Kisah Rumah-rumah Harapan untuk Para Penyintas
Rumah Cemara hingga Rumah Pejuang Kanker Ambu membantu penyintas narkoba dan kanker mencari makna hidup yang baru.
Sebagian rumah di Kota Bandung, Jawa Barat, selalu terbuka untuk para penyintas. Tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga membantu yang datang untuk menemukan makna hidup yang baru.
Nurdin Supriyadi (41), mantan pengguna narkoba, tidak tahu bagaimana kehidupannya jika tidak mengenal Rumah Cemara, organisasi pendampingan bagi pengguna narkoba dan orang dengan HIV/AIDS. Bisa jadi nyawanya melayang, seperti beberapa temannya. Atau, mungkin hidup dia menggelandang demi memuaskan nafsu candunya.
”Saya beruntung. Rumah Cemara mengubah kehidupannya yang kelam menjadi lebih baik,” kata Nurdin yang akrab disapa Kate ini di Bandung, Kamis (7/12/2023).
Kate bercerita mencoba narkoba sejak SMP dan mulai kecanduan saat di SMA. Ia terjebak pergaulan dan sulit melepaskan diri.
”Lebih dari 10 tahun saya kecanduan. Kalau dalam sehari tidak konsumsi (narkoba), saya merasa tidak percaya diri,” ujar Kate.
Dampaknya tidak pernah ia sangka sebelumnya. Kate kehilangan banyak hal. Hubungan dengan orangtuanya rusak. Kerabatnya menganggap dia contoh buruk. Semua membuat Kate terjerumus semakin dalam bersama sesama pencandu.
Hingga tahun 2014, ia merasa hidupnya hampa. Dia bosan bergantung hidup pada narkoba dan minuman keras. Kate ingin sembuh dan kembali jadi manusia seutuhnya.
Niat itu menemukan jalannya saat Ginan Koesmayadi di tahun 2014. Ginan adalah salah satu pendiri Rumah Cemara. Sudah lama Kate ingin seperti Ginan yang dulu hidup dibelenggu narkoba. Buku yang ditulis Ginan, Melampaui Mimpi, sudah habis dibacanya.
”Ginan lalu mengajak saya ke Rumah Cemara di Gegerkalong, Bandung. Semenjak itu, keinginan sembuh semakin kuat,” ujarnya mengenang Ginan yang berpulang tahun 2018.
Di Rumah Cemara, Kate merasa ”hidup” lagi. Dia mencoba tinju dan bermain bola untuk mengalihkan ketergantungannya pada narkoba. ”Kalau sudah berkeringat dan capek, bawaannya langsung istirahat. Jadi, pikiran untuk menggunakan narkoba, bahkan minum alkohol, langsung teralihkan,” ujarnya.
Baca juga: Tinju Soleh Sundava untuk Menekan Stigma
Rumah Cemara juga membantunya memberi bukti kepada keluarga dan orang terdekat. Pernah hidup berantakan, Kate perlahan menyusun kepingan yang hilang.
Momentum itu datang saat Kate terpilih menjadi bagian dari Tim Indonesia dalam Homeless World Cup 2019 di Cardiff, Wales. Ajang sepak bola yang diikuti 51 negara ini bertujuan menggaungkan nilai-nilai kesetaraan dan menghapus stigma dari orang-orang yang terpinggirkan.
”Saya tidak menyangka. Sempat jadi orang terabaikan, lalu bisa membawa nama bangsa dalam ajang internasional. Dulunya saya sering bercanda saat mendengar lagu Indonesia Raya, waktu di sana (Cardiff) saya menangis bangga,” ujarnya.
Sebelum berangkat ke Cardiff, dia juga meminta izin kepada ayahnya yang tengah sakit keras. Kate ingin membuktikan bahwa hidupnya bukanlah tidak berarti.
”Waktu itu saya bilang ke ayah yang pernah menjadi tentara. Saya bilang, bisa seperti ayah, membela negara. Cuma dengan cara berbeda,” ujarnya sambil mengenang ayahnya yang kini telah tiada.
Para pencandu dan pengidap HIV/AIDS itu ingin berbagi cerita, tetapi sudah terbentur stigma. Mereka memilih menutup diri daripada dijauhi.
Kini, Kate tetap mencoba menyebarkan arti kehidupan dan menjadi lebih baik dengan keluar dari jerat obat-obatan terlarang. Dia kerap memberi pemahaman terhadap HIV/AIDS agar para pengidap bisa lepas dari stigma di masyarakat.
”Saya beberapa kali ikut berbagi cerita ke komunitas-komunitas hingga karang taruna, baik dengan Rumah Cemara maupun lainnya. Pengalaman dan cerita yang saya alami ini semoga bisa membuat para survivor merasa kehidupan ini bisa berjalan jika kita berubah dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.
Pengalaman Kate juga dibagikan di jagat maya. Lewat media sosial, dia membuat ruang nyaman dan berbagi sehingga membuat mereka menjadi lebih baik.
”Para pencandu dan pengidap HIV/AIDS itu ingin berbagi cerita, tetapi sudah terbentur stigma. Mereka memilih menutup diri daripada dijauhi. Jadi, saya suka menyebarkan cerita dan mengingatkan peran Rumah Cemara menjadi tempat mereka saling berbagi,” ujarnya.
