Di Kepulauan Riau terdapat ratusan titik benda muatan kapal tenggelam. Harta karun bawah laut tersebut menjadi incaran penjarah dari dalam dan luar negeri.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Dalam 10 tahun terakhir, terungkap sedikitnya lima penjarahan muatan kapal tenggelam di perairan Kepulauan Riau. Pelakunya beragam, mulai dari penyelam tradisional, yang hanya bermodal kompresor, sampai spesialis pemburu harta karun dari luar negeri.
Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IV Riau dan Kepulauan Riau, Azwar Sutihat, menyatakan, terdapat ratusan titik benda muatan kapal tenggelam (BMKT) di perairan Kepri. Lokasi BMKT itu kebanyakan berada di perairan Natuna, Bintan, dan Lingga.
”Ada banyak kapal dagang China yang tenggelam di perairan Kepri. Pada masa lalu, wilayah tersebut merupakan jalur perdagangan yang ramai,” kata Azwar, saat dihubungi, Senin (13/11/2023).
Azwar menuturkan, pengangkatan BMKT secara legal pernah dua kali dilakukan di Kepri. Pengangkatan pertama di perairan Pulau Buaya dan Batu Berlubang, Kabupaten Lingga, pada 1989. Pengangkatan kedua di Perairan Kijang dan Karang Heluputan, Kabupaten Bintan, di 2015.
”Dari temuan yang berhasil diangkat, keramik-keramik itu diperkirakan berasal dari zaman Dinasti Song pada abad ke-10 Masehi hingga ke-13 Masehi. Selain itu, ada dari Dinasti Ming dan Dinasti Qing antara abad ke-15 M hingga ke-19 M,” ujarnya.
Lokasi BMKT yang telah terverifikasi di perairan Kepri sedikitnya ada 300 titik. Selain itu, ada ribuan lokasi lain yang belum didata dan perlu diidentifikasi lebih lanjut (Kompas, 27/3/2016).
”Karena lokasinya sangat banyak, memang kemudian marak terjadi pengangkatan BMKT secara ilegal di Kepri,” ucap Azwar.
Berdasarkan catatan Kompas, sejak 2014, sedikitnya lima peristiwa penjarahan BMKT yang terungkap di Kepri. Peristiwa terakhir terjadi pada 7 November 2023. Saat itu, Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) menangkap tiga kapal di Kecamatan Kepulauan Tambelan, Bintan.
Lewat pernyataan tertulis, Direktur Jenderal PSDKP Laksamana Muda Adin Nurawaluddin menyatakan, tiga kapal itu beroperasi tanpa dokumen perizinan. Kapal-kapal itu berasal dari Tanjung Pinang, Kepri, dengan 44 anak buah kapal asal Indonesia.
Jumlah BMKT yang ditemukan di tiga kapal itu sebanyak 1.218 keping. Barang-barang itu, antara lain, berupa guci besar, guci sedang, guci kecil, piring, mangkok, dan koin kuno yang diperkirakan pembuatannya dilakukan pada zaman Dinasti Song.
Direktur Jasa Kelautan KKP Miftahul Huda menyatakan, sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Benda Muatan Kapal Tenggelam belum ada izin baru yang diterbitkan KKP untuk pengangkatan dan pemanfaatan BMKT. ”Siapa pun yang ambil BMKT saat ini artinya ilegal,” ujarnya.
Menurut Huda, setiap lokasi pengangkatan BMKT harus mengantongi izin. Proses perizinan wajib dilakukan untuk memberikan legalitas, kepastian, dan jaminan pengawasan. BMKT yang telah diangkat itu selanjutnya dilakukan penilaian dan pembagian dengan melibatkan tim lintas kementerian/lembaga (Kompas, 8/11/2023).
Perairan Bintan, yang di dalamnya termasuk perairan Tambelan, memang merupakan wilayah rawan penjarahan BMKT. Penjarahan paling besar terjadi pada 1986 dengan nilai 17 juta dollar AS. Pelaku kejahatan itu, Michael Hatcher, menjual hasil curiannya di Belanda (Kompas, 24/5/2014).
Selain di Bintan, penjarahan BMKT juga rawan terjadi di perairan Lingga. Pada Maret 2016, TNI-Polri menangkap kapal Armada Salvage 8 yang diawaki 18 warga negara China dan 3 WNI. Kapal itu mengambil bangkai kapal dan aneka benda di perairan Lingga.
Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, mengemukakan, selain dilakukan kelompok besar, penjarahan BMKT juga dilakukan penyelam tradisional yang merupakan orang-orang lokal. Ini salah satunya terjadi di perairan Bintan.
”Orang-orang hanya mengandalkan angin dari kompresor yang amat berisiko. Mereka mengakui, kehilangan nyawa adalah salah satu taruhannya,” kata Dedi.