Desa Wisata Berpotensi Jadi Sumber Pertumbuhan Baru
Desa wisata berpotensi mengangkat perekonomian masyarakat, melestarikan alam dan budaya, serta mengungkit sektor industri lain. Desa wisata juga dapat memberikan nilai tambah bagi produk-produk lokal desa.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah isu keterbatasan lapangan kerja, desa wisata bisa menjadi solusi sebagai sumber pendapatan baru di masyarakat. Dengan pengelolaan dan promosi yang tepat, desa wisata berpeluang besar mendatangkan wisatawan dan menumbuhkan ekonomi baru di daerah-daerah di Indonesia.
Demikian dikatakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno saat menghadiri Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 pada Minggu (27/8/2023) malam di Jakarta. Menurut dia, desa wisata bukanlah program pemerintah, melainkan program swadaya masyarakat.
”Di tengah isu kesulitan mencari pekerjaan di kota, keberadaan desa wisata semestinya bisa menjadi garda terdepan untuk menciptakan lapangan kerja bagi warga,” ujar Sandiaga.
Sandiaga mengatakan, saat penyelenggaraan ADWI 2021 atau di tengah pandemi Covid-19, pihaknya menargetkan 800 desa wisata berpartisipasi. Ternyata, 1.831 desa wisata ikut serta. Setahun kemudian, yakni di ajang ADWI 2022, tercatat 3.419 desa wisata yang berpartisipasi. Jumlah tersebut melebihi target 2.500 desa wisata yang ditetapkan. Adapun tahun ini, dari target 3.500 desa wisata yang ditetapkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 4.573 desa wisata berpartisipasi.
”Kebangkitan ekonomi desa sebenarnya merupakan usaha dari sosok-sosok di desa wisata sendiri yang tidak kenal lelah memajukan desanya. Kami berharap pihak swasta senantiasa mendukung pengembangan desa wisata,” katanya.
Praktisi desa wisata sekaligus pengelola Desa Wisata Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Sugeng Handoko, saat dihubungi, Senin (28/8/2023), berpendapat, berdasarkan pengalamannya, desa wisata memang terbukti bisa mengangkat perekonomian masyarakat, melestarikan alam dan budaya, serta menjadi pengungkit sektor industri lain. Desa wisata sebagai pariwisata berbasis komunitas juga dapat memberikan nilai tambah bagi produk-produk lokal di desa.
”Seiring pengembangan desa wisata di Nglanggeran, kini lingkungan alam di tempat kami terjaga, tertata, dan produk lokal laku dijual dengan nilai lebih tinggi. Sebagai contoh kakao. Kami sekarang sudah mampu mengolah kakao menjadi aneka olahan cokelat dan prosesnya pun menjadi atraksi bagi wisatawan,” ujarnya.
Terkait promosi, lanjut Sugeng, Desa Wisata Nglanggeran menggunakan saluran luring dan daring. Desa memiliki media sosial sendiri yang dipakai untuk promosi. Desa juga rajin mengikuti pameran, table top (pertemuan bisnis), dan juga bekerja sama dengan biro perjalanan wisata.
Ketua Umum Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi) Andi Yuwono menambahkan, semakin banyak jumlah desa wisata bakal berdampak positif untuk pariwisata nasional. Apalagi, pada saat bersamaan, tren pariwisata yang berkembang adalah pariwisata berbasis komunitas. Tren ini muncul sejak pandemi Covid-19. Menurut Andi, desa wisata mempunyai peluang besar menggarap tren tersebut.
”Wisatawan yang sesuai tren itu datang ke desa, lalu mendapatkan kearifan lokal, menikmati keindahan alam, budaya, dan mencicipi kuliner dari desa,” ujar Andi.
Pameran pariwisata
Senada dengan Sugeng, Andi sepakat bahwa promosi desa wisata tidak hanya bisa dilakukan melalui media sosial dan laman milik desa, tetapi juga lewat pameran pariwisata (travel fair). Dia juga mengamati, sudah ada kecenderungan desa wisata yang ikut travel fair berani mengeluarkan strategi pemasaran, menerbitkan daftar harga paket, dan menyiapkan video profil desanya.
”Situasinya berbeda dengan tahun 2011-2016 lalu. Kala itu, jika desa wisata diajak berpartisipasi di ajang travel fair, mereka cenderung hanya bawa produk UMKM,” imbuh Andi.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Desa Wisata Academy Mangku Kandia, promosi desa wisata seharusnya juga dilakukan oleh biro perjalanan wisata. Hanya, sampai saat ini, belum semua biro perjalanan sadar dan mau memahami keberadaan desa wisata sebagai salah satu destinasi yang menarik bagi wisatawan.
”Tidak semua pasar pariwisata (travel mart) ataupun pameran pariwisata (travel fair) mau melibatkan desa wisata sebagai peserta. Kami menduga karena mereka mengejar hal yang cepat memberikan untung besar sehingga cenderung mengajak restoran dan hotel besar saja,” kata Mangku yang juga pendiri Desa Wisata Mas Kampung Wisata Tarukan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari sepakat dengan apa yang disampaikan Mangku. Bagaimanapun, pada akhirnya pengelola desa wisata harus mandiri mengemas desanya secara profesional. Pengelola desa wisata harus beradaptasi dengan teknologi digitalisasi dan mampu membuat konten menarik. Selain itu juga menyediakan penginapan (homestay) yang nyaman dan toilet bersih.