berdiameter 2,5 meter berusia 200-300 tahun. Pohon kapur Sumatera adalah jenis Dryobalanops aromatica sinonim Dryobalanops sumatrensis. Jenis ini, kata Aswandi, yang dicari pedagang dunia sehingga mereka rela datang ke pantai barat Sumut, yakni Bongal dan Barus di Tapanuli Tengah.
Pohon kapur Sumatera ini berbeda dengan kapur (kamper) di hutan Kalimantan (Dryobalanops champhora) yang tidak menghasilkan kapur. Masyarakat juga sering terkecoh karena ada produk pewangi lemari menggunakan nama kapur barus. Produk itu sama sekali berbeda dengan kapur barus dari resin tanaman.
Aswandi dan Cut memaparkan hasil penelitian tentang kandungan senyawa kapur barus. Mereka meneliti kapur barus dalam bentuk minyak, kristal, dan air. Sedikitnya ada 45 senyawa obat yang sangat penting dan senyawa aromatik berharga.
Di dalam resin kapur barus, misalnya, terdapat senyawa boron yang sangat penting dalam peningkatan kepadatan tulang, fungsi otak, dan mencegah radang sendi. Ditemukan juga senyawa antivirus camphene, asam propenoate yang merupakan antibakteri dan bisa mengatasi robekan pada serviks.
Senyawa obat lain berfungsi sebagai antikanker, antiinflamasi, dan antidepresan. Kapur barus juga memiliki asam sinamat yang merupakan senyawa penting dalam industri wewangian.
”Bagi dunia kedokteran dan industri wewangian, kandungan senyawa dalam kapur barus ini sangat menakjubkan. Jika senyawa-senyawa ini dimurnikan, secara ekonomi nilainya sangat tinggi,” kata Aswandi.
Lihat juga : Peradaban Sunyi Kemenyan Tanah Batak yang Mendunia
Penelitian lanjutan potensi fitokimia kapur barus, kata Aswandi, masih dibutuhkan. Senyawa yang ditemukan dalam minyak (ombil), kristal (keburuen), dan juga air kapur (lae kapur) berbeda-beda. Minyak kapur juga dibagi tiga jenis oleh warga Pakpak, yakni ombil suka (kualitas terbaik), ombil tengah, dan ombil tebu.
Aswandi mengatakan, tidak semua pohon kapur menghasilkan kristal ataupun minyak. Namun, hampir semua pohon dapat menghasilkan air dengan cara disadap. Karena itu, penelitian dan pengembangan air kapur barus sangat potensial karena lebih konservatif.
Ini berbeda dengan pengambilan kristal dan minyak yang kadang membuat pohon mati. Dalam peradaban tradisional, kristal kapur barus diambil dengan cara menebang pohon. Pohon lalu dibelah dan kristal diambil di tengah batangnya.
Bagi dunia kedokteran dan industri wewangian, kandungan senyawa dalam kapur barus ini sangat menakjubkan. Jika senyawa-senyawa ini dimurnikan, secara ekonomi nilainya sangat tinggi.
Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari menyebut, peradaban kapur barus, dan juga kemenyan, sudah ada paling tidak sejak 1.500 tahun lalu. ”Peralatan berkaitan dengan ekstraksi minyak kuno ini bahkan ditemukan di pantai barat Sumut dalam jumlah yang cukup meyakinkan,” kata Ichwan.
Ia pun menunjukkan beberapa botol parfum atau minyak aromatik kuno yang ditemukan dari penggalian arkeologi di situs Bongal, Kabupaten Tapanuli Tengah. Botol yang berasal dari abad ke-7 hingga abad ke-10 itu merupakan jejak pedagang Timur Tengah yang datang ke Nusantara.
Setelah melihat kerak di dalam botol kaca itu, Aswandi menduga masih ada jejak senyawa yang tertinggal. Ia lalu membilas kerak itu dengan memasukkan cairan etanol ke dalam lima botol kuno. Lima sampel itu akan diteliti untuk melihat senyawa apa saja yang terkandung dalam botol itu.
Botol tersebut dapat mengungkap jejak industri kapur barus dan kemenyan di Sumatera. Di situs Bongal ditemukan juga alembic atau gelas penyulingan. Di daerah itu sendiri tidak tumbuh kapur sehingga diperkirakan ada hinterland (daerah belakang) yang memasok kapur ke sana, yakni Pakpak Bharat dan daerah sekitarnya.
Sumber tertulis menyebut, sejak abad pertama Masehi sudah ada komoditas kapur. Dalam kisah di Timur Tengah, kata Ichwan, pembalseman mayat di masa Firaun menggunakan kapur barus sebagai salah satu campuran.
Kafura juga disebut di dalam Al Quran, artinya ’kapur dari Barus’. Kapur barus dan kemenyan yang termasyhur ke berbagai penjuru dunia menjadikan Bongal dan Barus bandar pelabuhan dan pusat perdagangan yang kosmopolitan sejak abad ke-7.
Ketua Komunitas Kafur Sumatera yang juga pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Hardiansyah Sinaga, mengatakan, penemuan ratusan hektar hutan kapur di Pakpak Bharat tidak hanya membangun optimisme, tetapi sekaligus menyadarkan akan ancaman yang dihadapi hutan kapur terakhir itu. ”Karena itu, upaya pengamanan dan penyelamatan hutan kapur harus dilakukan,” kata Hardiansyah.
Komunitas Kafur Sumatera mendorong pemerintah dan pemangku kepentingan lain melakukan penyelamatan kawasan, konservasi tanaman, pelestarian peradaban dan budaya, dan pengembangan ekonomi masyarakat lokal.
Di akhir diskusi, Cut meramu parfum dengan base notes dari minyak kapur barus. Ia mencampur aroma kuno itu dengan minyak asiri asli Nusantara lainnya, seperti bunga sedap malam, melati, dan kayu manis. Wangi kapur barus yang menenangkan semerbak lagi….
Baca juga : Menyelamatkan Kapur Barus yang Tergerus