Tempe, Membalik Nasib Pengimpor Kedelai
Selama puluhan tahun Indonesia bergantung pada kedelai impor. Kini tempe, produk kedelai, diekspor ke banyak negara.
Tidak pernah terbayang oleh Cucup Ruhiyat, usaha pembuatan tempe tradisional yang digelutinya sekarang menjelma menjadi industri skala ekspor bervolume puluhan ton per bulan. Bahkan, salah satu pasarnya adalah Amerika Serikat, negara asal kedelai yang mereka impor untuk bahan baku tempe.
Dengan merek dagang Azaki, tempe beku produksi Rumah Tempe Azaki itu telah menembus pasar di empat negara. Selain AS, Azaki sudah merambah konsumen di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
”Tanggal 30 November nanti kami ekspor 3 ton tempe ke pasar baru, Hong Kong,” ujar Cucup yang juga menjabat Direktur Utama Rumah Tempe Azaki saat dihubungi, Senin (27/11/2023).
Melalui pabrik di Bogor, Jawa Barat, Rumah Tempe Azaki menapaki cerita sukses ekspor tempe sejak 2021. Total ekspornya kini mencapai 40-50 ton setiap bulan. Ini sekaligus menjadi pabrik tempe terbesar di dunia, dengan kapasitas produksi 135 ton per bulan.
Cucup pun tengah membidik sejumlah negara lain untuk pemas ran produknya, di antaranya China dan India. Selain itu, perusahaannya juga mengembangkan produk lain untuk diekspor, yakni keripik tempe.
Di tengah masih bergantungnya Indonesia pada impor kedelai, ekspor tempe yang dilakukan Azaki menjadi salah satu ”obat penawar”. Bahan baku yang diimpor diberi nilai tambah, kemudian diekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2022, volume impor kedelai sebesar 2,3 juta ton. Dari jumlah itu, 1,9 juta ton (83 persen) berasal dari AS. Adapun produksi kedelai dalam negeri hanya sekitar 300.000 ton.
Melalui ekspor tempe, kedelai jadi pengungkit nilai tambah yang akan dinikmati di dalam negeri. Cucup menjelaskan, profit ekspor bisa 2-3 kali lipat lebih besar daripada penjualan di dalam negeri. Keuntungan lain bagi perekon mian nasional adalah penyerapan tenaga kerja dan perputaran uang dari rantai produksi.
Peluang lebar
Dalam diskusi bertajuk ”Tempe and Sustainability” yang digelar di Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (23/11/2023), perihal ekspor tempe ini juga dibahas oleh Sekretaris Jenderal Forum Tempe Indonesia (FTI) Muhammad Ridha. FTI merupakan organisasi nonprofit yang membantu pengembangan industri kecil tempe dan promosi tempe. Tempe Azaki merupakan salah satu binaan FTI.
”Peluang tempe menjadi produk ekspor unggulan Indonesia terbuka lebar,” ujar Ridha.
Dia pun menjabarkan sejumlah kondisi yang memungkinkan itu terjadi. Salah satunya adalah tren diet makanan berbasis tanaman (plant-based food) yang terus menanjak. ”Diperkirakan dalam 10 tahun ke depan, pasar produk plant-based food meningkat tiga kali lipat,” katanya.
Tempe, yang tentu saja masuk kategori itu, memiliki keunggulan dibandingkan plant-based food yang lain, yakni statusnya sebagai superfood yang diakui dunia. Superfood adalah makanan yang sangat kaya nutrisi sehingga menunjang kesehatan manusia.
Baca juga : Tempe, Makanan Super yang Tak Tergantikan
Soal ini, juara dunia panjat tebing asal Indonesia, Aries Susanti Rahayu, memberi testimoni dalam diskusi. Dia mengungkapkan, tempe menjadi salah satu menu makanan di pemusatan latihan nasional (pelatnas). ”Protein tempe sangat bagus dan dibutuhkan atlet,” ujarnya.
Selain keunggulan nutrisi, harga tempe pun relatif murah ketimbang superfood lain sehingga dapat diakses banyak orang. Indonesia dalam urusan ini mengantongi keunggulan kompetitif tambahan karena bisa memproduksi tempe dengan biaya lebih rendah ketimbang negara lain.
