Persoalan tanah masih mendera warga Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Percepatan program pendaftaran tanah sistematis lengkap diharapkan bisa memenuhi target dan menyelesaikan masalah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ribuan sertifikat tanah masih bermasalah di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mulai dari tumpang tindih hingga sertifikat palsu. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) diharapkan bisa segera diselesaikan di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.
Kasus pertanahan di Kota Palangkaraya dalam dua tahun terakhir terus mencuat. Hal ini seperti dirasakan belasan warga di Jalan Hiu Putih VIII, VIII A, VIII B, dan XI yang sampai saat ini masih berurusan dengan pengadilan karena tiba-tiba ada sekelompok orang yang memiliki sertifikat tanah di lokasi yang sama. Dugaan adanya mafia tanah membuat warga resah.
Sardi Efendi (40), warga Hiu Putih yang sertifikatnya dibatalkan bersama 11 orang lainnya, kini sedang berurusan di Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya karena digugat warga lain yang memiliki sertifikat di lokasi sama. Padahal, dirinya mengaku terlebih dahulu memiliki tanah itu dengan dokumen yang terbit sejak 2013, lalu tahun 2023 dokumen itu digugat.
Sardi dan belasan warga lainnya sampai menyewa jasa kuasa hukum untuk menjalani gugatan tersebut. Ia mengaku sudah memenuhi semua syarat yang diberikan negara.
Hal itu juga dibenarkan oleh Lurah Bukit Tunggal Subhan Noor yang pada Kamis (16/11/2023) sore menemani Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/Kepala BPN) Hadi Tjahjanto dalam kunjungan ke Kota Palangkaraya.
Subhan menjelaskan, di kelurahannya saja dari 3.000 bidang tanah yang bersertifikat, lebih kurang 1.500 sertifikat tanah bermasalah, termasuk di Jalan Hiu Putih tersebut. Menurut dia, faktor yang paling berpengaruh adalah persoalan asal-usul. Warga yang ingin membuat sertifikat saat ini terhambat karena sebenarnya di obyek tanah yang sama sudah ada sertifikat yang didaftarkan, bahkan jauh sebelum dirinya menjabat.
Di Kelurahan Bukit Tunggal dari 3.000 bidang tanah yang bersertifikat, lebih kurang 1.500 sertifikat tanah bermasalah,
Subhan berupaya untuk meneruskan masalah itu kepada Menteri ATR agar bisa diselesaikan. ”Gak hanya itu, masih ada juga yang mau klaim tanah dengan verklaring dan banyak masalah lainnya,” kata Subhan.
Pada Kamis petang, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto bertemu dengan warga untuk menggali masalah dan keluhan yang dihadapi warga. Ia juga membagikan 10 sertifikat gratis kepada warga di Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya.
Hadi menjelaskan, saat ini dari target 22.000 bidang tanah yang disertifikat, baru 19.360 bidang tanah yang telah bersertifikat atau 88 persen. Kota Palangkaraya menunjukkan progres, tetapi semua harus bisa diselesaikan tahun ini.
”Tinggal 12 persen lagi selesai. Jadi, harapan saya tahun ini bisa dilengkapi, artinya seluruh bidang tanah sudah terdaftar. Keuntungannya, kalau semua sudah terdaftar, tidak ada lagi tumpang tindih, tidak ada lagi cekcok, atau saling caplok tanah di antara warga,” ungkap Hadi.
Ia menambahkan, jika sudah lengkap, pihaknya akan mengunggah data tersebut ke situs yang telah disiapkan. Proses digitalisasi itu ia nilai mampu mengantisipasi persoalan mafia tanah.
”Negara atau pemerintah melindungi masyarakat dari ancaman mafia tanah. Selain itu, sertifikat itu juga bisa digunakan jadi jaminan bagi masyarakat yang ingin berusaha untuk UMKM juga, tinggal diajukan ke bank,” kata Hadi.
Kepala BPN Kota Palangkaraya Yono Cahyono mengungkapkan, persoalan tumpang tindih sertifikat masih menjadi pekerjaan rumah pihaknya bersama Pemerintah Kota Palangkaraya. Pihaknya akan berupaya maksimal untuk menuntaskan target sisa 12 persen tersebut. Ia berharap tahun ini semua bisa selesai sehingga warga bisa mendapatkan sertifikat bidang tanahnya. Ia percaya hal itu bisa mengantisipasi mafia tanah di Kota Palangkaraya.
”Dengan penjabat wali kota juga kami punya target, kami harap ini bisa selesai. Kendala dan tantangan memang sama, yaitu terkait penguasaan tanahnya, bahkan kadang orangnya juga gak ada di tempat. Ini perlu kolaborasi semua pihak, termasuk pemerintah kota,” ujarnya.