Dua Proyek Strategis Nasional Terkait Hilirisasi Nikel di Sultra Molor
Dicanangkan sejak tahun lalu, dua proyek hilirisasi nikel yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional di Sultra molor dari jadwal. Hal ini dikhawatirkan berdampak pada investasi daerah hingga berbagai dampak turunan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Dua proyek hilirisasi nikel yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional di Sulawesi Tenggara molor dari target. Meski telah diinisiasi sejak 2022, dua proyek dengan investasi puluhan triliun ini masih dalam pengurusan dokumen lingkungan. Investasi di wilayah ini pun dikhawatirkan tidak akan memenuhi target.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sultra Parinringi mengungkapkan, di Sultra memang saat ini ada sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berjalan, utamanya hilirisasi nikel. Namun, ada dua proyek yang masuk dalam PSN tersebut tidak sesuai jadwal yang ditentukan sebelumnya.
”Ada kawasan industri terpadu PT Nusantara Industri Sejati (NIS) di Motui, Konawe Utara, dan PT Kendari Kawasan Industri Terpadu (KKIT) di Kendari. Berdasarkan target, keduanya harusnya sudah jalan dan konstruksi, tetapi sampai sekarang belum ada (fisik),” kata Parinringi, Jumat (10/11/2023).
Kedua proyek hilirisasi nikel ini, terang Parinringi, telah digagas sejak 2022. Kawasan industri di Motui, Konawe Utara, bahkan telah diresmikan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin. Menurut rencana, kedua proyek ini akan menyumbang investasi hingga puluhan triliun rupiah.
Dengan status PSN yang telah dimiliki, menurut dia, seharusnya progres proyek bisa jauh lebih cepat. Sebab, pelaksana telah mendapatkan berbagai kemudahan, termasuk perizinan.
Kondisi ini dikhawatirkan berimbas pada investasi di Sultra yang diprediksi tidak akan memenuhi target yang telah ditetapkan. Pada 2023, Sultra ditargetkan menggaet investasi Rp 21,7 triliun, naik dari Rp 18 triliun tahun lalu. Hingga triwulan III-2023 ini, investasi baru mencapai 60 persen atau kisaran Rp 15 triliun.
”Kami di daerah hanya bertugas mengawasi dan mengingatkan. Sejauh ini yang kami tahu ada beberapa kendala yang terjadi, baik perizinan maupun permodalan. Kami harapkan bisa segera selesai dan mulai membangun,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sultra Andi Makkawaru mengungkapkan, meski telah digagas sejak tahun lalu, kedua PSN hilirisasi nikel ini memang belum memiliki izin lingkungan. Akan tetapi, semuanya sedang berproses untuk pengurusan dokumen hingga sidang analisis dampak lingkungan (amdal).
Menurut Makkawaru, KKIT saat ini telah pada tahap pengurusan amdal. Proyek ini akan menempuh dua tahap lagi hingga bisa memiliki izin lingkungan. Proses yang sebelumnya di tingkat kota memang telah ditarik ke tingkat provinsi.
”Kalau untuk PT NIS di Konawe Utara itu juga sedang mengurus untuk izin pelabuhan. Mereka telah ada izin lingkungan untuk kawasan. Jadi, semuanya masih berproses dan mudah-mudahan bisa selesai segera,” ujarnya.
Dua proyek PSN hilirisasi nikel ini memang telah diinisiasi sejak 2022. Untuk di PT Kendari Kawasan Industri Terpadu, perjanjian kerja sama dilakukan sejak April tahun lalu. Kawasan industri ini direncanakan memiliki lahan seluas 1.700 hektar di Kecamatan Abeli, Kendari. Meski begitu, di tahap awal ini, baru 400 hektar kawasan yang akan dikelola, khususnya pembangunan pabrik kimia pengolahan nikel.
Ini adalah hilirisasi, bagaimana meningkatkan nilai tambah nikel yang ada di Sultra. Jika bisa dilaksanakan dengan cepat, itu dapat memberikan dampak besar ke tenaga kerja, ekonomi daerah, dan berbagai sektor ikutan.
Investasi diproyeksikan 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14 triliun. Jika berjalan, industri ini akan berkontribusi Rp 2,4 triliun pada postur PDRB Kendari serta menciptakan 94.000 lapangan kerja. Proyek ini lalu masuk dalam PSN pada Januari 2023.
Industri turunan pengolahan nikel ini akan menghasilkan sejumlah macam produk, seperti mangan, sulfat, dan bubuk nikel. Bahan tersebut merupakan bahan baku pembuatan baterai litium yang merupakan sumber energi mayoritas mobil listrik.
Berselang sebulan setelahnya, PT NIS di Motui dicanangkan di Konawe Utara. Saat itu, Wapres Amin datang untuk melakukan peletakan batu pertama di proyek tersebut.
”Saya merasa senang hari ini kita akan melakukan peletakan batu pertama karena saya melihat komitmen NIS sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kawasan industri modern yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan,” ujar Wapres dalam sambutannya saat itu, seperti dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet.
PT NIS akan membangun smelter dengan teknologi Rotary Kiln-Electris Furnice (RKEF) dengan kapasitas 500.000 ton feronikel per tahun, dengan kadar nikel 10-12 persen. Smelter ini akan dibangun dengan menggunakan luas area tahap pertama, yaitu 375 hektar di Kecamatan Motui, Konawe Utara.
Sementara itu, Kepala Bappeda Sultra Johannes Robert menuturkan, dua proyek kawasan untuk hilirisasi nikel yang masuk PSN tersebut memang tidak berjalan sesuai jadwal. Ia berharap proyek ini bisa segera berjalan karena memberikan dampak besar bagi daerah.
”Ini adalah hilirisasi, bagaimana meningkatkan nilai tambah nikel yang ada di Sultra. Jika bisa dilaksanakan dengan cepat, itu dapat memberikan dampak besar ke tenaga kerja, ekonomi daerah, dan berbagai sektor ikutan,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo Syamsir Nur mengingatkan, melentingnya pertambangan dan industri pengolahan nikel selama beberapa tahun terakhir telah mengubah wilayah, baik secara struktur lingkungan maupun struktur ekonomi. Daerah yang dulunya wilayah pertanian dan kelautan perlahan bergantung pada pertambangan dan industri pengolahan skala besar. Selama hampir dua dekade terakhir, peranan sektor pertanian dan kelautan terus turun.
”Meskipun hilirisasi nikel dilakukan, tidak otomatis akan membuat masyarakat sejahtera. Yang juga harus diintensifkan adalah hilirisasi sektor unggulan yang menjadi penopang utama masyarakat, yaitu pertanian, perkebunan, dan kelautan. Inilah kekayaan sesungguhnya masyarakat di Bumi Anoa ini. Jadi, semuanya berjalan beriringan,” papar Syamsir.