Belajar Waspada dari Kasus Erupsi Marapi
Banyaknya korban erupsi Gunung Marapi dari aktivitas pendakian yang tetap dibuka meskipun status Level II atau Waspada yang berlaku sejak 3 Agustus 2011 tak pernah dicabut.
Tangisan pecah ketika petugas menuliskan nama Yasirli Amri (20) di papan daftar jenazah teridentifikasi. Abang, paman, para sepupu, dan saudara lainnya bercucuran air mata. Adapun sang ayah sekaligus orangtua tunggal, Welman (66), berusaha tetap tegar dengan mata sembab dan berkaca-kaca.
”Semua sudah tersurat di atas, manusia tidak bisa mengubahnya,” kata Welman lirih seusai mendapat kepastian soal nasib putrinya di pos DVI Biddokes Polda Sumatera Barat di RSUD dr Achmad Mochtar Bukittinggi, Selasa (5/12/2023) malam.
Yasirli merupakan salah satu dari puluhan pendaki yang terjebak saat erupsi Gunung Marapi, Minggu (3/12/2023) pukul 14.54. Perempuan yang karib disapa Sherli itu baru pertama kali mendaki gunung. Ia pergi dengan teman-teman kuliahnya di Politeknik Negeri Padang sejak Sabtu (2/12/2023).
Baca juga: Gunung Marapi Erupsi, Puluhan Pendaki Dievakuasi
Sesaat pascaerupsi, Sherli mengirimkan dua video kepada sanak-saudaranya di Nagari Tiga Koto, Kabupaten Tanah Datar. Kondisinya lemah dan hampir seluruh tubuhnya tertutup abu vulkanik. Sekitar pukul 18.00, mahasiswa jurusan teknik sipil semester dua ini sempat menghubungi keluarga.
”Posisinya di Tugu Abel, tak jauh dari kawah. Dia bilang haus, tidak kuat jalan lagi. Cuma sebentar, telepon putus, tidak ada komunikasi lagi,” kata Ahmad Gandi Sabri (28), sepupu Sherli.
Keluarga Sherli bukan satu-satunya yang berduka Selasa malam itu. Ada 14 keluarga lain sudah dipastikan yang kehilangan anak-anak mereka. Sementara itu, delapan keluarga lain masih dalam ketidakpastian menunggu evakuasi ataupun identifikasi jenazah.
”Bagaimanapun kondisinya, putri saya harus segera dibawa pulang,” kata Basri (60) di sela-sela menunggu kedatangan dan identifikasi jenazah putri bungsunya, Liarni (22). Mahasiswa asal Solok ini sebelumnya mendaki dengan empat rekannya sesama anggota MPALH Universitas Negeri Padang.
Gunung Marapi di wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar tiba-tiba meletus pada Minggu pukul 14.54. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat tinggi kolom abu teramati sekitar 3.000 meter di atas puncak dan 5.891 meter di atas permukaan laut.
Saat kejadian, sebanyak 75 orang sedang mendaki sejak Sabtu (2/12/2023). Jumlah itu adalah yang tercatat di sistem pendaftaran daring Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar sebagai pengelola Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Marapi. Sebagian besar pendaki adalah mahasiswa, baik dari Sumbar maupun provinsi tetangga.
Nolianus Hoge Jau (23), pendaki yang selamat, bercerita, ketika erupsi ia dan sepuluh rekannya tengah perjalanan turun dari puncak. Seketika terdengar dentuman dan gemuruh dari arah kawah. Batu-batu berjatuhan dari atas.
”Kami kebetulan tidak kena. Baru kami yang lolos waktu itu, sedangkan para pendaki lainnya masih berada di atas,” kata anggota Mapala Batara, Fakultas Hukum, Universitas Riau ini.
Menurut Nolianus, ia dan rombongan sampai di puncak Minggu pukul 05.00. Selama 5-6 jam mereka beraktivitas di puncak, rombongan turun pukul 11.00. Waktu itu cuaca mendung, bebatuan di kawah mengeluarkan asap. Rombongannya segera turun meskipun tak ada peringatan.
Kantor SAR Kelas A Padang mencatat, hingga Rabu (6/12) siang, korban meninggal dan telah dievakuasi sebanyak 22 orang. Satu pendaki tersisa dalam pencarian tim SAR gabungan. Sebanyak 52 pendaki lainnya selamat meskipun sebagian mengalami luka ringan, sedang, dan berat.
Jumlah korban meninggal dalam erupsi itu merupakan yang terbanyak di Gunung Marapi sejak empat dekade terakhir. Terakhir kali gunung ini menelan banyak korban adalah tahun 1979. Sebanyak 79 warga tewas saat lereng bagian timur Gunung Marapi runtuh dan menghantam lima desa (Kompas, 1/5/1979).
Banyaknya korban jiwa dalam kejadian awal Desember ini tidak terlepas dari erupsi Marapi yang terjadi mendadak. Selain itu, pendaki dan pengelola jalur pendakian mengabaikan rekomendasi PVMBG untuk tidak memasuki radius 3 km dari puncak. Rekomendasi itu berlaku sejak Marapi berstatus Level II atau Waspada mulai 3 Agustus 2011.
