Sulsel Gencarkan Rehabilitasi Mangrove dan Terumbu Karang
Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan merehabilitasi ekosistem laut di beberapa kabupaten. Dalam sebulan terakhir, penanaman mangrove dan transplantasi terumbu karang dilakukan di sejumlah pulau.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan merehabilitasi ekosistem laut di beberapa kabupaten. Dalam sebulan terakhir, penanaman mangrove dan transplantasi terumbu karang dilakukan di sejumlah pulau. Peneliti mengingatkan program rehabilitasi ini sebaiknya diikuti dengan pemeliharaan dan pelibatan masyarakat agar tak sia-sia.
Penanaman mangrove dan terumbu karang dilakukan secara bertahap di Kabupaten Pinrang, Pangkep, Luwu Timur, dan Takalar. Jika di beberapa daerah rehabilitasi baru berupa penanaman mangrove, sejak Rabu (10/8/2022), transplantasi terumbu karang dilakukan di Pulau Satangnga, Takalar. Penanaman mangrove juga dilakukan di Pulau Tompotana di kawasan yang sama.
Pulau Satangnga dan beberapa pulau lain di Takalar masuk dalam wilayah perairan Kepulauan Spermonde. Umumnya, tanaman mangrove di pesisir pulau-pulau ini sudah berkurang. Di beberapa kawasan perairan, terumbu karang juga mulai rusak akibat aktivitas yang bersifat destruktif. Transplantasi terumbu karang di wilayah ini menggunakan media kerangka laba-laba.
”Ada 200 kerangka laba-laba untuk medium pertumbuhan bibit terumbu karang. Kami berharap upaya rehabilitasi ekosistem ini bukan hanya berdampak bagi lingkungan, tetapi secara jangka panjang juga bisa memberi nilai ekonomi bagi masyarakat pesisir,” kata Kepala Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata Sayyid Zainal Abidin. CDK Mamminasata berada di bawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel.
Dalam sebulan terakhir, penanaman mangrove dilakukan di Pinrang sebanyak 38.000 bibit. Selain itu, di Luwu Timur (38.000 bibit), Pangkep (10.000 bibit), dan Takalar (38.000 bibit). Secara bertahap, penanaman juga akan dilakukan di beberapa kabupaten atau pulau lainnya.
Sementara itu, peneliti pengelolaan pesisir dari Universitas Hasanuddin, Ahmad Bahar, mengingatkan pentingnya program berkelanjutan dalam penebalan mangrove dan transplantasi terumbu karang. Dengan fakta kecilnya persentase keberhasilan penanaman mangrove selama ini, sudah saatnya pemerintah juga fokus pada pemeliharaan.”Kalau sekadar ditanam dan ditinggalkan atau dilakukan sekadar sebagai program penanaman, saya pesimistis hasilnya bisa bagus. Selama ini seperti itu. Ditanam saja, tetapi tak dipantau kelanjutannya. Padahal, ada rangkaian yang harus diperhatikan untuk rehabilitasi mangrove,” katanya, Kamis (11/8/2022).
Pemilihan bibit, pengetahuan tentang struktur tanah, dan pemeliharaan pascatanam menjadi hal penting bagi keberhasilan mangrove. Karena itu, menurut Ahmad, pelibatan masyarakat pesisir juga menjadi penting dalam program rehabilitasi kawasan mangrove dan terumbu karang.
Dia mencontohkan, jika di suatu lahan bekas mangrove dulunya yang tumbuh adalah jenis Rhizophora mucronata yang biasanya tumbuh di lahan berlumpur, belum tentu saat ini bisa ditanam kembali spesies itu. Sebab, saat di lahan tersebut mangrove rusak dan bertahun-tahun tidak ada lagi tanaman, tanahnya sudah tidak berlumpur akibat abrasi atau empasan ombak.
”Biasanya struktur tanahnya berubah menjadi berpasir. Maka, harusnya jenis yang ditanam adalah mangrove yang tumbuh di tanah berpasir,” kata Ahmad.
Jika tahapan-tahapan seperti ini tak dilakukan, penanaman akan sia-sia.
Menurut dia, kesalahan seperti ini sering terjadi karena yang ditanam mengikuti apa yang pernah tumbuh walau struktur tanahnya sudah mengalami perubahan. Kesalahan lain adalah tidak memelihara dan tak lagi memantau lahan yang sudah ditanami.
”Padahal, penting untuk terus memantau sampai akarnya kuat. Jika ada yang mati, harus dicabut dan diganti jenis lain. Penahan ombak juga penting sampai akar mangrove cukup kuat. Jika tahapan-tahapan seperti ini tak dilakukan, penanaman akan sia-sia,” ujar Ahmad.
Dalam banyak kasus, dia menambahkan, jika yang ditanam 1.000 pohon, yang tumbuh tak sampai 100 pohon. Pelibatan warga juga menjadi penting dalam program seperti ini karena bagaimanapun mereka akan mendapat manfaatnya kelak. ”Karena itu juga harus dibarengi dengan sosialisasi tentang pentingnya menjaga ekosistem,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi membahas mengrove yang melibatkan berbagai instansi pada Juni lalu, Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Andi Parenrengi memaparkan potensi mangrove di Sulsel. Menurut dia, Sulsel memiliki luas potensi mangrove hingga 123.594,71 hektar. Ini jika melihat panjang garis pantai Sulsel, yakni 1.937 kilometer dan luas eksisting mangrove wilayah seluas 12.256,90 hektar.
Di Sulsel, penanaman mangrove masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pada akhir 2020, penanaman mangrove sebagai program PEN dilakukan di Kabupaten Maros. Setidaknya ada 500 hektar lahan yang ditanami mangrove dalam program itu melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulsel.