Tinju Soleh Sundava untuk Menekan Stigma
Julukannya saat jadi atlet tinju begitu angker, "silent assasin" - (pembunuh senyap). Tanpa banyak bicara, dia bisa meruntuhkan sesumbar lawannya di atas ring. Sekarang, jalan hidupnya masih penuh kejutan. Soleh Sundava tak henti bicara menekan stigma bagi mereka yang terpinggirkan lewat olahraga.
Kakinya masih bergerak ringan saat memeragakan langkah dasar olahraga tinju. Di usia 47 tahun, Soleh tak kehilangan kelincahannya. Sorot matanya juga tetap tajam mengarahkan pukulan bertenaga.
“Tinju bukan sekadar cara memukul tapi juga melangkah dengan benar. Tak ada pukulan kuat tanpa langkah yang benar,” katanya, pada empat anak didiknya di kelas rekreasi di Rumah Cemara Boxing Camp Bandung (RCBC), Selasa (9/10/2018) lalu.
Sudah empat tahun terakhir, Soleh menjadi pelatih kepala di RCBC. Sasana ini dikelola Rumah Cemara, lembaga swadaya masyarakat pendamping mantan pencandu narkoba dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Bandung, Jawa Barat. Dengan latar belakang itu, pelatihan di RCBC dibagi menjadi tiga program. Selain rekreasi, ada kelas terapi bagi mantan pecandu dan OHDA serta kelas atlet.
Dalam tiga program berbeda, Soleh mengatakan tidak hanya berbagi teknik bertinju. Ia aktif menyosialisasikan pentingnya bahaya narkotika dan obat terlarang hingga potensi penularan HIV. Soleh menawarkan aktivitas tinju yang potensial memicu endorfin. Hormon itu juga memicu sensasi tinggi saat memakai narkoba.
Soleh juga kerap meluruskan informasi keliru tentang penularan HIV. Potensi penularan terjadi saat menggunakan jarum suntik atau hubungan seksual tanpa kondom, bukan berpeluh bersama di atas ring.
"Saya sudah membuktikannya,” katanya.
RCBC perlahan menginspirasi. Bukan milik mantan pencandu atau OHDA di Rumah Cemara saja, banyak orang datang berlatih bersama. Hingga kini, tercatat ada 50 orang bergantian berlatih di sana. Mereka tak segan berlatih di antara mantan pecandu narkotika dan OHDA.
Kelas atlet juga mengilap. Selain ikut kejuaraan nasional dan daerah, petinju RCBC berlaga ke mancanegara. Contohnya, saat Jundullah Muhamad Fauzan dan Resnu Sundava berlaga di Kejuaraan Internasional Sabuk Emas Xanana Gusmao di Timor Leste tahun 2015. Fauzan juara kelas 55 kilogram. Sedangkan Resnu yang terbaik di kelas 49 kg.
“Setelah pertandingan itu, saya ditawari melatih di Timor Leste. Perwakilan mereka bahkan datang ke Bandung menawarkan bayaran sangat besar. Namun, saya tolak karena ingin terus di RCBC. Di sini, kami sudah seperti keluarga,” ujar dia.
Juara Asia Pasifik
Pertemuannya dengan tinju di tahun 1988 tak terduga. Jago berkelahi sejak SMA ini menerima tawaran rekannya berlatih tinju di salah satu sasana di Bandung. Namun, pengalaman di jalanan tak mampu menyelamatkannya di atas ring. Hanya berlatih seminggu, dia kalah telak dari petinju senior.
Akan tetapi, jiwa petarungnya tercium dua pelatih tinju Dedi Surapati dan Asep R Suganda. Kebetulan, keduanya tengah merintis sasana baru, Red Cobra. Dengan fasilitas seadanya, Soleh jadi murid pertamanya. Di sana, ia mematangkan jab kiri dan merapatkan double cover yang jadi kekuatan utamanya di masa depan.
"Sekitar 3 bulan kemudian, saya tanding lagi dengan petinju yang mengalahkan saya sebelumnya. Setelah berlatih, giliran saya yang menang,” ujarnya.
Sejak itu, Soleh rajin ikut pertandingan amatir. Yakin lebih banyak menang saat di atas ring, ia lupa berapa banyak pertandingan yang sudah ia ikuti. Dominan di tingkat amatir, ia naik kelas menjadi petinju profesional tahun 1996.
