Kekerasan dan Perundungan Remaja Perempuan yang Viral di Cirebon
Kasus perundungan oleh remaja perempuan di Cirebon mengungkap masalah pola asuh keluarga.
Viralnya kasus perundungan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengungkap fenomena kelompok remaja perempuan yang tidak segan melakukan kekerasan. Namun, di balik itu semua, mereka sebenarnya korban dari lingkungan dan masalah polah asuh keluarga.
Sembilan perempuan berusia belasan tahun duduk tertunduk di ruangan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/11/2023). Orangtua, aparat desa, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Cirebon juga hadir.
Saking padatnya, penyejuk ruangan tak terasa. Keringat keluar di dahi, sedangkan bulir air menetes dari mata mereka. Jaket hitam dengan celana jins yang robek tidak mampu menyembunyikan kesedihan beberapa dari mereka. Remaja ini berjanji berperilaku lebih baik.
Kesembilan anak itu diduga kuat terkait kasus perundungan yang sempat viral di media sosial. Dalam akun Instagram salah satu media di Cirebon, misalnya, video itu telah ditonton lebih dari 523.000 kali dan dibagikan 1.297 kali. Padahal, video itu baru diunggah 22 jam lalu.
Dalam video berdurasi 30 detik itu tampak seorang remaja perempuan berbaju merah memukul kepala hingga perut anak perempuan lainnya. Ia juga menjambak rambut panjang anak yang mengenakan pakaian putih itu. Sejumlah temannya pun berusaha memisahkan keduanya.
Baca juga: ”Konten” Saling Tantang di Cirebon Kembali Mencabut Nyawa Pelajar
Peristiwa itu terjadi di dekat jembatan Dusun 3 RT 001 RW 003, Desa Karangwangun, Kecamatan Babakan, Jumat (10/11/2023) sekitar pukul 15.30. Lokasinya 20 meter dari jalan raya yang menghubungkan Gebang dan Pabuaran. Di sampingnya, berdiri kantor urusan agama.
”TKP (tempat kejadian perkara) memang di Karangwangun. Tapi, pelakunya itu bukan warga sini. Dikira (mereka) main-main. Eh, ternyata (berkelahi) betulan,” ujar Kepala Seksi Pelayanan Desa Karangwangun Wasirudin. Warga dan pengendara yang melintas tidak melerai.
Jangankan peristiwa itu, tumpukan sampah di dasar parit yang kering selama sebulan terakhir saja terkesan tidak digubris. Padahal, sampah plastik makanan hingga popok bekas itu mengeluarkan bau tidak sedap.
”Sampah itu (berasal) dari warga yang lewat dan luar desa,” ucapnya.
Viral
Wasirudin tidak paham penyebab perkelahian itu. Ia mengaku kaget dengan viralnya kasus perundungan di daerahnya itu. ”Kalau pelakunya orang sini, sudah kami panggil. Enggak ada kasus begitu di sini, baru kali ini. Malah viral lagi. Kami kayak kena getahnya saja,” katanya.
Di medsos, video itu juga mengundang lebih dari 2.700 komentar warganet. Berbagai spekulasi pun muncul. Ada yang menganggap remaja putri itu bertengkar karena memperebutkan laki-laki. Ada juga yang menyebarkan video itu ke grup Whatsapp tanpa menyensor wajah anak-anak itu.
Ada pula yang menyematkan musik pengiring seni tradisi dalam sandiwara ke video itu. Musik dengan petikan gitar dan irama suling atau tarling serta tabuhan gendang itu seolah menggambarkan pertarungan wayang orang di panggung. Padahal, video itu bukan sandiwara.
Setelah video itu viral di medsos pada Senin (13/11/2023), polisi pun mendalaminya. Pada Selasa siang, sembilan remaja yang berusia sekitar 15 tahun ini menjalani pemeriksaan di Polresta Cirebon. Dari penelusuran sementara, terungkap bahwa mereka tergabung dalam satu kelompok.
”Nama gengnya Ladys Cirebon Timur. Tapi, korban yang juga anggota (geng itu) keluar dari grup. Korban ini ngomong ke teman-teman di luar bahwa pelaku jelek, jerawatan, beruntusan, dan suka jalan sama cowok,” ujar Kepala Unit PPA Polres Kota Cirebon Inspektur Satu Sujiani Dwi Hartati.
