Terobosan Papua Pegunungan Mengatasi Ketertinggalan Pembangunan Manusia
Provinsi Papua Pegunungan membuat terobosan untuk mengatasi ketertinggalan daerahnya. Seluruh aspek pembangunan manusia akan ditingkatkan.
JAYAWIJAYA, KOMPAS — Papua Pegunungan perlu bekerja keras dalam mengatasi sejumlah ketertinggalan untuk keluar dari status daerah tertinggal. Salah satunya terkait pembangunan manusia yang masih menjadi pekerjaan rumah di delapan kabupaten daerah otonom baru tersebut.
Jika merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024, kriteria daerah tertinggal meliputi perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, serta karakteristik daerah. Dalam perpres tersebut, pemerintah menargetkan pada 2024 sebanyak 62 daerah entas dari status daerah tertinggal, termasuk delapan daerah atau seluruh kabupaten di Papua Pegunungan.
Dalam kunjungan di Papua Pegunungan selama dua hari, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy turut mengumpulkan sejumlah kepala daerah otonom daerah (DOB) yang disahkan pada Juli 2022 tersebut. Pada kesempatan itu, Muhadjir mengoordinasikan sejumlah upaya percepatan mengatasi ketertinggalan dari aspek pembangunan manusia.
Baca juga : Kunjungi Yahukimo, Muhadjir Effendy Cari Solusi Atasi Krisis Pangan di Papua
”Papua Pegunungan harus bekerja keras, apalagi soal kemiskinan ekstrem dan stunting (tengkes),” kata Muhadjir saat rapat koordinasi di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Sabtu (11/11/2023).
Dalam paparan data Kemenko PMK, tingkat kemiskinan ekstrem di delapan daerah di Papua Pegunungan berada di atas rata-rata nasional yang sebesar 2,04 persen. Data Maret 2022, daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi adalah Kabupaten Lanny Jaya dan Jayawijaya sebesar 21,12 persen, diikuti Yalimo (18,30 persen), Nduga (13,61 persen), Yahukimo (12,80 persen), Mamberamo Tengah (12,78 persen), Tolikara (10,41 persen), serta Pegunungan Bintang (9,25 persen).
Sementara data prevalensi tengkes, delapan daerah di Papua Pegunungan menunjukkan tingkat urgensi sangat tinggi, yakni dengan prevalensi di atas 30 persen. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia 2022, prevalensi tengkes terbesar terjadi di Kabupaten Yahukimo, yakni 53,3 persen. Adapun kenaikan prevalensi tengkes tertinggi terjadi di Kabupaten Tolikara, yakni dari 28,9 persen pada 2021 menjadi 50,1 persen pada 2022.
”Oleh karena itu, dalam satu tahun ini harus ada terobosan serius mengatasi (persoalan pembangunan manusia),” ucap Muhadjir.
Baca juga : Wapres: Pemerintah Terus Awasi agar Kelaparan di Papua Tak Terus Berulang
Masalah kondisi geografis
Penjabat Gubernur Papua Pegunungan Nikolaus Kondomo mengakui masih banyak ketertinggalan di daerahnya sebagai daerah otonom baru. Kondisi geografis yang sulit dan transportasi yang belum memadai berdampak pada sebagian besar aspek pembangunan di Papua Pegunungan.
Dia berharap, pemerintah pusat bisa memberi ruang diskresi yang luas kepada daerah. Jika hak kebebasan mengambil keputusan sendiri tersebut diberikan dengan porsi besar kepada daerah, berbagai terobosan bisa dilakukan berdasarkan situasi yang dihadapi.
”Hak diskresi tidak hanya di Papua Pegunungan, tetapi juga pemerintah daerah lain di Papua,” ujar Nikolaus.
Bupati Tolikara Marthen Kogoya juga mengungkapkan kondisi geografis menjadi kendala dalam pembangunan berbagai aspek di wilayahnya. Namun, Pemerintah Kabupaten Tolikara tidak mau menyerah pada keadaan. Marthen mengatakan, sejumlah program disiapkan, khususnya pada pengendalian prevalensi tengkes dengan turut mengintervensi sejumlah sekolah dengan kategori tengkes tinggi.
Saat ini delapan daerah atau seluruh kabupaten di Papua Pegunungan masih berstatus daerah tertinggal.
Di sisi lain, program tersebut belum berjalan maksimal karena anggaran terbatas. Apalagi, lanjut Marthen, Tolikara merupakan daerah yang rawan longsor sehingga anggaran daerah sering dialihkan untuk penanganan bencana.
”Misalnya, program ’sarasehan’ atau sarapan sehat bagi anak usia dini. Yang menerima ini adalah TK dan SD, tetapi sampai kelas tiga SD saja karena keterbatasan anggaran. Dengan demikian, dukungan dari pemerintah pusat soal kebencanaan kami perlukan sehingga bisa fokus pada pembangunan,” ujarnya.
