Tempe, Makanan Super yang Tak Tergantikan
Kedelai sebagai bahan pembuat tempe sulit tergantikan. Cita rasa kedelai dan gizi dari ”Raja Biji-bijian” ini, yang ditingkatkan melalui fermentasi, menjadikan tempe makanan super tak tergantikan.
”Tempe enak banget buket mbleket aket/
Apa maning bar digoreng esih anget anget.”
Demikian potongan lirik lagu berjudul ”Tempe” oleh penyanyi dangdut Nella Kharisma, yang dihapal Laila Hapsari (41).
Lirik berbahasa Jawa dialek Tegalan itu menceritakan kenikmatan tempe, terlebih saat digoreng hangat-hangat. Selain nikmat, bagi ibu rumah tangga tersebut, tempe telah menjadi bagian dari makanan pokok, selain beras.
Ia menyebut biasa membeli lima hingga tujuh tempe papan seminggu untuk dikonsumsi bersama tiga anggota keluarganya, termasuk bayi 12 bulannya yang telah mengonsumsi pendamping ASI. Tempe itu biasa direbus, ditumis dengan kacang panjang, dibuat orek pedas manis, atau digoreng dengan tepung menjadi mendoan.
”Tempe buat lauk lebih murah daripada beli daging-dagingan,” ujar warga Depok, Jawa Barat, tersebut Senin (4/1/2021).
Pegiat kuliner Nusantara, William Wongso, juga mengaku sangat menyukai tempe, seperti mendol khas Malang, yang biasa disajikan sebagai lauk pelengkap rawon atau nasi pecel. Mendol dibuat dengan tempe kedelai yang sudah didiamkan beberapa malam, kemudian dikepal seperti perkedel dan dicampurkan bumbu cabai, daun jeruk, atau kencur sebelum digoreng kering.
Kendati pria kelahiran Jawa Timur 73 tahun lalu itu merasakan kualitas kedelai pada tempe kini lebih gembos dan teksturnya mudah lumat, tempe tetap menjadi pangan harian favoritnya, sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya.
”Tempe digemari bukan hanya karena cita rasanya, melainkan karena telah menjadi asupan nasional dan kebutuhan konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia. Tempe tidak hanya dikonsumsi mereka yang tidak mampu, ada juga orang yang mampu minta tempe setiap hari untuk menambah selera makan,” tuturnya.
Sepengetahuan William, tempe telah dikenal lama oleh masyarakat Jawa sejak ratusan tahun lalu. Ini terbukti dari penemuan kata tempe dalam buku kesusastraan Jawa yang ditulis abad ke-19, Serat Centhini, sebagai nama lauk-pauk. Bersama dengan tahu yang dibawa orang Tiongkok ke Jawa sekitar abad ke-17, tempe biasa dibuat dengan bahan baku kacang kedelai.
Kedelai impor
Sejarawan dan budayawan Ong Hok Ham, dalam Kompas (1/1/2000), menulis, kacang kedelai sudah dikenal di Tiongkok sejak 5.000 tahun lalu. Di Indonesia, tanaman pangan, termasuk kedelai, menjadi vital dan menggeser produk hewani sejak jumlah penduduk Jawa semakin bertambah dan program tanam paksa dilancarkan kolonial Belanda.
Meski Indonesia memiliki varietas kedelai hitam (Glycine soja (L) Merrit), kebutuhan kedelai kuning (Glycine max (L) Merril) terus meningkat. Pada 1992, Indonesia pernah mampu swasembada kedelai dengan jumlah produksi mencapai 1,8 juta ton setahun.
Namun, kebutuhan impor kedelai kuning tidak bisa ditahan karena lebih bagus digunakan sebagai bahan baku tempe. Kedelai varietas tersebut tumbuh lebih baik di daerah subtropis karena penyinaran matahari saat musim panas lebih panjang daripada saat musim kemarau di daerah tropis.
Kebutuhan impor kedelai pada 2019, menurut Badan Pusat Statistik, mencapai 2,67 juta ton, dengan 2,51 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Sementara itu, produksi kedelai lokal pada tahun sama hanya 480.000 ton dan pada 2020 diperkirakan 420.000 ton.
Setiap tahun, Indonesia membutuhkan rata-rata 2,8 juta ton per tahun, yang 95 persennya dipenuhi impor. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen dari kedelai impor itu untuk bahan baku tempe, 25 persen tahu, dan sisanya produk lain.
Baca juga : Perajin Tahu dan Tempe Terpaksa Naikkan Harga
Ketergantungan impor membuat harga kedelai dalam negeri sangat bergantung situasi perkebunan dan mekanisme pasar global. Pada 31 Desember 2020, rata-rata harga kedelai dunia tembus 13,11 dollar AS per gantang (27,2 kilogram/kg) atau sekitar Rp 6.798 per kg. Rata-rata harga tersebut meningkat 37,65 persen dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 9,53 dollar AS per gantang.
Lonjakan harga tersebut sebenarnya mulai terjadi sejak awal 2020 (Kompas, 4/1/2021). Hal itu disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pulihnya permintaan kedelai dari China, penurunan produksi akibat imbas La Nina di sejumlah negara produsen kedelai, dan imbas pandemi Covid-19.
