Bara di kebun sawit di Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah, terus menyala. Negara harus hadir menyikapi masalah yang tidak kunjung usai 17 tahun terakhir.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Tidak kunjung usai, bara di kebun sawit di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, justru memakan korban jiwa. Bila dibiarkan berlarut-larut, konflik lahan rentan mengundang bahaya dan nestapa tanpa ujung.
Kediaman Gijik (35), warga Desa Bangkal, Seruyan, Kalteng, dipadati ratusan orang Senin (9/10/2023). Kerabat, teman, kawan seperjuangan yang bahkan dari luar kabupaten datang menyampaikan duka untuk Gijik yang tewas tertembak dua hari sebelumnya.
Gijik adalah satu dari ratusan peserta aksi yang kembali turun ke kebun sawit. Tuntutan mereka sama, menuntut hak plasma kebun sawit dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Bukan mendapat solusi, mereka kembali berhadapan dengan polisi.
Hingga kini, belum diketahui peluru tajam siapa yang menembus tubuh Gijik. Meski menyebut tidak membawa peluru tajam, bola panas, terutama di media sosial, tetap meluncur pada aparat Polda Kalteng. Mereka dituntut segera menangkap pelaku hingga meredakan konflik tanpa memihak.
Konflik di Bangkal ini sungguh melelahkan. Bara di sana mulai panas sejak perusahaan masuk ke wilayah itu 17 tahun lalu.
Awalnya, warga Bangkal menolak praktik perkebunan perusahaan. Namun, karena mendengar kabar pemerintah memberikan izin, mereka pun terpaksa menyerahkan lahan.
Hanya saja, ada catatan besar yang warga inginkan. Mereka diberi pekerjaan di kebun hingga mendapatkan kebun plasma.
Akan tetapi, janji tak kunjung dipenuhi. Untuk pertama kalinya, pada 2013 masyarakat melakukan demonstrasi di perusahaan. Aksi mereka tak kunjung direspons.
Belakangan, masyarakat mengetahui lahan 1.175 hektar yang ditanami perusahaan ternyata di luar HGU. Lahan itu yang kemudian menjadi sengketa.
Akhirnya, aksi kembali digelar pada 16 September 2023. Hingga Senin, sudah 23 hari bara itu menyala di Bangkal. Beberapa kali mediasi sudah dilakukan. Namun, yang ada hanya jalan buntu.
Kompas sudah berusaha menghubungi pihak perusahaan. Namun, Kutut Wibowo, bagian Legal PT HMBP, meminta Kompas menghubungi Humas Polda Kalteng.
Kawasan itu merupakan tempat masyarakat beraktivitas. Warga berladang hingga berkebun, bahkan melakukan ritual adat
Kepala Bidang Humas Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji menjelaskan, perusahaan sempat ingin memberikan lahan seluas 235 ha ke masyarakat sebagai kebun plasma. Namun, masyarakat meminta 443 ha.
“Kami berupaya mengomunikasikan hal ini ke perusahaan, kami berupaya supaya masalah ini bisa selesai dengan solusi terbaik,” kata Erlan.
Direktur Save Our Borneo (SOB) M Habibi menjelaskan, wajar jika masyarakat menuntut 1.175 ha itu diberikan sebagai kebun plasma. Meski lokasinya terpecah, itu menjadi haknya masyarakat.
“Perusahaan beraktivitas di luar HGU. Itu mereka akui sendiri. Seharusnya lahan itu memang sudah jadi hak masyarakat,” kata Habibi.
Habibi menambahkan, di awal sebelum perusahaan masuk, kawasan itu merupakan tempat masyarakat beraktivitas. Warga berladang hingga berkebun, bahkan melakukan ritual adat.
"Masyarakat enggak punya pilihan memberikan ke perusahaan, terpaksa. Makanya sekarang diminta dikembalikan dalam bentuk kebun plasma, itu juga jadi kewajiban perusahaan kan,” ungkap Habibi.
Belum terkabul
Salah satu yang berduka di rumah Gijik adalah James Watt (50). Tetangga Gijik itu lama menjadi saksi hidup konflik Seruyan.
Pada 2019, dia bersama Dilik dan Hermanus ditangkap polisi. Tuduhannya, mereka mencuri sawit milik perusahaan yang sama meski lokasinya berbeda.
Nasib mereka berbeda. Hermanus tewas di dalam sel tahanan selama menjalani proses hukum. Dia bahkan belum sempat ikut sidang putusan. Polisi mengklaim Hermanus sakit.
Dilik berujung vonis delapan bulan. Sedangkan James divonis 10 bulan. James, ayah empat anak, bebas pada 28 Desember 2020 dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Saat keluar penjara, James dijemput keluarga menggunakan mobil. Namun, belum sampai rumah, dia berhenti di pinggir Sungai Mentaya. Ia melepas semua pakaiannya lalu terjun ke sungai. “Untuk buang sial,” ujarnya.
James juga memenuhi janjinya berenang di Sungai Mentaya bila bebas. Semua dilakukan agar kejadian serupa tidak menimpa keluarga dan kawan-kawannya.
Keinginan James kali ini tampaknya belum terkabul. Gilik, tetangga James, berpulang di usia muda. Dua lainnya, Taufik Nur Rahman (23) dan Ambaryanto (54), juga terkena tembakan dan harus dirawat intensif.
Tak kunjung selesai, jalan panjang damai di Bangkal sepertinya masih terjal. Saat diskusi perusahaan dan warga selalu buntu, negara harus hadir memberi solusi.