”Konten” Saling Tantang di Cirebon Kembali Mencabut Nyawa Pelajar
Media sosial menjadi ”racun” jika tidak dikelola dengan baik oleh penggunanya. Di Cirebon, Jabar, keberadaan media sosial berulang kali merenggut nyawa manusia.
Konten saling tantang antara kelompok pemuda Cirebon, Jawa Barat, di media sosial kembali menelan korban jiwa. Semua bermula dari jari lalu menjelma celurit hingga samurai. Butuh solusi dari hulu ke hilir agar calon generasi penerus bangsa ini tidak berakhir di jeruji besi.
GN dan RS hanya bisa tertunduk lesu di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon pada Jumat (6/1/2023) sore itu. Topeng hitam menutupi wajahnya, kecuali sepasang matanya. Mengenakan baju oranye bertuliskan ”Tahanan Polsek Talun”, tangan kedua pelajar berusia 17 tahun ini terborgol.
Keduanya menjadi tersangka kasus pengeroyokan yang mengakibatkan SA (17) meregang nyawa. Petaka itu bermula saat GN dan RS berkumpul bersama gengnya di sebuah tempat, Jumat (30/12/2022) sekitar pukul 01.00. ”Di sana, ada juga yang minum (minuman keras),” ujar GN.
Ternyata, rekannya sedang berbalas pesan di Instagram dengan geng lainnya. Isinya, saling tantang untuk tawuran. Kedua kelompok ini pun sepakat untuk bertemu dengan kode COD (cash on delivery). Istilah ini sebenarnya merujuk pada belanja daring dengan sistem bayar di tempat.
Baca juga: Tawuran Geng Motor di Cirebon Terus Menelan Korban Jiwa
Namun, GN dan 20 rekannya tidak membawa paket di pengujung malam itu. Mereka datang memegang celurit, senjata tajam mirip katana, sepanjang hampir 1 meter dan stik golf.
”Saya ikut-ikutan saja dengan B (terduga pelaku lainnya). Senjatanya enggak tahu dari mana,” katanya.
Geng GN dan kelompok lawan yang berjumlah sekitar 10 orang pun bentrok di Jalan Gang Teratai, Desa Kepongpongan, Kecamatan Talun, setelah azan Subuh berkumandang. Jaraknya hanya 1,2 kilometer dari Polsek Talun. GN, SR, dan lainnya pun diduga mengeroyok SA.
Bacokan senjata tajam dan pukulan senjata tumpul mengakibatkan SA meninggal di lokasi. Tubuh pelajar itu penuh darah dari sabetan. Beberapa hari berikutnya, polisi meringkus GN dan SR. Polisi juga terus mengejar dua pelaku yang diduga kuat terlibat tawuran.
GN mengaku ikut berbuat begitu karena terpancing emosi setelah geng lawan menantang kelompoknya. Anak penjual ketoprak ini awalnya meminta izin untuk nongkrong dan pulang pagi. Kini, ia terancam tak kembali ke rumahnya dalam waktu yang lama.
”Saya lapar, Pak,” ujarnya sambil terduduk saat menjawab beragam pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
SR juga mengatakan, ia hanya ikut-ikutan setelah temannya mengajaknya via pesan Instagram. Saat polisi bertanya tentang pengawasan orangtuanya, ia hanya menunduk. ”Ibu saya kerja di Arab. Bapak kerja di Karawang (Jabar). Saya tinggal sendiri, enggak ada kakek nenek,” ujarnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Cirebon Komisaris Anton mengatakan, sejumlah geng yang terlibat itu kerap saling menantang via medsos. Misalnya, mereka menyiarkan langsung saat menunjukkan celurit.
”Terus geng lawan balas, celuritmu enggak mempan di kita,” ujarnya.
Akhirnya, mereka berjanji bertemu dan bentrokan pun pecah. Pihaknya sudah berupaya mencegah kekerasan itu dengan patroli siber di jagat maya. Namun, sejumlah geng saling tantang melalui pesan langsung di Instagram sehingga sulit terdeteksi. Pemegang akunnya pun berganti.
”Ada puluhan akun (yang diduga geng tawuran). Susahnya itu, mereka bentuk kelompok yang tidak kelihatan dan berganti nama akun,” ujar Anton. Di sisi lainnya, waktu tawuran mereka kini bergeser dari malam ke subuh hari untuk menghindari patroli polisi pada jam tertentu.