Belakangan, lonjakan permintaan kedelai oleh China dari AS mendorong kenaikan harga kedelai. Produsen tahu dan tempe Indonesia melaporkan, kenaikan harga kedelai sejak akhir 2020 dari Rp 6.500-Rp 7.000 per kg menjadi Rp 9.000-Rp 10.000 per kg. Mau tidak mau, harga tempe yang normalnya Rp 10.000-Rp 12.000 per kg, harus naik menjadi Rp 15.000 per kg.
Situasi ini membuat produsen tahu dan tempe berhenti berproduksi pada 1-3 Januari 2020. Mereka tidak mau merugi karena masyarakat kerap resisten terhadap kenaikan harga. Mogok dilakukan produsen di Jabodetabek, sebagian Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Banten, hingga Aceh.
”Kami sekadar ingin hidup dan makan, bukan mencari kekayaan. Kami minta pengertiannya,” kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin.
Tarbiah (49), produsen tempe di Jakarta Pusat, mengaku kenaikan harga kedelai membuatnya nyaris tidak mendapat untung. Mayoritas pendapatan habis untuk upah pekerja dan kebutuhan produksi. Pendapatan yang tersisa hanya cukup untuk makan sehari-hari. Biaya kontrak rumah pun menunggak dua bulan.
Tak tergantikan
Meskipun banyak tantangan, kedelai sebagai bahan pembuat tempe sulit tergantikan. Cita rasa kedelai dan gizi dari jenis kacang-kacangan berjuluk ”Raja Biji-bijian”, yang ditingkatkan melalui proses fermentasi, menjadikan tempe makanan super bagi manusia.
Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia (FTI) Made Astawan menyebut, tempe menjadi sumber protein kedua masyarakat Indonesia selain beras, yang juga kaya protein selain karbohidrat.
Dari rata-rata angka kecukupan protein bagi masyarakat Indonesia yang mencapai 57 gram per orang per hari, sekitar 10 persen dipenuhi tempe. Nilai itu jauh lebih tinggi dari kontribusi konsumsi sumber protein hewani, seperti susu, telur, dan ikan, atau daging lainnya, yang masing-masing masih di bawah 5 persen.
”Selain berprotein tinggi, hasil fermentasi tempe juga menghasilkan komponen bioaktif sebagai zat nongizi yang tadinya tidak ada di kedelai. Adanya kapang (jamur Rhizopus sp.) dan bakteri membuat komponen kompleks, seperti karbohidrat, protein, dan lemak, jadi lebih sederhana dan mudah dicerna untuk kesehatan,” jelasnya.
Dengan kualitas protein yang kurang lebih setara, harga tempe jauh lebih murah dari sumber protein hewani. Harga telur dan daging ayam saat ini, misalnya, rata-rata Rp 30.000 per kg, daging sapi rata-rata mencapai di atas Rp 100.000 per kg.
Dari segi bisnis, Made menyebut, pembuatan tempe dan tahu yang banyak dilakoni pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga masih menjanjikan.
Keuntungan bisnis tempe juga dimungkinkan dari penggunaan teknologi yang lebih sederhana dibandingkan produksi tahu. Peningkatan higienitas dan pemutakhiran teknik pembuatan tempe yang dekade belakangan banyak diadaptasi dan meningkatkan harga tempe, juga tidak menurunkan minat masyarakat mengonsumsi tempe.
”Kami di FTI pernah melakukan survei beberapa tahun lalu, konsumen mengaku mau mengeluarkan Rp 500 sampai Rp 1.000 per kemasan untuk tempe higienis,” katanya.
Baca juga : Kedelai dan Keledai
Alternatif
Menurut Made, menggantikan kedelai sebagai bahan pembuat tempe tampaknya sulit dilakukan. Penggunaan kacang-kacangan lain, seperti koro pedang atau kecipir yang bisa diproduksi secara lokal, butuh adaptasi rasa dari masyarakat. Selain itu, secara kandungan gizi, kedelai tetap paling unggul karena proteinnya yang tinggi.
Menekan impor dengan memperbanyak produksi kedelai lokal, dinilai Made, menjadi solusi terbaik. Produksi kedelai bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu mencari benih varietas baru yang sesuai iklim Indonesia, memperbaiki teknologi budidaya, dan memperluas lahan produksi.
”Produksi kedelai di Indonesia saat ini hanya 1,5 ton per hektar. Oleh karena itu, harus ada upaya mencari benih varietas baru yang cocok untuk paling tidak menaikkan produksi 2 ton per hektar, diikuti perbaikan teknologi budidaya, dan perbanyak lahan produksi kedelai,” tuturnya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) fokus melipatgandakan produksi atau ketersediaan kedelai dalam negeri. Produksi kedelai dalam negeri harus bisa bersaing, baik kualitas maupun harganya, melalui perluasan areal tanam dan sinergi dari para integrator, unit-unit kerja Kementan dan pemerintah daerah.
Upaya itu tentunya menjadi kabar baik bagi perajin dan konsumen tempe seantero negeri. Bagaimanapun, tempe berbahan kedelai yang telah diturunkan dari generasi ke generasi sulit untuk digantikan. William Wongso mengatakan, minat konsumsi tempe hanya bisa berhenti dikonsumsi jika ada generasi yang terputus dalam mengenal tempe.