Bara Seruyan Masih Menyala, Warga Tolak Sisa Hasil Usaha PT HMBP
Solusi awal untuk konflik di Desa Bangkal, Seruyan, Kalteng, perusahaan bagikan uang sisa hasil usaha untuk lahan 443 hektar. Solusi itu masih ditolak masyarakat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Hampir dua bulan setelah tragedi berdarah, tuntutan warga Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, belum dipenuhi. Tawaran skema sisa hasil usaha perusahaan sawit dinilai bukan solusi ideal.
Sebelumnya, Gijik (35), warga Bangkal, tewas tertembak saat menuntut hak kebun plasma di wilayah perkebunan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Beberapa peserta aksi juga tertembak peluru karet saat bentrok dengan aparat Polda Kalteng.
Pembunuh Gijik belum ditangkap. Kejadian ini menambah suram upaya penyelesaian konflik warga dan perusahaan sawit yang buntu selama 18 tahun terakhir.
Sejumlah cara disodorkan untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya kegiatan simbolis pembayaran sisa hasil usaha (SHU) dari PT HMBP ke Koperasi Maju Bersama Bangkal di Palangkaraya, Selasa (5/12/2023).
Hadir dalam kegiatan itu, Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo. Ada juga perwakilan anggota koperasi dan pejabat Desa Bangkal dan Direktur PT HMBP Roby Zulkarnaen.
Awalnya, warga berharap ada dialog sebelum penyerahan uang SHU. Alasannya, belum ada kesepakatan terkait hal ini.
Akan tetapi, dialog yang diharapkan tidak terjadi. Di sana, hanya dilakukan penyerahan simbolis Rp 287.950.000 yang akan dibayar setiap bulan.
Ketua Koperasi Maju Bersama Bangkal Kuwi mengungkapkan belum menemukan kesepakatan dengan perusahaan terkait solusi konflik. Sejak awal, tuntutan masyarakat adalah mengembalikan lahan yang selama 18 tahun dikelola PT HMBP. Luasnya 1.175 hektar karena berada di luar hak guna usaha (HGU).
Akan tetapi, sejauh ini, yang ditawarkan perusahaan hanya 443 hektar. Itu pun dibagikan dengan skema SHU atau berupa uang.
”Masyarakat masih menolak, kami enggak setuju. Belum ada kesepakatan tapi tiba-tiba diserahkan saja. Kami ikut yang diatur pemerintah, tapi dana itu tidak akan dibagikan dulu,” kata Kuwi.
Kuwi menjelaskan, koperasi yang dibentuk itu juga belum selesai. Saat ini, anggotanya masih 608 orang dan belum merepresentasikan semua warga.
Bahkan, keluarga korban tragedi Seruyan pun belum tergabung dalam koperasi. Artinya, mereka tidak mendapatkan dana SHU itu.
”Kami masih upayakan untuk bisa mendaftarkan semua warga,” katanya.
Penjabat Kepala Desa Bangkal Susila Sri Wahyuni juga kecewa. Alasannya, dia diundang untuk membahas solusi konflik bukan menyepakati SHU.
”Kami tidak akan bisa terima, harusnya ditanya dulu sepakat atau tidak. Kami tentunya tidak bisa terima (solusi) ini karena tidak sesuai janji awalnya,” ungkap Susila.
Menurut Susila, janji awal pemerintah dan perusahaan luas lahan 443 hektar itu diberikan dalam bentuk kebun plasma bukan SHU. Kalaupun SHU, nilainya Rp 400 juta per bulan.
Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo mengungkapkan, dari total 1.175 hektar baru 443 hektar yang akan diberikan kepada masyarakat dalam skema SHU. Sisanya, 732 hektar masih dibahas bersama satgas sawit.
Lahan 443 ha bisa lebih cepat rampung, kata Edi, karena berada di kawasan area penggunaan lain (APL), sedangkan sisanya masih akan diidentifikasi apakah masuk dalam hutan atau tidak.
”Ini langkah bagus, jadi ada satu pandangan yang sama. Tapi yang selalu kami tekankan adalah investasi memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Ke depan, persoalan seperti ini sebaiknya dimusyawarahkan dengan baik,” ungkap Edy.
Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky Badjuri mengungkapkan, pemerintah berniat menyelesaikan masalah ini. ”Kalau tidak ada yang menjalankannya, masalah enggak akan selesai,” katanya.
Direktur PT HMBP Roby Zulkarnaen tidak berkomentar banyak mengenai persoalan ini. ”Saya koordinasi dengan pemerintah daerah. Saya juga menghormati mediasi yang sudah dilakukan. Kami ikut arahan pemerintah,” ungkap Roby.
Saat ditanya pelanggaran pengelolaan lahan di luar HGU, Roby kembali menjawab sudah berkoordinasi dengan pemerintah dan mengikuti kebijakan pemerintah.
”Nanti dikoordinasi dengan pemda, kami sudah melakukan kebijakan mengikuti UU Cipta Kerja,” katanya.