NTT Meregang Nyawa di Tengah Kekayaan Lautnya
Ajakan ayo masuk laut bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur didengungkan sejak 1978. Dengan berbagai potensi di dalamnya, laut di NTT jauh lebih menjanjikan dibandingkan dengan daratan.
Wilayah laut Nusa Tenggara Timur seluas 191.484 kilometer persegi jauh lebih luas dibandingkan daratan 47.932 kilometer persegi. Namun jumlah nelayan hanya 100.141 jiwa dari total 5,4 juta penduduk. Warga NTT masih banyak mengolah tanah yang rata-rata kering. Mereka meregang nyawa di tengah kekayaan lautnya.
Abdulah Notan (43), nelayan kelahiran Alor, Nusa Tenggara Timur, duduk tanpa baju di Kampung Nelayan Oesapa, Kota Kupang, NTT, Sabtu (16/12/2023). Ia ditemani Achmat (40), juga nelayan kelahiran Alor. Ratusan nelayan di Kupang saat ini sedang istirahat karena cuaca buruk.
Keduanya sejak kecil sudah melaut bersama ayah mereka. Berenang di Teluk Mutiara, Alor, mencari ikan dan memasang perangkap bubuh. Kini, keduanya memilih menetap di Kelurahan Kota Kupang sejak 2016.
“Nelayan kelahiran NTT berjumlah lima orang dari total 300-an nelayan. Sebagian besar dari luar, tetapi sudah puluhan tahun di sini. Nelayan lokal, bekerja dengan mereka. Mencari ikan sampai perbatasan Australia,” kata Notan.
Baca juga: Cuaca Buruk, Hasil Tangkapan Nelayan NTT Menurun
Hasil tangkapan dibagi 40 persen untuk nelayan dan 60 persen pengusaha. Perahu, solar, air, makanan, dan semua kebutuhan selama di laut ditanggung pengusaha ikan. Jika nelayan itu sakit, biaya pengobatan ditanggung pengusaha.
Sesuai informasi dari BMKG Kupang, sejak Kamis (14/12/2023) cuaca buruk bakal terjadi dari perairan Australia, Laut Timor, dan perairan Laut Hindia Selatan. Ini berlangsung sampai Maret 2024.
Tetapi, sebagian besar mereka masih mencari ikan di perairan dangkal. Menyuplai ikan di pasar-pasar tradisional, seperti kembung, tembang, kakap, dan ekor kuning.
”Kalau ada informasi BMKG cuaca agak baik, kami bisa melaut. Khusus untuk jenis ikan ekspor. Jadi, kami tetap standby,” kata Notan.
Baca juga: Ekspor Perikanan Tahun 2022 dibawah Target
Pendiri dan Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB)“Angsa Laut”, nelayan Oesapa Kupang, Muhammad MansurDokeng (41), mengatakan, suplai ikan di Kota Kupang berasal dari empat perkampungan nelayan, yaitu Oesapa, Tenau, Oeba, dan nelayan Namosain, Kupang.
“Nelayan tradisional kebanyakan menangkap di perairan dangkal. Tetapi nelayan profesional dengan kapal motor berkapasitas 6-9 GT sampai perbatasan Australia, laut Timor, dan Selatan Hindia. Khusus untuk jenis ikan ekspor,” katanya.
Pemasok kebutuhan ikan di NTT tidak hanya nelayan NTT. Lebih dari 60.000 nelayan dari luar. Mereka datang dari Sulawesi, Bali, Jawa Timur, dan NTB. Menangkap ikan di wilayah perairan NTT.
Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi di ekspor oleh pengusaha yang mempekerjakan mereka. Jenis ikan yang biasa dikonsumsi harian, seperti kembung, tembang, terbang, dan ikan ekor kuning, dijual kepada pedagang atau pengusaha ikan di pasar-pasar di NTT.
Baca juga: Ratusan Nelayan Kupang dan Rote Ndao Belum Melaut Pasca Badai Seroja
Berjuang di lahan kering
Jumlah penduduk NTT 5,4 juta jiwa (Agustus 2023). Bermata pencarian sebagai nelayan 100.141 orang. Banyak penduduk NTT bermukim di pesisir pantai tetapi setiap hari ke gunung atau perbukitan, berladang. Hampir 60 persen petani lahan kering, dan 10 persen petani sawah.
Luas daratan NTT hanya 47.932 kilometer persegi dan sebagian besar berupa lahan kering da bebatuan. Musim hujan pun hanya tiga bulan, dan sembilan bulan musim kemarau. Tetapi aneh. Hampir 60 persen petani pergi meregang nyawa di lahan kering itu. Selalu gagal panen, tetapi tetap dipertahankan sampai anak cucu.
“Pintu rumah menghadap ke laut, tetapi kaki mengarah ke gunung. Takut cebur di laut. Sebelumnya mereka bermukim di gunung, kemudian dipindahkan pemerintah ke pesisir,” kata Dokeng.
Kekeringan setiap tahun selalu berdampak pada gagal panen dan menciptakan kemiskinan ekstrem.
Adapun luas laut NTT 191.484 kilometer persegi, dengan potensi lestari ikan sekitar 488.000 ton per tahun. Peluang lebar jelas ada di laut. Dengan alat teknologi pendeteksi keberadaan ikan, gelombang, dan cuaca dari BMKG, pekerjaan nelayan makin dipermudah. Tidak seperti puluhan tahun silam.
