Inspirasi dari Beasiswa Satu Rumah Satu Sarjana di Desa Wringinputih
Badan usaha milik desa di Desa Wringinputih, Magelang, Jateng, memberi beasiswa kepada anak dari keluarga miskin agar bisa kuliah. Program ini diharapkan mendongkrak kualitas sumber daya manusia sekaligus memajukan desa.
Sumber daya manusia berkualitas diyakini bisa memajukan suatu daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbekal keyakinan itu, badan usaha milik desa di Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memberi beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin agar bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Suatu hari di tahun 2022, Muryanti (42), warga Desa Wringinputih, pusing bukan kepalang. Kala itu, suaminya yang sudah bertahun-tahun bekerja di pabrik distributor es krim tiba-tiba mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal, sebentar lagi mereka harus membayar uang kuliah tunggal (UKT) sang anak sulung, Silvia Heni Kharisma Dewi (20), sebesar Rp 3.650.000.
Setelah terkena PHK, suami Muryanti bekerja sebagai buruh bangunan dengan bayaran Rp 70.000-Rp 80.000 per hari. Sementara itu, Muryanti berdagang gorengan dan es dengan keuntungan bersih paling banyak Rp 100.000 per hari. Namun, uang itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum serta uang saku anak-anak.
Di tengah keputusasaan, secercah harapan datang. Saat itu, Silvia mendapat informasi terkait program beasiswa Satu Rumah Satu Sarjana dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Amanah di Desa Wringin Putih. Melalui program itu, anak-anak warga miskin di Desa Wringinputih diberi beasiswa dengan nilai maksimal Rp 52 juta untuk biaya kuliah selama empat tahun.
”Setahu kami, program itu untuk anak-anak yang akan masuk kuliah, sementara Silvia saat itu sudah mau masuk semester tiga. Namun, waktu itu Silvia berusaha mencari informasi ke panitia beasiswa. Ahamdulillah, katanya bisa tetap ikut seleksi meski sudah bukan calon mahasiswa baru,” kata Muryanti saat ditemui di rumahnya, Selasa (17/10/2023).
Setelah melalui seleksi berkas dan wawancara, Silvia terpilih mendapat beasiswa. Oleh karena itu, UKT Silvia di Jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta bisa terbayar. ”Rasanya senang sekali bisa dapat bantuan untuk membayar UKT. Kami tinggal berupaya mencari uang untuk biaya indekos, uang saku, dan membeli buku kuliah,” ujar Muryanti.
Baca juga: Tujuh Tahun Borobudur Marathon Merajut Harmoni
Asiyah (48), warga lain di Desa Wringinputih, juga mengaku terbantu dengan program Satu Rumah Satu Sarjana. Berkat program itu, anak keduanya, Muhammad Abdul Aziz (18), bisa kuliah di program D-3 Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Magelang.
”Dulu, saya tidak berani bermimpi menguliahkan anak. Namun, dengan adanya program ini, hal yang dulunya saya pikir tidak mungkin itu jadi mungkin,” ujar ibu dua anak itu.
Asiyah merupakan pekerja bagian dapur di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih. Dari pekerjaan itu, ia diupah Rp 1,5 juta per bulan. Sementara itu, suaminya berjualan batik di Taman Wisata Candi Borobudur. Sejak pandemi Covid-19, hasil jualannya tak menentu. Asiyah menyebut, suaminya lebih sering membawa pulang uang Rp 30.000 per hari.
Di keluarga Asiyah, Aziz merupakan orang pertama yang mengenyam pendidikan tinggi. Anak pertama Asiyah merupakan tamatan SMK, sedangkan Asiyah dan suaminya tamatan SMP. ”Dengan kuliah, saya berharap anak saya bisa hidup lebih enak dari orangtuanya. Semoga ilmu yang dia dapat selama kuliah juga bisa dipakai untuk memajukan Desa Wringinputih,” tutur Asiyah.
Hasil usaha
Pembiayaan beasiswa Satu Rumah Satu Sarjana berasal dari BUMDes Amanah. Menurut Direktur BUMDes Amanah Rizal Arif Windriatmoko, ada tiga lini usaha yang dijalankan BUMDes Amanah, yakni balkondes, budidaya kelengkeng, dan penyewaan lapak untuk pasar desa. Pendapatan terbesar berasal dari balkondes yang memiliki usaha penginapan, penyewaan tempat pertemuan, dan lain-lain.