Hal ini pun diakui Cucup. Katanya, harga jual tempe Azaki yang diekspor ke Jepang hanya separuh dari tempe serupa yang dibuat produsen Jepang. Hal itu juga menjadi salah satu alasan tempe Azaki bisa laris di pasaran Jepang.
Keunggulan lain, menurut Ridha, adalah soal branding. Tempe merupakan makanan asli Indonesia yang telah diakui dunia. Penganan itu sudah dikenal luas di Jawa setidaknya sejak abad ke-16, seperti yang tercatat dalam Serat Centhini.
”Jadi, meskipun banyak negara lain memproduksi tempe, orang akan tetap melihat tempe yang asli, ya, dari Indonesia, sehingga dapat mengungkit pemasarannya,” kata Ridha.
Di negara-negara subtropis, pengasaman ini memerlukan bantuan cuka atau asam sehingga rasanya jadi berbeda.
Karena diproduksi di iklim tropis, tempe buatan Indonesia juga memiliki kekhasan rasa. Hal ini tidak ditemui pada tempe produksi negara-negara subtropis yang sekarang banyak bermunculan.
Ridha menjelaskan, proses pengasaman dalam fermentasi tempe di Indonesia berlangsung secara alamiah dengan bantuan bakteri asam laktat. Hal itulah yang membentuk tekstur, aroma, dan rasa tempe. ”Di negara-negara subtropis, pengasaman ini memerlukan bantuan cuka atau asam sehingga rasanya jadi berbeda,” ucapnya.
Tidak mudah
Meski telah didukung berbagai faktor tadi, mewujudkan ekspor tempe bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan investasi waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang tak sedikit untuk menghasilkan produk yang bisa diterima negara lain. Apalagi, jika pasar yang dituju adalah negara-negara dengan standar keamanan pangan tinggi, seperti Jepang, Uni Eropa, dan AS.
Cucup menjelaskan, untuk masuk Jepang, tempe tidak boleh mengandung bakteri E coli sama sekali, selain setumpuk persyaratan lain. Jepang merupakan pasar ekspor pertamanya. ”Saat itu prosesnya membutuhkan waktu 8-9 bulan sampai akhirnya kami bisa memenuhi semua persyaratan dan ekspor perdana,” katanya.
Hal ini juga diakui Ridha menjadi tantangan terbesar. Mayoritas perajin tempe di Indonesia masih berupa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang serba terbatas. Mereka beroperasi secara tradisional dan banyak yang belum menerapkan standar produksi yang memenuhi aspek kebersihan dan keamanan pangan.
Baca juga : Kesadaran Publik Memilih Pangan Aman
Selain membutuhkan niat besar dan mau repot untuk memenuhi berbagai persyaratan ekspor, Ridha mengatakan, modal menjadi kendala lain yang dihadapi perajin. Untuk memproduksi pangan yang aman dan bersih, perajin harus mengganti alat-alat produksi dengan teknologi yang sesuai serta melengkapi berbagai fasilitas pendukung.
Namun, dia meyakini, soal permodalan bisa diatasi melalui berbagai skema pinjaman yang ada saat ini, baik dari pemerintah maupun lembaga keuangan. Syaratnya, pelaku usaha bisa meyakinkan pasar itu terbukti ada.
Faktor lain yang menjadi kunci sukses ekspor tempe adalah menemukan mitra lokal yang kuat di negara tujuan. Ridha mengatakan, sebelumnya sudah ada beberapa usaha tempe yang juga melakukan ekspor. Namun, hanya satu-dua kali kirim, setelah itu berhenti karena tidak laku.
”Mitra lokal berperan penting dalam pemasaran di negara tujuan. Jadi, sukses atau tidaknya ekspor bergantung pula pada mitra lokal tersebut,” ucapnya.
Baca juga : Tiga Komoditas Ekspor RI Terdampak El Nino
Profesor Made Astawan, dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University, mengungkapkan, ekspor tempe dimungkinkan karena teknologi pembekuan sudah mendukung hal itu. Saat ini, 27 negara di dunia telah mengenal tempe.
Peran yang bisa diambil pemerintah adalah memastikan ketersediaan kedelai secara berkelanjutan agar perajin bisa terus memproduksi tempe. ”Tempe sudah menjadi warisan budaya Indonesia yang harus diteruskan ke generasi selanjutnya,” ujarnya.