Pohon kapur barus sempat dianggap punah di hutan dan hanya tersisa puluhan batang di ladang warga di Tapanuli Tengah. Secara mengejutkan, ratusan hektar hutan kapur purba ditemukan di Kabupaten Pakpak Bharat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Warga menunjukkan pohon kapur barus (Dryobalanops aromatica) dengan diameter lebih dari 2 meter berusia 200 tahun di sekitar Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022). Hutan purba itu ditemukan secara mengejutkan setelah tanaman ini dianggap punah di alam liar dan hanya tersisa 20-an batang di ladang warga.
Pohon kapur barus sempat dianggap punah di hutan dan hanya tersisa puluhan batang di ladang warga di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Secara mengejutkan, ratusan hektar hutan kapur purba ditemukan di Kabupaten Pakpak Bharat. Kapur pernah menjadi magnet yang mendatangkan pedagang dunia ke Sumatera selama ribuan tahun.
Udara di Kecamatan Salak, ibu kota Pakpak Bharat, terasa sangat dingin, Minggu (3/7/2022). Dari rumah dinas Wakil Bupati Pakpak Bharat Mutsyuhito Solin, tim yang terdiri dari sejarawan, dokter, sastrawan, dosen, dan peneliti dari sejumlah kampus dan lembaga penelitian menaiki beberapa mobil berpenggerak empat roda.
Tim menelusuri jalan sepanjang 40 kilometer menuju hutan purba di sekitar Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar. Rombongan melintasi jalan berbatu, jalan tanah, tanjakan, dan turunan terjal. Setelah sekitar dua jam melintasi punggung bukit di tengah kawasan hutan itu, hamparan hutan kapur purba yang terlihat dari pinggir jalan mengundang decak kagum tak henti-henti.
Kepala Desa Sibagindar Sondang Manik pun sudah menunggu di pinggir hutan di sebuah gubuk yang mereka sebut labah todung. ”Semua kayu dan atap yang kami gunakan dalam labah todung ini berasal dari kayu kapur. Labah todung adalah sebutan untuk gubuk di tengah hutan yang digunakan nenek moyang kami para pencari kapur,” kata Sondang.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Warga menunjukkan kapur dan minyak kapur yang diambil dari tanaman di hamparan hutan kapur barus (Dryobalanops aromatica) di Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022).
Labah todung itu pun menjadi bukti bahwa peradaban pencari kapur sudah sangat tua di desa itu. Namun, beberapa puluh tahun terakhir, sebagian masyarakat tidak lagi mencari kapur. Mereka memilih menjadi petani kelapa sawit dan menanam padi.
Namun, ratusan hektar hutan kapur di sekitar Desa Sibagindar masih terjaga hingga kini. Beberapa warga desa pun menemani tim berjalan kaki menelusuri hutan kapur. Kondisi di dalam hutan masih sangat alami. Di lantai hutan hujan tropis yang teduh menumpuk kompos hutan setebal 30-50 sentimeter. Warga sudah menyiapkan jalur untuk ditelusuri selama 4-6 jam.
Hutan itu didominasi pohon-pohon kapur dan beberapa jenis meranti. Ada puluhan pohon kapur berdiameter 2,5 meter yang diperkirakan berusia 200-300 tahun. Pohon setinggi sekitar 60 meter itu lurus ke atas tanpa cabang dengan warna coklat dan bersisik.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para sejarawan berdiskusi bersama Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat di labah todung (gubuk) di pinggiran hutan kapur barus (Dryobalanops aromatica) di Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022).
Beberapa batang pohon kapur besar tampak tumbang dan membusuk selama puluhan tahun. Sebagian pohon yang tumbang adalah bekas pengambilan kapur. Jalur itu merupakan jalur yang dulu dilalui nenek moyang Desa Sibagindar untuk mencari kapur. Untuk mengambil kapur, batang pohon harus ditebang dan dibelah karena berada di tengah batang.
Sondang menyebut, peradaban kapur hampir hilang di desanya. Satu-satunya yang tersisa adalah hutan kapur. Puluhan tahun lalu, rumah-rumah di desanya hampir semuanya rumah kayu yang terbuat dari pohon kapur. Dinding dan atapnya pun dibuat dari kulit pohon kapur yang bisa tahan hingga 40 tahun.
”Sebelum ada formalin, kapur juga ditaburkan ke jenazah untuk memperlama pembusukan,” kata Sondang.
Selain kapur, warga juga menyadap minyak dan air dari batang pohon kapur yang digunakan untuk keperluan obat-obatan tradisional. ”Air yang diambil dari batang pohon kapur sangat ampuh untuk obat sakit perut,” kata Sondang.