Anak yang terlibat kekerasan sebenarnya merupakan korban. Selain pola asuh, stigma buruk dari lingkungan hingga impitan ekonomi turut memengaruhi perilaku anak.
Sengaja merekam
Pelaku pun marah. Ia lalu mengajak teman-temannya, termasuk korban, bertemu. Awalnya, mereka mengobrol di belakang sebuah SMA di Pabuaran. Namun, karena lokasinya ramai ibu-ibu, mereka pun mengendarai sepeda motor ke Desa Karangwangun.
Awalnya, pelaku dan korban berbincang kurang dari setengah jam. Namun, obrolan itu berakhir dengan kekerasan. Pelaku menjambak serta memukul korban. Enam temannya berusaha melerai, sedangkan dua lainnya merekam aksi itu.
”Mereka sengaja merekam untuk disebar,” ucapnya.
Atas kejadian itu, keluarga korban dan pelaku sepakat untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Korban juga tak terluka. Polisi telah memanggil keluarga mereka.
”Kalau pelaku ini, orangtuanya sudah lama cerai. Jadi, broken home. Dia ikut sama pakdenya,” kata Dwi.
Kesembilan remaja itu juga masih menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama dan atas. Itu sebabnya, polisi tidak melanjutkan ke proses hukum.
”Kami memfasilitasinya dan alhamdulillah mereka sudah meminta maaf serta berjanji untuk tidak membuat grup,” ujarnya.
Meski demikian, kasus ini mengungkap fenomena kekerasan di kalangan pelajar perempuan. Mereka juga kerap menantang geng lainnya memakai kode khusus via akun media sosial atau dikenal dengan tawuran konten. Kode untuk bertemu, misalnya, disebut COD (cash on delivery).
Mereka pun acapkali berkumpul di jalan layang Gebang atau lapangan. ”Nanti kalau ketemu, mereka ribut dengan ’tangkos’, tangan kosong, pukul-pukulan, jambak-jambakan. Kirain cuma laki-laki saja (tawuran), ternyata perempuan juga. Mereka sudah dua kali tawuran,” tutur Dwi.
Ketua KPAID Kabupaten Cirebon Fifi Sofiah prihatin dengan fenomena perundungan dan kekerasan tersebut. ”Tahun ini, ada dua kasus perundungan yang pelakunya anak perempuan. Kalau total, semuanya ada delapan kasus. Semuanya diselesaikan secara kekeluargaan,” ujarnya.
Menurut dia, efek jera melalui proses hukum bukan merupakan satu-satunya solusi atas kasus perundungan anak. ”Yang terpenting itu, pengawasan dan pola asuh yang baik dari orangtua kepada anak. Mereka butuh dukungan untuk mengubah diri menjadi lebih baik,” kata Fifi.
Selama ini, katanya, orangtua belum menjadi tempat cerita bagi anaknya. Sejumlah remaja perempuan pada kasus perundungan itu, misalnya, mempunyai kunci layar di telepon pintarnya yang tidak diketahui oleh orangtuanya. Bahkan, beberapa anak membuat kode sandi untuk aplikasi tertentu.
”Kami akan memantau kesembilan anak perempuan ini. Kami sudah bikin grup Whatsapp dengan orangtuanya. Jadi, gampang komunikasi. Kami juga berkoordinasi dengan pihak sekolah,” kata Fifi. Ia berharap pemerintah meningkatkan sosialisasi bahaya perundungan.
Baca juga: Tawuran Geng Motor di Cirebon Terus Menelan Korban Jiwa
Korban
Asih Widiyowati, pendiri Umah Ramah, lembaga yang fokus pada isu kekerasan perempuan dan anak, mengingatkan, anak yang terlibat kekerasan sebenarnya merupakan korban. Selain pola asuh, stigma buruk dari lingkungan hingga impitan ekonomi turut memengaruhi perilaku anak.
Impitan ekonomi, misalnya, memaksa orangtua bekerja ke luar kota bahkan menjadi pekerja migran. Akhirnya, mereka tidak mempunyai banyak waktu memantau anak-anaknya. Padahal, anak berusia belasan tahun membutuhkan teman bicara dan berbagi pengalaman.
Masalah lainnya adalah stigma buruk masyarakat terhadap anak. ”Lingkungan mengecap anak itu nakal. Akhirnya, dia merasa semua orang enggak suka dengan dirinya. Dia pun memilih melakukan hal buruk. Sekolah juga harus berperan di sini. Ingat, setiap anak itu unik,” katanya.