Erupsi Gunung Marapi kali ini termasuk erupsi freatik yang minim prekursor dan sulit terdeteksi peralatan pemantauan. Erupsi mendadak ini menjadi karakter Marapi dan terjadi berulang-ulang, salah satunya pada 4 Juni 2017 yang menyebabkan 16 pendaki terjebak di puncak.
Baca juga: Memahami Erupsi ”Tiba-tiba” Gunung Marapi dan Risikonya
Karena karakter erupsinya sulit dideteksi, PVMBG menetapkan status Waspada untuk Gunung Marapi dalam kurun waktu panjang. ”Status Level II ini untuk mengantisipasi bila terjadi letusan yang sifatnya tiba-tiba,” kata Hendra Gunawanan, Kepala PVMBG Badan Geologi.
Akan tetapi, rekomendasi itu seolah diabaikan. BKSDA Sumbar membuka jalur pendakian dengan nama Jalur Proklamator di Nagari Batupalano, Kecamatan Sungai Pua, Agam, 29 Oktober 2022. Peluncurannya dihadiri, antara lain, oleh Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy dan Bupati Agam Andri Warman.
Jalur pendakian ditutup saat aktivitas kegempaan Gunung Marapi meningkat pada 25 Desember 2022 dan mengalami erupsi selama periode 7 Januari-20 Februari 2023. Saat aktivitas vulkaniknya menurun, jalur pendakian kembali dibuka meskipun status Level II atau Waspada Gunung Marapi tidak pernah dicabut .
BKSDA Sumbar membuka kembali jalur pendakian dengan sistem daring pada 24 Juli 2023. Pendaki dikutip biaya penerimaan negara bukan pajak dan tiket asuransi. Kuotanya 100 orang di hari biasa dan 150 orang di hari libur/akhir pekan. Pembukaan diresmikan Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy didampingi Kepala BKSDA Sumbar saat itu, Ardi Andono, bersama sejumlah pejabat daerah.
”Soal pembukaan pendakian, kami tetap merekomendasikan tidak boleh ada aktivitas radius 3 km dari puncak. PVMBG cuma bisa menetapkan status gunung api dan memberikan rekomendasi, tergantung mereka (pengelola) apakah mematuhi atau tidak,” kata Ahmad Rifandi, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Marapi.
Ahli geologi dan vulkanologi Ade Edward mengatakan, pembukaan jalur pendakian oleh BKSDA Sumbar menabrak aturan. Sebab, sejak 3 Agustus 2011, Gunung Marapi berstatus Level II atau Waspada. Warga tidak diperbolehkan mendekat dengan radius 3 km dari puncak atau kawah karena sewaktu-waktu gunung bisa meletus.
”Tabrakannya ketika BKSDA menjadikan zona terlarang itu sebagai tempat terbuka. Wisata, kan, harus aman, tidak boleh memasukkan orang ke daerah berisiko,” kata Ade, yang pernah menjadi Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar ini.
Menurut Ade, kebijakan BKSDA Sumbar berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU lainnya, terutama di bidang kebencanaan dan vulkanologi. ”Secara ketentuan, pendaki tidak boleh naik. Lalu atas dasar apa BKSDA menerbitkan izin pendakian di daerah terlarang?” ujar Ade.
Pelaksana Harian Kepala BKSDA Sumbar Eka Damayanti menjelaskan, pembukaan kembali jalur pendakian berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Melihat aktivitas kegunungapian menurun dibanding pascaerupsi awal tahun, jalur pendakian kembali dibuka melalui sistem daring.
Sebagai upaya mitigasi, kata Eka, balai menerapkan prosedur standar operasional (SOP). Sejumlah batasan diberlakukan. ”Mitigasi kami lakukan dengan memberikan pengarahan, imbauan, termasuk papan-papan informasi agar segera evakuasi apabila terjadi risiko bencana erupsi,” kata Eka yang secara definitif menjabat Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sumbar.
Baca juga: Energi Letusan Menurun, Gunung Marapi Tetap Berbahaya
Akan tetapi, berdasarkan salinan Keputusan Kepala BKSDA Sumbar Nomor: SK.178/K.9/TU/KSA/7/2023 tentang SOP Pendakian TWA Gunung Marapi, yang ditandatangani Ardi Andono pada Oktober 2022, tidak ada penjelasan terkait upaya mitigasi terhadap erupsi mendadak. Pun sangat minim keterangan soal mitigasi bencana erupsi. Aturan spesifik hanya pendaki dilarang berkemah di sekitar kawah Marapi.
Secara ketentuan, pendaki tidak boleh naik. Lalu atas dasar apa BKSDA menerbitkan izin pendakian di daerah terlarang?
Terkait pengabaian terhadap rekomendasi PVMBG bahwa warga tidak boleh beraktivitas di radius 3 km dari puncak Marapi, Eka mengatakan, “”Setahu saya, (tidak mendekat) radius 3 km itu berupa imbauan. Imbauan itu juga kami coba antisipasi dengan upaya-upaya mitigasi yang kami sebutkan tadi,” ujarnya.
Pembukaan aktivitas pendakian di Gunung Marapi saat statusnya Level II atau Waspada mesti kembali dikaji. Jangan sampai para orangtua kembali meratapi kepergian anak-anak tercinta untuk ke sekian kali.