Sebelum ada formalin, kapur juga ditaburkan ke jenazah untuk memperlama pembusukan
Edi Cahaya Manik (50), warga Desa Sobagindar, masih sempat menekuni profesi pencari kapur saat masih muda. Mereka biasanya berangkat lima orang untuk mencari kapur di tengah hutan selama dua minggu. Mereka membawa bekal dan mendirikan labah todung di tengah hutan. ”Kami biasanya menggunakan kampak khusus untuk mengorek batang. Jika ditemukan kapur, baru batangnya ditebang,” kata Edi.
Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari menyebut, penemuan hutan kapur dan peradaban pencari kapur sangat menakjubkan. Unimed sudah melakukan pencarian hutan kapur sejak 2016. Namun, mereka hanya menemukan sekitar 20 batang pohon kapur di ladang warga di Desa Siordang, Kecamatan Sirandorung, Tapanuli Tengah, milik Jalungan Silaban.
”Siordang pun disebut sebagai rumah kapur barus terakhir. Orang dari mana-mana datang ke sana melakukan kajian, penelitian, hingga membuat instalasi seni bertajuk ’Rumah Terakhir Kapur Barus’,” kata Ichwan.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Hamparan hutan kapur barus (Dryobalanops aromatica) terlihat di sekitar Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022).
Ichwan mengatakan, sumber tertulis menyebut, sejak abad pertama Masehi sudah ada komoditas kapur. Dalam kisah di Timur Tengah, pembalseman mayat di masa Firaun menggunakan kapur barus sebagai salah satu campuran.
Kafura, kata Ichwan, juga disebut di dalam Al Quran yang artinya kapur dari Barus. Kapur barus yang termasyhur ke berbagai penjuru dunia membuat kota-kota di Sumatera menjadi kosmopolitan seperti Barus dan Bongal di Tapanuli Tengah.
Kapur pun menjadi magnet yang mendatangkan pedagang-pedagang dari berbagai penjuru dunia ke Barus yang ketika itu merupakan bandar pelabuhan dan pusat perdagangan.
Hamparan hutan kapur barus (Dryobalanops aromatica) terlihat di sekitar Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022).
Di Barus sendiri tidak tumbuh pohon kapur. Hal ini yang menambah keyakinan bahwa ada hinterland (daerah belakang) yang memasok kapur ke Barus, tetapi daerahnya tidak diketahui. Selain kapur, kemenyan juga menjadi komoditas yang membuat orang-orang datang ke Barus.
Untuk mencari daerah hinterland Barus, kata Ichwan, mereka awalnya mencari makam kuno di Pakpak Bharat sebagai patokan mencari peradaban kapur. Namun, di tengah pencarian, beberapa bulan lalu warga menyebut masih ada hutan kapur di Sibagindar. Temuan itu pun sangat mengejutkan. ”Ini merupakan teks sejarah yang hidup,” kata Ichwan.
Di tengah temuan itu, kata Ichwan, gerakan penyelamatan hutan kapur terakhir itu harus dilakukan. Saat ini, luasan hutan kapur terus berkurang terimpit ekspansi kebun sawit. Bahkan, mereka menemukan beberapa perkebunan sawit yang di bawahnya terdapat banyak sekali batang pohon kapur yang sudah ditebang.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Hamparan hutan kapur barus (Dryobalanops aromatica) terlihat di sekitar Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022).
Masyarakat pun harus mendapat manfaat ekonomi dari hutan kapur agar bisa menjaganya. Hutan kapur barus bisa dimanfaatkan untuk wisata minat khusus dan penelitian.
Peneliti kapur dari Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk Badan Riset dan Inovasi Nasional Aswandi mengatakan, temuan hutan kapur itu sangat menakjubkan dunia ilmu pengetahuan. ”Ini seperti menemukan hutan purba yang pernah menjadi bagian dari peradaban dunia,” kata Aswandi.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Hamparan hutan kapur barus (Dryobalanops aromatica) terlihat di sekitar Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Minggu (3/7/2022).
Aswandi menyebut, pohon kapur di Pakpak adalah jenis Dryobalanops aromatica. Jenis ini yang dicari pedagang dunia sehingga mereka datang sampai ke Barus. Pohon kapur ini juga berbeda dengan pohon kapur (kamper) yang berada di hutan Kalimantan (Dryobalanopschamphora) yang tidak menghasilkan kapur dan resin seperti yang dihasilkan Dryobalanops aromatica.
Aswandi menyebut, perlu dikembangkan cara-cara untuk menghasilkan produk dari kapur tanpa harus menembang. Untuk mengambil kapur dan resin, misalnya, bisa didapat dari penyulingan daun atau penyadapan batang. Kapur ini harganya sangat mahal. Hanya pohon yang berusia sekitar 100 tahun yang bisa menghasilkan kapur yang terbaik.
Bupati Pakpak Bharat Franc Bernhard Tumanggor mengatakan, mereka akan merancang hutan kapur Pakpak sebagai destinasi wisata minat khusus. Ia juga berharap hutan kapur bisa dimanfaatkan sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. ”Ke depan, kami juga akan menyebutnya sebagai Hutan Kapur Pakpak,” kata Franc.