Sementara Bupati Yahukimo Didimus Yahuli menyatakan, sejatinya ada sejumlah sektor perekonomian yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, ada kendala geografis sehingga memengaruhi kondisi tersebut. Saat ini belum satu pun dari 50 distrik di Yahukimo terhubung akses darat dengan ibu kota kabupaten di Distrik Dekai.
Padahal, menurut Didimus, Yahukimo punya potensi lokal seperti kopi, sayur, dan buah merah menjadi komoditas unggulan di pasar. ”Belum lagi masalah lain, seperti krisis pangan yang kerap dialami masyarakat, baik pengaruh cuaca maupun konflik sosial. Oleh karena itu, kami perlu bantuan percepatan pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, untuk distribusi potensi ekonomi masyarakat serta untuk percepatan pembangunan lain,” ujarnya.
Baca juga : Pembangunan Infrastruktur Percepat Pengurangan Kemiskinan Ekstrem
Kolaborasi pemerintah
Dengan berbagai masalah yang ada, Muhadjir menganggap penyelesaian masalah di wilayah Papua perlu terobosan dan kolaborasi dari semua pemangku kebijakan. Dalam hal infrastruktur jalan, dia melihat pemda-pemda perlu terlibat dalam memetakan sejumlah ruas jalan yang bisa dikoneksikan dengan ruas nasional yang telah dibuka pemerintah pusat.
Menurut Muhadjir, jalan yang telah dibangun selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo bisa menjadi landasan dalam pembangunan jalan agar beberapa kabupaten bisa saling terhubung. Selain itu, di tingkat desa/kampung dan distrik, anggaran dari otonomi khusus dan dana desa bisa dikolaborasikan untuk pemenuhan infrastruktur tersebut.
”Sejatinya, koordinasi (infrastruktur) bukan di bagian kementerian yang saya koordinatori, tetapi pemda bisa membuat terobosan dengan saling berkonotasi memetakan kondisi infrastruktur di sana,” tutur Muhadjir.
Baca juga : Pembangunan Daerah Tertinggal
Lebih lanjut Muhadjir ingin memastikan upaya pembangunan manusia perlu terus dilakukan oleh daerah. Dia mengimbau pemda agar turut proaktif dan bisa mengetahui kebutuhan di fasilitas pelayanan kesehatan.
”Misalnya alat USG (ultrasonografi), seperti rapat sebelumnya, pemda wajib mengajukan itu ke pemerintah pusat sehingga memastikan setiap puskesmas punya itu. Ini merupakan komponen penting dalam pencegahan stunting,” katanya.
Baca juga : Antisipasi Kekeringan di Papua Tengah Terulang, Pemerintah Siapkan Sejumlah Langkah
Kerentanan pangan
Di sisi lain, aspek pembangunan manusia juga berkaitan dengan kondisi pangan. Dari analisis Badan Pangan Nasional (Bapanas), ada irisan antara kerentanan pangan dan daerah tertinggal. Direktur Kerawanan Pangan Bapanas Rachmad Firdaus menyebut, dari 62 daerah tertinggal di Indonesia, 56 daerah masuk dalam kategori rentan pangan.
Selain itu, 56 dari 360 daerah prioritas penanggulangan tengkes di Indonesia juga merupakan wilayah dengan status rentan pangan. Adapun saat ini delapan daerah di Papua Pegunungan merupakan wilayah rentan pangan.
Dengan begitu, daerah tidak bisa mengalokasikan dengan dalam persentase untuk pangan. Padahal, pangan merupakan hak asasi manusia.
Lebih lanjut Rachmad melihat perlu ada dorongan ketahanan pangan di tingkat desa. ”Apalagi rancangan peraturan menkeu untuk dana desa untuk dana pangan sehingga perangkat daerah bisa mengatur itu,” ujarnya.
Selain itu, ada masalah yang membuat masalah pangan kerap terjadi di sejumlah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pangan belum masuk sebagai layanan dasar, seperti halnya infrastruktur ataupun pendidikan.
”Dengan begitu, daerah tidak bisa mengalokasikan dengan dalam persentase untuk pangan. Padahal, pangan merupakan hak asasi manusia (UU Pangan No 12/2012). Daerah pasti akan selalu kesulitan memenuhi hak pangan masyarakatnya,” ucapnya.
Baca juga : Cegah Kelaparan di Papua Terulang, Lumbung Pangan Mandiri Jadi Solusi
Sementara dalam rencana jangka panjang mengatasi kerentanan pangan, pemerintah menyiapkan sejumlah strategi. Strategi tersebut mulai dari pengembangan varietas lokal yang lebih tahan iklim hingga penyuluhan soal teknologi tepat guna yang dibutuhkan untuk pengolahan bahan pangan agar lebih awet.
”Pendekatan kami adalah tetap pada pemberdayaan pangan lokal tanpa meninggalkan kebudayaan mereka. Jadi, itu sekarang yang kami manfaatkan (varietas pangan lokal),” ucap Muhadjir.