Baca juga: Pemprov NTT Budidayakan Jutaan Benih Ikan di Empat Kabupaten
Sebagai provinsi kepulauan, semua kabupaten/kota di NTT memiliki penduduk yang berdiam di pesisir. Ini kesempatan menciptakan nelayan lokal yang berkompetisi dengan nelayan dari luar.
Ajakan “ayo masuk laut”, dikumandangkan setiap pergantian kepala daerah. Namun belum ada pembinaan dan pemberdayaan gencar terhadap anak-anak remaja yang berdiam di pesisir untuk terlibat sebagai nelayan.
Pintu rumah menghadap ke laut, tetapi kaki mengarah ke gunung. Takut cebur di laut.
Agar mereka tertarik dengan laut, remaja di bawah 25 tahun perlu dibina, sebagai bagian dari program pemberdayaan dan peningkatan jumlah nelayan lokal. Setidaknya mereka bisa berenang, dan siap menjalani pekerjaan sebagai nelayan. Tentu ada risiko. Menghadapi arus dan gelombang tinggi saat kondisi cuaca buruk. Namun bukankah semua jenis pekerjaan selalu ada risiko?.
Menurut Dokeng, dukungan pemerintah dibutuhkan untuk pemicu semangat. Kapal motor, jaring tangkap, alat mancing, dan perlengkapan lain sebagai nelayan pemula adalah salah satu dukungan modal yang dibutuhkan. Selama ini bantuan itu diberikan ke 22 kabupaten/kota secara bertahap. ”Namun belum merata,” kata Dokeng.
Baca juga: Sumber Penghasilan Nelayan Terancam
Dari hasil laut, kasus gizi buruk dan tengkes yang dialami sebagian besar anak NTT bisa ditekan dengan mengonsumsi ikan. Saat ini harga ikan dinilai terlalu mahal karena pasokan ikan terbatas. Harga termurah Rp 20.000 per kumpul atau 10 ekor. Warga kurang mampu tak bisa menjangkaui harga itu.
Jika satu kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 300.000-450.000 jiwa, memiliki 100.000 nelayan, tentunya sudah bisa menghasilkan ikan dalam jumlah cukup banyak guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Harga ikan pun bisa dijangkaui penduduk kurang mampu.
Jika nelayan berjumlah banyak, nelayan dari luar pun tidak akan berani masuk. Selama ini mereka meraup keuntungan miliaran rupiah per bulan dari hasil penjualan ikan yang diambil dari perairan NTT. “Ikan dijual ke masyarakat NTT, dan uang dibawa ke luar,” katanya.
Di sisi lain, Dokeng mengataan, pengeluaran seorang petani lahan kering untuk membuka lahan berukuran 1 hektar jauh lebih banyak dibandingkan pengadaan peralatan melaut. Biaya persiapan tanam itu diadakan setiap musim tanam. Tetapi peralatan nelayan cukup diadakan satu kali untuk kebutuhan 5-10 tahun ke depan.
Baca juga: Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Berhasil Tekan Kasus Tengkes di NTT
Menurut Dokeng, nenek moyang NTT memang berbudaya agraris. Zaman dulu, kebanyakan berdiam di gunung-gunung dan perbukitan untuk menghindari musuh. Perang antarsuku, juga kedatangan bangsa penjajah dengan kapal-kapal asing yang represif dan menjadikan penduduk asli sebagai budak, mendorong mereka memilih menetap di gunung.
Tradisi melaut mulai muncul setelah nelayan dari daerah lain, seperti Sulawesi, datang mencari ikan di sejumlah perairan di pesisir dan menetap di NTT. Mereka membentuk pemukiman sebagai kampung nelayan.
Baca juga: Pengeboman Ikan Masif di Flores Timur dan Sikka
Menurut Dokeng, dorongan melaut sangat ia dukung. “Setiap pertemuan dengan dinas kelautan dan perikanan, saya selalu katakan, KUB Angsa Laut, siap membantu para petani lahan kering beralih menjadi nelayan. Kami ada 41 kapal motor,” kata Dokeng.
Kapal motor itu bermuatan 6-9 nelayan. Petani yang ingin beralih profesi akan dibantu. Tahap awal, mereka belajar berenang setelah itu menyelam, dilanjutkan teknik menangkap ikan. Membaca tanda-tanda cuaca, kondisi laut, dan potensi ikan di laut. Mengenal macam-macam alat tangkap yang diizinkan dan dilarang pemerintah.
Ayup Suni (43), petani lahan kering di Kota Kupang, mengatakan tidak bersedia beralih menjadi nelayan. Ia sudah cukup umur, dan tidak memiliki keterampilan berenang, apalagi di laut dalam.
Baca juga: Hujan Tak Kunjung Turun Petani Lahan Kering di NTT Resah
“Sebaiknya gerakan masuk laut ini berlaku bagi anak-anak remaja, lulusan sekolah menengah atau sekolah dasar. Kebanyakan anak remaja saat ini sudah pandai berenang,” kata Suni.
Jika setiap tahun masing-masing kabupaten/kota berhasil melatih 50 anak remaja menjadi nelayan, dalam jangka 5 tahun, sudah 250 orang nelayan asli NTT. Mereka ini akan melahirkan nelayan baru lagi.
Dalam jangka 10-20 tahun ke depan, jumlah nelayan bakal meningkat. Kebutuhan pangan, terutama protein ikan di kalangan masyarakat, pun terjamin.
Makin banyak orang NTT menjadi nelayan, kasus tengkes bisa ditekan. NTT bisa menjadi pengekspor ikan, sekaligus keluar dari kemiskinan.