Kota Palangkaraya dikepung mafia tanah. Perlu penegakan hukum yang maksimal juga upaya penertiban adiminstrasi pertanahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Praktik mafia tanah di Kota Palangkaraya diduga berlindung di balik predikat adat. Mereka menggunakan surat palsu untuk mengklaim tanah hingga merusak lahan. Praktik itu sudah berlangsung puluhan tahun dan nyaris tanpa solusi.
Sejak awal 2023, kasus perebutan tanah di Kota Palangkaraya terus mencuat melibatkan ratusan hektar tanah. Di Jalan Victoria, Kota Palangkaraya, misalnya, 40 warga menggugat salah satu kelompok adat yang mengklaim tanah.
Selain itu, Pemerintah Kota Palangkaraya digugat salah satu warganya hingga Rp 16 miliar. Polda Kalteng juga menetapkan tersangka pemalsu dokumen di Kota Palangkaraya yang mengklaim tanah seluas 810 hektar atau hampir seluas Kecamatan Tanah Abang di Jakarta Pusat.
Ketua Kalteng Watch Anti Mafia Tanah Men Gumpul Cilan Muhammad menjelaskan, seluruh sudut Kota Palangkaraya diduga dikelilingi mafia tanah dan bermasalah. Setidaknya, ada 18 kasus perebutan tanah. Kasus itu biasanya bermula dengan modus serupa, pemalsuan dokumen tanah adat dan surat verklaring (semua tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan dianggap domain negara).
”Modusnya pakai verklaring yang kami duga palsu semua. Lalu diakali kelompok dengan lambang adat dan bekerja sama dengan oknum-oknum lain, mulai dari pejabat hingga aparat penegak hukum,” kata Men Gumpul di Kota Palangkaraya, Senin (6/2/2023).
POLDA KALTENG
Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Kismanto Eko Saputro saat jumpa media terkait penangkapan mafia tanah di Kota Palangkaraya, Sabtu (4/2/2023). Pelaku MSG berdiri di belakang Eko Saputro. Ia diduga memalsukan dokumen paklaring.
Dari verklaring tanah adat, lanjut Men Gumpul, oknum mafia tanah kemudian membuat Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) untuk memulai aktivitas di lahan yang sudah diklaim. Sayangnya, dari 18 kasus yang ia tangani, dua di antaranya tidak dimenangkan maupun tidak dikalahkan dalam persidangan sengketa tanah. Padahal, kliennya sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
”Lucu, yang punya SHM malah kalah dengan verklaring yang sudah tidak diakui. Artinya ada kesalahan penegak hukum dalam interpretasi Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960,” kata Men Gumpul.
Salah satu kasus yang ditangani lembaga tersebut ditindaklanjuti Polda Kalteng. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Eko Saputro menjelaskan, pihaknya menahan MSG (69). Dia diduga memalsukan dokumen verklaring Nomor 23 Tahun 1960. Dengan surat tersebut, ia mengklaim tanah seluas 810 hektar.
Kasus itu bermula dari laporan lembaga Men Gumpul atas permintaan warga Kota Palangkaraya yang puluhan tahun dirugikan. Laporan itu kemudian ditindaklanjuti aparat kepolisian.
”Kasus ini bermula dari laporan masyarakat pada Agustus tahun lalu. Kami tindaklanjuti dan menentukan satu tersangka,” ungkap Eko.
Eko menambahkan, MSG menggunakan dasar Verklaring Nomor 23 Tahun 1960 tanggal 30 Juni 1960 dengan ukuran tanah 810 hektar yang mengklaim tanah di Jalan Hiu Putih, Kota Palangkaraya. Dia lalu menyerahkan kepada anaknya dan menjual sebagian tanah kepada orang lain dengan keuntungan lebih kurang Rp 2 miliar.
”Kami juga berhasil mengamankan barang bukti berupa satu lembar fotokopi legalisasi surat wasiat tertanggal 14 April 1978 dengan diketahui Kepala Kampung Pahandut Basran Asmail dan atas nama Camat Pahandut M.P.P.C.W. Adam, puluhan tahun lalu. Surat ini jadi alasan pengklaiman lahan,” kata Eko.
Eko menambahkan, tersangka dikenakan Pasal 263 Ayat (1) KUHP atau Pasal 263 Ayat (2) KUHP. Ancaman penjaranya hingga enam tahun penjara.
DOKUMEN POLDA KALTENG
Men Gumpul, Ketua Kalteng Watch Anti Mafia Tanah memberikan keterangan di sela-sela jumpa media, di Kota Palangkaraya, Sabtu (4/2/2023).
”Mafia tanah ini mulai dari oknum kelurahan, tokoh adat, pejabat kecamatan, kabupaten hingga oknum aparat kepolisian terlibat, jadi perlu upaya serius tangani ini,” ungkapnya.