Menurut Rizal, beasiswa Satu Rumah Satu Sarjana dimulai sejak tahun 2021. Awalnya, ada tiga anak yang dibiayai kuliahnya oleh BUMDes Amanah. Di tahun kedua atau 2022, ada delapan anak yang mendapat beasiswa. Pada tahun ini, ada empat anak yang menerima beasiswa.
Baca juga: Cara Baru Berwisata ke Candi Borobudur
Para penerima beasiswa itu kuliah di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Magelang; Kabupaten Purworejo, Jateng; dan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurusan kuliah mereka beragam, seperti ilmu hukum, manajemen, pendidikan, teknik otomotif, administrasi publik, dan keperawatan.
”Kami pastikan yang tergabung dalam program ini siap mengabdi ke desa setelah lulus, setidaknya selama 2-3 tahun. Saat seleksi sudah kami saring. Selama kuliah juga kami pantau dan kami persuasi untuk mengabdi ke desa. Setelah mereka lulus, kami akan menyiapkan wadah untuk mereka menyampaikan ide-ide dan gagasannya,” ujar Rizal.
Baca juga: Pandemi Berakhir, Bisnis ”Homestay” di Magelang Kembali Bergairah
Rizal menambahkan, pengabdian yang harus dilakukan para penerima beasiswa itu bukan dengan cara menjadi perangkat desa ataupun pengurus BUMDes, melainkan dengan mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat saat kuliah untuk memajukan desa.
”Selama kuliah, para penerima beasiswa kami harapkan mengikuti organisasi kemahasiswaan untuk mengasah kepekaan dan kekritisan dalam memandang suatu masalah. Jadi, saat kembali ke desa, mereka bisa mengidentifikasi masalah dan bekerja sama menyelesaikan masalah di desa, lalu membuat program yang bisa meningkatkan kesejahteraan warga,” ungkap Rizal.
Kendati baru diwajibkan mengabdi setelah lulus kuliah, sebanyak 15 penerima beasiswa Satu Rumah Satu Sarjana telah melaksanakan kegiatan pengabdian pada Agustus 2023. Saat itu, mereka menggelar pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga Desa Wringinputih. Selain itu, para penerima beasiswa juga melakukan sosialisasi terkait pengelolaan sampah.
Kepala Desa Wringinputih, Garto, menyebut, program Satu Rumah Satu Sarjana diharapkan bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia di desanya. Menurut Garto, dari sekitar 6.000 warga di Wringinputih, kurang dari 1 persennya yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mayoritas mereka bersekolah hingga SMP dan SMA.
Dulu, saya tidak berani bermimpi menguliahkan anak. Namun, dengan adanya program ini, hal yang dulunya saya pikir tidak mungkin itu jadi mungkin.
”Kalau dari segi nilai, anak-anak Wringinputih itu rata-rata pintar. Sayangnya, orangtuanya tidak mampu membiayai kuliah. Kebanyakan warga itu bekerja sebagai pedagang kecil, buruh bangunan, dan buruh tani. Jangankan buat kuliah anak, buat makan saja kadang sulit,” tutur Garto yang merupakan lulusan SMA.
Garto menyebut, anak-anak penerima beasiswa itu sering membantu pemerintah desa. Dalam beberapa pertemuan, mereka sering memberi masukan dan mengusulkan program-program pemberdayaan masyarakat.
Tak jarang, para penerima beasiswa mengajari perangkat desa mengoptimalkan perangkat teknologi dan internet. ”Kadang itu saya berpikir, mereka-mereka ini jauh lebih pintar ya dari lurahnya,” ujar Garto sambil terkekeh.
Salah seorang penerima beasiswa Satu Rumah Satu Sarjana, Rasid Ariyanti (21), berharap, ke depan, lebih banyak anak-anak yang bisa mendapatkan beasiswa itu.
”Saya berharap, program ini terus berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya. Jadi, anak-anak yang ingin berkuliah tetapi terkendala biaya bisa tetap berkuliah,” tutur mahasiswi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Magelang itu.