Dua buku diluncurkan untuk memperingati ulang tahun ke-80 Sultan Hamengku Buwono X, Jumat (15/12/2023) malam. Kedua buku memuat testimoni dan esai seputar sosok Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY ini.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Dering handphone pada suatu hari pertengahan dekade 2000-an mengusik budayawan Mohamad Sobary yang sedang menyetir mobil. Sebuah nomor tak dikenal menghubunginya. Setelah menepikan mobil, ia menelepon kembali nomor itu.
“Halo ini dari mana?” ujar suara di seberang telepon.
“Lho, kok dari mana, lha kan situ yang menghubungi aku,” jawab Sobary.
“Oh injih Pak Sobary. Nuwun sewu menika Hamengku Buwono (Oh, ya, Pak Sobary. Mohon maaf ini Hamengku Buwono),” tutur suara di seberang telepon itu dalam bahasa Jawa halus.
Sontak jawaban itu membuat Sobary kaget dan tidak enak hati. Lawan bicaranya tersebut adalah Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono (HB) X.
”Waduh, modar (mati) aku, modar betul waktu itu aku!” kata Sobary sambil menepuk jidatnya lalu tertawa saat menceritakan kembali momen tersebut.
Testimoni itu merupakan salah satu pengalaman berkesan Sobary dengan Sultan HB X yang dituliskan dalam buku Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat.
Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas itu untuk merayakan ulang tahun ke-80 Sultan HB X berdasarkan kalender jawa. Buku tersebut diluncurkan pada Jumat (15/12/2023) malam di Keraton Yogyakarta.
Peristiwa itu memberi kesan mendalam kepada Sobary akan sosok Sultan yang santun dan rendah hati. Hal itu sekaligus membuatnya lebih memahami kebersahajaan dalam diri orang nomor satu di DIY tersebut.
Selain Sobary, ada 60 tokoh nasional dan internasional lainnya yang turut memberikan testimoni dan menuliskan esai tentang sosok Sultan HB X di buku Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat. Presiden Joko Widodo pun memberikan kata sambutan untuk buku setebal 442 halaman tersebut.
Beragam tema
Para tokoh itu berasal dari bermacam latar belakang, antara lain, pejabat pemerintahan, menteri, anggota lembaga tinggi negara, dan duta besar. Ada juga dari kalangan budayawan, dosen, intelektual, pengusaha, rohaniwan, wartawan, sutradara film, dan aktivis sosial.
Terdapat delapan tema yang dikupas dalam buku ini, antara lain soal kepemimpinan Sultan HB X, suksesi dan keraton, keistimewaan Yogyakarta dan pemerintahan provinsi, serta peran Sultan HB X saat Reformasi 1998.
Chief Executive Officer Kompas Gramedia Lilik Oetama turut hadir dalam peluncuran buku tersebut. Menurut Lilik, para penulis dalam buku ini mewakili berbagai spektrum keindonesiaan yang plural.
”Para penulis mengakui dan mengapresiasi partisipasi dan kontribusi Sultan HB X dan Kesultanan Yogyakarta yang begitu besar dalam menjaga dan mendorong kemajuan bangsa,” tuturnya.
Selain Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat, diluncurkan pula buku bertajuk Mendengar Suara Merawat Semesta. Buku setebal 463 halaman itu diterbitkan Pemerintah Daerah DIY.
Sultan memberikan kebebasan penuh dan sangat menghargai pendapat para penulis dalam buku ini.
Buku tersebut berisi 80 tulisan tentang Sultan HB X dari lebih 80 narasumber. Para narasumber ini mulai dari kalangan tokoh sampai level akar rumput di DIY.
Sekretaris Daerah DIY Benny Suharsono berharap buku ini menjadi diorama kehidupan sosok Sultan HB X dengan segala kontribusinya. ”Tak hanya untuk Yogyakarta, tetapi juga untuk Republik Indonesia,” ujarnya.
Tetap kritis
Meski begitu, kedua buku ini juga tetap memberikan ruang bagi pandangan kritis. Sultan pun membuka diri terhadap hal tersebut.
Editor buku Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat, Bambang Sigap Sumantri, mengungkapkan, dalam penyusunan materi buku ini, Sultan tidak mengintervensi sama sekali. Bahkan, saat tim editor merasa ada tulisan yang terlalu ”tajam”, Sultan tidak mempermasalahkannya.
”Sultan memberikan kebebasan penuh dan sangat menghargai pendapat para penulis dalam buku ini,” kata Bambang.
Dalam sambutannya saat peluncuran buku, Sultan juga menyinggung hal tersebut. Sultan sengaja tak membatasi opini dan ekspresi itu karena buku adalah ”jendela” dunia.
”Sehingga tak bijak rasanya apabila saya membatasi berbagai pemikiran karena sama saja dengan menghalangi sinar matahari menghidupi semesta dan Bumi,” ucap Sultan.
Lantas, kenapa Sultan memilih buku untuk merayakan tonggak spesial dalam hidupnya itu? ”Karena buku memiliki kekuatan untuk melewati batas ruang dan waktu,” ujarnya.
Akhirnya, Sultan pun mengajak memaknai kedua buku ini bukan semata tentang kisah 80 tahun hidupnya, melainkan sebagai inspirasi kolektif, doa, dan asa terhadap eksistensi Keraton Yogyakarta dan DIY. ”Tentu dengan menyerap selaksa makna dari kedua buku ini,” tuturnya.