Sebar Hoaks soal Kekerasan Seksual, Mahasiswa di Yogyakarta Dibekuk Polisi
Polisi membekuk seorang mahasiswa yang diduga menyebar hoaks atau berita bohong tentang kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswa baru Universitas Negeri Yogyakarta.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Seorang mahasiswa dibekuk polisi karena diduga menyebar hoaks atau berita bohong. Pelaku menarasikan telah terjadi kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswa baru di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta oleh seorang pengurus organisasi mahasiswa kampus itu. Hoaks tersebut disebar di media sosial X yang kemudian viral.
Kasus itu diungkap aparat Kepolisian Daerah DI Yogyakarta dalam konferensi pers di Markas Polda DIY, Senin (13/11/2023). Pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah mahasiswa laki-laki berinisial RAN (19). Pelaku dihadirkan dalam konferensi pers dengan wajah ditutup dan tangan diborgol.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Komisaris Besar Idham Mahdi menjelaskan, kasus itu bermula dari postingan di sebuah akun media sosial X pada 10 November 2023. Postingan itu menarasikan seorang perempuan mahasiswa baru menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Dalam perkembangannya, postingan itu viral dan mendapat banyak perhatian publik. Identitas pengurus BEM yang dinarasikan sebagai pelaku tersebut pun kemudian tersebar luas.
Seusai mencuat ke publik, Idham mengatakan, jajaran Polda DIY berupaya mencari sosok korban yang melaporkan atau memosting di akun X tersebut. ”Namun, sampai hari ini, yang diduga menjadi korban dalam postingan tersebut belum dapat ditemukan dan juga belum ada yang melapor,” ucapnya.
Kemudian, pada 12 November, polisi menerima laporan dari MF (21), mahasiswa yang disebut sebagai pelaku kekerasan seksual itu. MF melaporkan dirinya menjadi korban narasi fiktif di media sosial tersebut.
Dia juga sakit hati karena pernah ditegur oleh MF saat menjadi panitia sebuah acara di kampus.
”Dari situ kami melakukan penyelidikan serta memeriksa saksi-saksi. Akhirnya kami menangkap seorang mahasiswa berinisial RAN,” ujar Idham.
Dari RAN, polisi menyita barang bukti berupa tulisan berisi konten yang sama seperti yang diposting di medsos. Kemudian, akun X yang dipakai untuk mengirim postingan tersebut berada dalam handphone milik RAN.
Dari hasil pemeriksaan polisi terhadap handphone tersebut, ditemukan e-mail yang terpaut dengan akun X dengan draf tulisan narasi itu pada akun Whatsappmilik RAN. Draf itu dibuat sebelum postingan yang viral di X.
”Tersangka RAN juga telah mengakui perbuatannya,” ujar Idham.
Motif pelaku, kata Idham, adalah sakit hati terhadap MF. Saat mendaftar menjadi anggota BEM FMIPA UNY, dia ditolak, sedangkan MF diterima. Dia juga sakit hati karena pernah ditegur MF saat menjadi panitia sebuah acara di kampus.
Wakil Dekan Fakultas MIPA UNY Ali Mahmudi, yang hadir dalam konferensi pers itu, bersyukur informasi yang sempat viral tersebut ternyata tidak benar. ”Sudah clear. Tidak ada korban kekerasan seksual di UNY. Berarti berita itu hoaks,” ujarnya.
Meski begitu, dia juga menyatakan kesedihan andaikan memang ada mahasiswanya yang terlibat dalam postingan hoaks itu. ”Prinsipnya kami menjunjung bahwa proses hukum harus ditegakkan. Kami mengikuti proses hukum itu, mengimbangi dengan proses-proses akademik di kampus terkait dengan sanksi dan sebagainya,” katanya.
Terkait dengan pelaku, Ali menyatakan, secara pribadi, dia belum mengetahui identitasnya. ”Kami baru tahu inisial itu (RAN) siang ini juga. Jadi, kami perlu selidiki lebih rinci identitasnya,” katanya.
Ketua BEM Fakultas MIPA UNY Doni Setyawan, yang juga hadir dalam konferensi pers itu, mengaku kenal dengan RAN, tapi tidak dekat. Dia juga mengonfirmasi bahwa RAN memang pernah mendaftar sebagai anggota BEM FMIPA UNY.
Atas perbuatannya itu, RAN di antaranya dijerat Pasal 45A Ayat 1 juncto Pasal 28 Ayat 1 dan atau Pasal 45 Ayat 3 juncto Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara,” ujar Idham Mahdi.