Baca juga: Tawuran Dipicu Konten Kembali Telan Korban di Cirebon, Empat Akun Diawasi
Pemadam kebakaran
Menurut Kepala Polresta Cirebon Komisaris Besar Arif Budiman, persoalan kekerasan antarpelajar yang masih berusia 15-17 tahun itu tidak cukup diselesaikan dengan penegakan hukum. Proses hukum, katanya, hanyalah bagian hilir setelah penganiayaan terjadi.
”Akhirnya, kita seperti pemadam kebakaran. Ada kebakaran (kejadian), baru dipadamkan,” ujar Arif. Sebab, meski pelaku kekerasan telah tertangkap, kasus tawuran antargeng terus berulang. Bahkan, pengeroyokan itu menjadi kasus yang menonjol selama 2022 di Polresta Cirebon.
Pada 2 Januari tahun lalu, misalnya, KAS (15) meregang nyawa setelah dianiaya oleh sejumlah pemuda dari geng sepeda motor di Desa Karangwangun, Babakan. Foto dan video bentrokan tersebar di medsos. Kasus ini juga dipicu balas dendam setelah anggota geng jadi korban.
Pada akhir November lalu, RSA (16) juga mengembuskan napas terakhirnya setelah dibacok dalam tawuran antargeng di Jalan Raya Cirebon-Bandung. Kasus itu juga berawal dari saling tantang di medsos. Polisi menangkap delapan orang, sebagian besar pelajar, yang diduga pelaku.
Pihaknya pun mengimbau keluarga untuk mengedukasi anaknya agar tidak terlibat dalam tawuran konten. Orangtua juga harus waspada jika anaknya keluar malam tanpa alasan jelas. Polisi pun kerap berpatroli di sejumlah daerah rawan setiap malam.
”Kalau pagi dan siang ahri, kami bahkan patroli dengan lagu Sega Jamblang agar masyarakat mengingat kehadiran kami. Seperti lagu tahu bulat, semua orang sudah tahu kalau pedagangnya lewat,” ungkapnya. Ia juga meminta warga segera melapor jika menemukan indikasi tawuran.
”Bahkan, kami meminta dua sekolah mengatur jam pulangnya agar tidak berbarengan. Ini meminimalkan pertemuan yang dapat memicu tawuran. Nmaun, upaya ini akan sulit berhasil jika tanpa dukungan masyarakat,” ujarnya. Pihaknya pun kerap razia senjata tajam di sekolah.
Asih Widiyowati, pendiri Umah Ramah, lembaga yang fokus pada isu kekerasan perempuan dan anak, menyayangkan terus berulangnya kekerasan antarpelajar. Ia menilai, faktor polah asuh anak, stigma buruk dari lingkungan, hingga impitan ekonomi turut memengaruhi kasus itu.
”Ketika anak tidak senang dengan perangai orangtuanya, mereka keluar mencari model orang lain yang dapat mendengarkannya,” ujarnya. Kondisi kian buruk ketika orang itu terlibat kekerasan atau tindakan kriminal lainnya. Orangtua harusnya bisa jadi sahabat bagi anaknya.
Impitan ekonomi, katanya, juga memaksa orangtua bekerja ke luar kota bahkan menjadi pekerja migran. Akhirnya, mereka tidak punya banyak waktu memantau anak-anaknya. Padahal, anak berusia belasan tahun membutuhkan teman bicara dan berbagi pengalaman.
Masalah lainnya adalah stigma buruk masyarakat terhadap anak. ”Lingkungan mengecap anak itu nakal. Akhirnya, dia merasa semua orang enggak suka dengan dirinya. Dia pun memilih melakukan hal buruk. Sekolah juga harus berperan di sini. Ingat, setiap anak itu unik,” katanya.
Asih mengingatkan, anak-anak seperti GN dan SR merupakan generasi penerus bangsa. Apalagi, tahun 2045, negeri ini bakal mengalami bonus demografi. Di usia 100 tahun Indonesia itu, warga usia produktif (15-64 tahun) mencapai 60 persen dari total penduduk.
GN dan SR mungkin kesulitan masuk dalam bonus demografi itu. Jangankan melanjutkan pendidikan, kedua pelajar itu kini terancam penjara maksimal selama 15 tahun. Butuh solusi menyeluruh menghentikan tawuran ”konten” agar tidak ada lagi generasi bangsa yang berakhir di jeruji besi.
Baca juga: Tawuran Antarpemuda di Cirebon Berulang, Dua Tewas