Rumah pejuang kanker
Harapan bagi para penyintas juga hadir lewat Rumah Pejuang Kanker Ambu (RPKA). Pendirinya, Dewi Nurjanah (48), kini menyediakan empat rumah singgah di Bandung dan satu lagi di Garut. Seperti namanya, rumah itu diperuntukkan bagi penyintas kanker. Menampung 100 orang, semua orang bisa datang tanpa harus membayar.
”Biaya makan-minum, obat-obatan yang tidak ditanggung negara, hingga ongkos transportasi ikut dibiayai. Semuanya gratis. Biayanya dari para donatur yang baik hati,” kata Dewi yang akrab disapa Ambu, di salah satu rumah singgah di Sukajadi, Kota Bandung.
Kebaikan itu menyebar dari mulut ke mulut. Sejak 2012, lebih dari 700 orang datang ke sana. Sebagian besar dari Jabar, tetapi ada juga yang datang dari Nusa Tenggara Timur.
”Ada yang tinggal hanya beberapa minggu dan bulan. Namun, ada juga yang hingga tujuh tahun, tergantung dari durasi dan kebutuhan pengobatan,” kata Ambu yang pernah kehilangan anak bungsunya akibat kanker mata.
Baca juga: Berjuang Bersama ”Meninju” Stigma demi Hak Sesama
Ambu mengatakan, mereka yang datang ke RPKA tidak hanya mendapat tempat tinggal. Penghuninya diberikan pengetahuan tentang merawat diri. Pendampingnya mendapat pemahaman untuk hidup bersama kerabat yang menderita kanker.
”Setiap 2-3 kali seminggu kami rutin menggelar edukasi dengan sukarelawan. Selain itu, sejak 2021, rumah singgah ini memproduksi makanan dengan merek Jajanan Ambu melibatkan orangtua pendamping pasien kanker. Semua demi menjaga semangat mereka untuk tetap aktif. Bosan bila kegiatannya hanya bolak-balik rumah sakit,” katanya.
Ringankan biaya
Kenyamanan itu juga yang ditawarkan rumah-rumah di Gang RS Mata Cicendo, Bandung. Sejumlah pemiliknya berbagi tempat dengan orang-orang yang berobat mata di Rumah Sakit Cicendo. Rumah sakit itu berada tepat di sebelah gang tersebut.
Derry (17) dan keluarga, misalnya, merasakan ketulusan itu. Bersama ayah dan ibunya, dia datang menggunakan kendaraan dari Kuningan, Selasa (5/12/2023) malam.
Butuh tiga jam untuk tiba di Bandung. Demi menghemat biaya, Derry datang ke Gang RS Mata Cicendo dan mendapat sebuah kamar di rumah milik Iwan Setiawan (42).
”Saya hendak operasi retina Kang,” kata Derry.
”Kalau operasi retina ini cukup lama sembuhnya. Jadi, lebih baik sabar dulu, apalagi nanti ada penyesuaian lagi karena sudah pakai kaca mata,” ujar Iwan.
Iwan sedikit mengetahui terkait dengan pengobatan mata karena sudah menyewakan kamar-kamarnya kepada para pasien sejak tahun 2009. Kala itu, RS Mata Cicendo menerima pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sehingga pasien yang datang berasal dari latar ekonomi yang beragam.
”Syarat menginap di sini harus pasien dan keluarga yang mau berobat ke RS Mata Cicendo. Yang pernah menginap di tempat saya itu dari berbagai daerah. Ada yang dari Lampung, Kalimantan, sampai Papua. Mereka memilih menginap karena ongkos yang mahal kalau bolak-balik,” ujarnya.
Biaya sewa penginapan di sini cukup Rp 100.000-Rp 150.000 per hari untuk satu kamar dengan kapasitas hingga tiga orang. Namun, para penyewa juga harus maklum karena keterbatasan dari fasilitas yang ada, seperti kamar mandi yang digunakan bersama.
Biaya ini tentu lebih murah daripada harus menyewa hotel dengan harga minimal tiga kali lipat. Apalagi, posisi di pusat Kota Bandung bakal membuat biaya sewa penginapan umum jauh lebih mahal.
”Kalau BPJS, yang datang sebagian besar ekonomi pas-pasan. Jadi, kalau menginap di hotel, pasti mahal. Waktu itu, saya bersama beberapa pemilik rumah di gang ini berinisiatif untuk membuka penginapan murah,” ujarnya.
Derry mengangguk-angguk mendengar penjelasan Iwan. Dia juga bersyukur diberikan semangat untuk sembuh dari pemilik rumah yang peduli terhadap para pasien. Apalagi, ikhtiar melalui pengobatan medis ini diharapkan bisa meringankan bebannya untuk melihat dengan baik.
”Mata kanan tidak bisa melihat total, sedangkan yang kiri masih bisa, cuma harus pakai kaca mata minus 15. Nanti yang dioperasi mata kanan, semoga bisa sembuh,” ujarnya tersenyum.
Semangat untuk hidup lebih baik semakin kuat saat ada tangan-tangan yang membantu meringankan masalah mereka. Lewat rumah-rumah yang bersahaja, ruang ramah itu hadir dan tumbuh bersemi di Kota Bandung.
Baca juga: Teladan Besar Itu Muncul dari Gang Sempit