Untuk kali pertama di Sulawesi Selatan, penanaman mangrove dilakukan berbasis teknologi ”internet of things” dengan pemanfaatan sensor pemantau pertumbuhan tanaman.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
Di Desa Bulu Cindea, Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, penanaman mangrove dilakukan tidak secara konvensional. Di desa digital ini, penanaman mangrove dilakukan menggunakan perangkat digital. Tumbuh kembang tanaman dilakukan melalui aplikasi, cukup menggunakan ujung jari untuk memastikan tanaman tumbuh atau terganggu.
Senin (4/12/2023) pagi, puluhan warga berkumpul di tepi pantai yang berbatasan dengan Selat Makassar. Sebagian area di kawasan pesisir ini tertutup hutan mangrove, sebagian lainnya kosong. Warga tengah bersiap menanami area pesisir yang kosong itu dengan bibit mangrove.
Sebanyak 5.600 bibit mangrove akan ditanam secara bertahap. Yang berbeda dalam penanaman kali ini, pada bibit mangrove yang akan ditanam telah disematkan chip. Perangkat ini berfungsi sebagai sensor yang akan merekam kondisi tanah dan tanaman.
Sensor terhubung dengan aplikasi di gawai. Dengan membuka aplikasi, pertumbuhan mangrove bisa dipantau. Ini artinya tak perlu lagi setiap saat ke pantai untuk mengecek.
H Mukhsin, Kepala Badan Permusyawaratan Desa Bulu Cindea, menunjukkan aplikasi pemantau mangrove ini. Memang belum banyak yang bisa dipantau karena penanaman baru dilakukan. Namun, dia bersama puluhan warga lain sudah mendapatkan pelatihan untuk menggunakan aplikasi.
”Selama kami menanam mangrove, baru kali ini pakai teknologi. Memang awalnya canggung. Warga juga harus beradaptasi dengan perangkat dan aplikasi. Tetapi, ini menarik dan semoga hasilnya bisa maksimal,” katanya.
Penanaman mengrove berbasis teknologi internet of things (IoT) ini adalah program dari Indosat Ooredo Hutchison. Di Indonesia, penanaman dengan sistem serupa pernah dilakukan di Kalimantan Utara. Untuk Sulsel, ini yang pertama.
Banyak penanaman, tetapi sering gagal karena kurang dipantau. Padahal, masa kritis penanaman mangrove adalah 6-8 bulan. Kami memanfaatkan penanaman berbasis teknologi ini untuk memudahkan warga memantau.
Steve Saerang, SVP Head of Corporate Communications Indosat Ooredo Hutchison, mengatakan, program ini akan fokus untuk memaksimalkan penanaman mangrove.
”Banyak penanaman, tetapi sering gagal karena kurang dipantau. Padahal, masa kritis penanaman mangrove adalah 6-8 bulan. Kami memanfaatkan penanaman berbasis teknologi ini untuk memudahkan warga memantau. Di mana saja, sepanjang ada jaringan Indosat, pemantauan bisa dilakukan,” katanya.
Secara sederhana, Steve menjelaskan, cip yang berfungsi sebagai sensor ini ditanam bersama mangrove. Dengan memperhitungkan jarak tanam, mereka menghitung dalam setiap 100 meter persegi, bisa ditanami 20 batang mangrove. Untuk setiap area seluas ini ditanam satu cip.
Cip ini terhubung dengan perangkat digital pada basis data yang berisi rekaman kondisi tanah dan tanaman. Misalnya, kondisi keasaman tanah, kelembaban, suhu tanah, dan suhu udara. Selain itu, kondisi tanaman apakah kering, terserang hama, tumbuh baik, atau mati.
”Dengan begini, kami dan warga setiap saat bisa memantau kondisi mangrove yang telah ditanam. Artinya, jika ada indikasi perlu perlakuan khusus, secepatnya bisa terpantau. Harapannya, dengan begini, pemantauan di masa kritis mangrove bisa dilakukan hingga hasilnya bisa tumbuh maksimal,” katanya.
Steve mengatakan, cip ini akan bertahan di dalam tanah hingga dua tahun lamanya sepanjang masih tertanam dengan baik. Usia dua tahun ini juga menjadi waktu yang dinilai cukup untuk mengukur pertumbuhan mangrove.
Sejauh ini, penanaman mangrove berbasis teknologi yang sudah diterapkan di Kalimantan Utara menunjukkan hasil maksimal, yakni keberhasilan di atas 90 persen.
”Karena itu, kami berharap di sini tingkat keberhasilannya sama. Kami sudah memulai penanaman dan akan dilakukan bertahap hingga semua bibit yang merupakan bantuan karyawan Indosat bisa ditanam. Tentu saja kami tak sendiri. Selain pelibatan masyarakat setempat, kami juga didampingi lembaga yang sudah lama bergerak dalam soal mangrove,” katanya.
Desa wisata
Bulu Cindea adalah salah satu desa wisata di Sulsel yang berbasis mangrove. Sejauh ini, warga sudah membenahi pesisir untuk kepentingan pariwisata. Sejumlah gazebo dibangun di tepi hutan mangrove. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat bersantai sekaligus menikmati pemandangan hutan mangrove.
Sebagian warga juga menjalani usaha rumahan berbasis komoditas hasil laut dan tambak. Misalnya saja bandeng presto, bandeng tanpa tulang, abon ikan, kerupuk ikan, dan beragam panganan lainnya.
Kepala Desa Bulu Cindea Made Ali mengatakan, wisata hutan mangrove dirintis sejak 2019. Namun, pandemi Covid-19 kemudian membuat usaha wisata desa sempat vakum. Tahun lalu, warga dan perangkat desa kembali aktif dan kawasan hutan mangrove ini dibuka kembali untuk kunjungan wisata, termasuk wisata pendidikan.
Made Ali, salah satu warga, menyatakan, keberadaan usaha wisata telah mengubah wajah desa. ”Dulu desa ini kumuh, kotor, dan tidak tertata. Tapi, setelah jadi desa wisata, sudah bersih dan lebih teratur. Warga juga mengembangkan UMKM untuk menunjang sektor pariwisata. Ini terutana melibatkan perempuan desa,” katanya.
Belakangan tak sekadar menjual berbagai kerajinan dan olahan ikan untuk menunjang pariwisata, warga mulai menyasar pasar lebih luas dengan memanfaatkan perdagangan berbasis daring.
Untuk kepentingan ini, Indosat memberi bantuan perangkat elektronik berbasis jaringan nirkabel. Perangkat ditempatkan di sebuah bangunan serupa pos kamling yang kerap menjadi tempat berkumpul warga desa. Di tempat ini, jaringan data yang terus aktif memudahkan warga berkomunikasi, termasuk untuk urusan dagang.
”Dengan keberadaan alat ini, kami berharap usaha warga bisa lebih berkembang dan menjangkau pasar yang lebih luas. Komunikasi dengan dunia luar dengan beragam aplikasi juga bisa mereka lakukan,” kata Steve.