Sebanyak 12 BPD yang belum memenuhi syarat diminta memenuhi modal inti minimal Rp 3 triliun agar tak diubah menjadi BPR.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 12 bank pembangunan daerah atau BPD terancam berubah menjadi bank perkreditan rakyat atau BPR jika tidak memenuhi ketentuan tentang modal inti minimal Rp 3 triliun pada akhir tahun 2024. Konsolidasi melalui kelompok usaha bank atau KUB menjadi upaya agar bank tersebut tetap bisa melayani nasabah sebagai BPD.
Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah sekaligus Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten Tbk atau bank bjb Yuddy Renaldi menyampaikan hal itu dalam paparannya di media gathering ”Kinerja di Tengah Dorongan Konsolidasi Perbankan” di Jakarta, Senin (11/12/2023). Syarat mengenai modal inti BPD ini merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 Tahun 2020.
Bank-bank pembangunan daerah yang belum memenuhi syarat tersebut per September 2023 adalah Bank Kalsel, Bank Kalteng, Bank Jambi, Bank NTT, Bank Sulut, Bank Sultra, Bank NTB Syariah, Bank Maluku Malut, Bank Sulteng, Bank Lampung, Bank Bengkulu, dan Bank Banten.
”Perlu dipahami, BPD yang memiliki modal inti di bawah Rp 3 triliun ini bukanlah bank yang sakit. Hampir seluruh BPD masih menghasilkan ROE (return on equity) sangat baik, bahkan ada yang di atas 20 persen,” ujarnya.
ROE merupakan indikator yang memperlihatkan kinerja perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Dari 12 bank tersebut, Bank Sultra memiliki ROE tertinggi, yakni 22,7 persen, dan disusul Bank Jambi dengan ROE sebesar 17,7 persen.
Karena kinerja perbankan yang masih sangat baik, Yuddy menyayangkan jika BPD tersebut berubah menjadi BPR karena tidak memenuhi syarat modal inti. Status yang berubah ini juga semakin mempersempit layanan perbankan, di antaranya giro hingga layanan devisa.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah konsolidasi dengan BPD lainnya dalam bentuk kelompok usaha bank atau KUB.
Menurut Yuddy, salah satu solusi yang ditawarkan adalah konsolidasi dengan BPD lainnya dalam bentuk kelompok usaha bank (KUB). Bank bjb saat ini tengah mengembangkan KUB dengan bank bjb Syariah dan empat BPD, yakni Bank Bengkulu, Bank Sultra, Bank Maluku Malut, dan Bank Jambi.
Progres konsolidasi antara bank bjb dengan Bank Bengkulu, papar Yuddy, sudah masuk dalam status perusahaan terafiliasi. Proyeksi kepemilikan saham bank bjb setelah efektif setoran modal tahap II mencapai 15,57 persen.
Menurut Yuddy, KUB tersebut bukanlah bantuan terhadap bank yang ada, melainkan kolaborasi untuk tumbuh bersama. Artinya, bank yang ada tetap bisa melakukan layanan dengan maksimal karena bank yang bergabung dengan KUB hanya wajib memenuhi modal inti sebesar Rp 1 triliun.
Tidak hanya untuk memenuhi layanan terhadap nasabah, kerja sama perbankan ini juga dibutuhkan di tengah perkembangan era digital. Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam berujar, persaingan yang terjadi saat ini berbeda dengan sebelum era digital datang.
Layanan digital ini diperlukan karena masyarakat saat ini mulai akrab dengan transaksi digital.
”Sebelumnya, strategi dalam persaingan perbankan bisa dihadapi oleh bank secara individual. Beberapa bank bahkan bisa memenangi persaingan sendirian. Namun, saat ini, dibutuhkan konsolidasi, terutama untuk mengembangkan layanan digital,” ujarnya.
Layanan digital ini diperlukan, ujar Piter, karena masyarakat saat ini mulai akrab dengan transaksi digital. Apalagi, pandemi Covid-19 yang melanda berbagai belahan bumi beberapa tahun terakhir membatasi mobilitas masyarakat sehingga mereka beralih dengan layanan tanpa tatap muka.
”Ekosistem digital ini sulit dilakukan secara individual dan berbiaya besar sehingga membutuhkan kolaborasi. KUB menjadi strategi agar perbankan daerah bisa menghadapi persaingan di era digital yang penuh tantangan,” ujarnya.