Bakatnya tak luntur di kelas yang lebih tinggi. Puncaknya pada pertandingan kelas bulu Pan Asian Boxing Association (PABA), badan tinju regional Asia Pasifik di Jakarta, 31 Agustus 1999. Soleh menundukkan petinju Korea Selatan, Park Yong Woon. Dia menjadi yang terbaik selama 2 tahun. Selama itu, ia unggul atas penantangnya dari Kazakhstan, Thailand, Australia, Selandia Baru hingga Filipina.
"Hampir semua penantang bilang pertandingan tidak akan berjalan hingga ronde terakhir. Prediksi mereka benar tapi saya yang menghentikan mereka,” katanya.
Sabuk juara itu akhirnya terlepas saat usianya menginjak 30 tahun. Pada pertandingan 11 September 2011 di Jember, Jawa Timur, ia takluk dari petinju Indonesia, Chris John yang saat itu baru berumur 22 tahun.
Soleh sempat beberapa kali mengajukan tanding ulang tapi selalu gagal terlaksana. Keduanya terpisah kelas setelah Soleh naik ke kelas ringan sebelum pensiun tahun 2004. “Saya harus jujur pada diri sendiri. Tubuh ini mungkin masih ingin berlaga tapi keinginan bertinju tak sebesar dulu,” katanya.
Pensiun, Soleh berusaha melanjutkan hidup tanpa tinju. Namun, nasibnya tidak beruntung. Bisnisnya gagal ditipu rekan kerja. Pernah jadi kontraktor dan sekuriti, ia tak tahan dengan ragam praktik korup di tempatnya bekerja. Hingga akhirnya dia kembali pada tinju. Tahun 2012, ia jadi pelatih pribadi tinju di Ksatria Gym Bandung.
Setia
Di sana, ia pertama kali bertemu almarhum Ginan Koesmayadi, salah satu pendiri Rumah Cemara. Saat itu, Ginan tengah mencari pelatih pribadi menggeluti tinju. “Sejak awal, dia bilang kalau HIV positif. Punya sedikit ilmu tentang HIV/AIDS, saya tak keberatan. Jujur, saya kagum dengan keberaniannya untuk terbuka,” kata Soleh, yang dua bulan jadi pelatih Ginan.
Setelah itu, Soleh lama tak bertemu Ginan. Baru, sekitar tahun 2014, Ginan berkabar melalui telepon bahwa Rumah Cemara punya sasana lengkap dengan ring tinjunya. Ginan meminta Soleh jadi pelatih kepalanya. Soleh setuju saat tahu RCBC berdiri jadi bagian menekan stigma orang terpinggirkan.
"Dulu waktu sering berkelahi di jalanan saya pernah dapat stigma. Di depan muka, orang-orang begitu baik tapi di belakang, mereka anggap saya sampah," katanya.
Diberi kebebasan menjalankan pola latihannya, Soleh punya cara unik memicu teknik anak asuhya. Ia mengabungkan metode latihan tinju dengan permainan tenis meja. “Seperti tinju, tenis meja butuh tumpuan kaki kuat dan lincah. Atlet tenis meja juga dituntut punya kejutan dalam pukulannya. Bedanya, tak ada pukulan yang mendarat di kepala atau tubuh di tenis meja,” katanya.
Soleh tak asal bicara. Tenis meja yang ia geluti sejak 2007 bukan sekadar hobi. Dia juga piawai bertarung di atas meja. Keahliannya, tercium National Paralympic Commite Kota Bandung.
Setahun terakhir, ia didapuk jadi pelatih tim tenis meja atlet disabilitas. Meski ada tawaran jadi calon legislatif dari salah satu partai politik, ia mantap mendampingi tim tenis meja itu di ajang Pekan Paralimpik Daerah Jabar 2018 di Bogor, November mendatang.
“Sebagian atlet disabilitas punya kisah mirip seperti mantan pencandu dan OHDA. Mereka didera stigma karena keterbatasan hidup. Saya ingin membantu mereka setia dengan semangat seperti itu,” katanya.
Soleh Sundava
Lahir : Bandung, 18 Juli 1971
Istri : Euis Kartika (42)
Pendidikan : SMA Multazam Bandung (1990)