HUT Ke-416 Makassar, Momentum Menjaga Resiliensi
Di usia ke-416, Kota Makassar menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perubahan iklim hingga pesta demokrasi tahun depan.
Angka 416 tentu bukan bilangan kecil untuk usia sebuah kota. Bagi Makassar, usia ini menjadi momentum menjaga resiliensi menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perubahan iklim, masalah lingkungan, hingga pesta demokrasi yang sudah di depan mata.
Hari Ulang Tahun Kota Makassar jatuh pada hari ini, Kamis (9/11/2023). Namun, pekan lalu, gala dinner dan perayaan ulang tahun sudah digelar lebih dahulu. Dimajukannya perayaan ini dilakukan Pemkot Makassar untuk melepas Wakil Wali Kota Makassar Fatmawati Rusdi yang mundur karena akan maju sebagai calon anggota DPR dari Partai Nasdem.
”Ini adalah bentuk apresiasi kami kepada wakil wali kota. Beliau akan resmi berhenti menjadi wakil wali kota sebelum HUT Makassar. Surat pengunduran dirinya sudah masuk. Makanya, kami majukan perayaannya. Ini adalah peringatan HUT yang juga menjadi momen perpisahan dengan Bu Fatmawati,” kata Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto, Kamis (2/11/2023) malam lalu.
Peringatan HUT Kota Makassar pada Kamis malam lalu dirayakan dengan gala dinner di Center Point of Indonesia di kawasan Tanjung Bunga Makassar. Ada pula karnaval dan panggung hiburan yang diikuti ASN dan warga. Perayaan ulang tahun Makassar yang dirayakan dengan meriah itu sejatinya dilalui dalam keprihatinan. Beragam masalah masih mewarnai perjalanan Kota Makassar.
Baca juga: Air Sulit dan Listrik Pun Mati di Makassar
Salah satu masalah yang dihadapi warga adalah krisis air bersih akibat kemarau panjang. Tiga bulan terakhir, Pemkot Makassar, terutama PDAM, berjibaku mengirimkan air bersih ke titik-titik di mana air bersih sulit.
Selama musim kemarau, kasus kebakaran di Makassar juga meningkat. Sejak Januari hingga Oktober 2023 terjadi 359 kasus kebakaran. Sebagian besar terjadi di permukiman penduduk. Jumlah kebakaran itu merupakan angka tertinggi dalam kasus kebakaran lima tahun terakhir.
Lepas dari kemarau, sebagian warga akan menyambut datangnya hujan dengan siap-siap mengungsi. Saat musim hutan, banjir dan mengungsi menjadi rutinitas penduduk yang terus berulang setiap tahun.
”Sekalinya kemarau air susah, listrik mati. Begitu nanti datang hujan, banjir lagi. Tidak tahu sampai kapan mau seperti ini. Pindah dan meninggalkan rumah juga bukan penyelesaian masalah. Yang kami butuhkan bagaimana supaya kalau hujan tidak banjir lagi,” kata Syamsuddin (55), warga Antang, Kecamatan Manggala, Makassar.
Ramdhan mengatakan, HUT Makassar tahun ini menjadi momentum menjaga resiliensi. Daya tahan dan adaptasi diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan yang kian berat ke depan. Ada persoalan perkotaan, perubahan iklim, hingga pemilu dan pilkada yang sudah di depan mata.
”Empat ratus enam belas adalah sebuah usia yang panjang. Hari ini kita ingin renungkan sejarah dan keunggulan kita dan bagaimana itu menjadi modal untuk melihat masa depan yang lebih baik. Kami ingin ulang tahun ini menjadi momentum mempercepat dan menjaga resiliensi. Ke depan kita menghadapi banyak tantangan mulai dari soal iklim, lingkungan, sosial, hingga politik,” katanya.
Dia mengatakan, pesta politik di depan mata sejatinya tak membuat masyarakat terpecah oleh pilihan. ”Karena persaudaraan itu abadi, beda pilihan biasa, dan hak politik harus digunakan. Dengan resiliensi yang terjaga, masyarakat bisa tetap menjaga kekompakan menghadapi pesta demokrasi,” kata Ramdhan.
Baca juga: Multilateral Naval Exercise Komodo di Makassar Diikuti Angkatan Laut 36 Negara
Kerawanan pemilu
Perihal pesta demokrasi, sebenarnya secara umum, indeks kerawanan pemilu di Sulsel terbilang rendah. Namun, setiap kota dan kabupaten punya kerawanan tersendiri. Bawaslu Sulsel mencatat empat daerah memiliki kerawanan, yakni Makassar, Bulukumba, Parepare, dan Jeneponto. Terkait soal ini, pihak polda pun sudah mulai memetakan kerawanan ini dan menyiapkan langkah antisipasi.
Sosiolog Universitas Hasanuddin, Sawedi Muhammad, mengatakan, terkait soal resiliensi ini, mestinya sudah dilakukan pemerintah terutama Pemkot Makassar sejak awal kepemimpinan. Bahkan mestinya jauh lebih lama lagi mengingat resiliensi bukanlah hal baru. Walau demikian, momentum ini bisa menjadi langkah ke depan saat berbagai persoalan kota kian menantang.
Menurut dia, baik pemilu maupun pilkada adalah proses pengulangan di setiap momen pergantian kepemimpinan. Masyarakat sudah melalui banyak pesta demokrasi.
”Yang harus diperkuat adalah pemahaman bahwa itu hanya proses pergantian kepemimpinan. Konflik di akar rumput tak akan banyak mengubah pilihan dan tak ada untungnya. Masyarakat justru harus dipahamkan bagaimana mereka menggunakan hak politik itu sebagai langkah strategis terkait nasib mereka lima tahun ke depan. Dialog dan sosialisasi mesti sering dilakukan oleh pemerintah, pelaku politik, dan tokoh masyarakat,” katanya.
Bukan hanya masalah teknis kepemiluan, pemerintah kota dan penyelenggara pemilu juga harus mengantisipasi beragam masalah yang muncul karena persoalan iklmi dan lingkungan. Warga kota harus dipersiapkan agar adaptif dan memiliki daya tahan yang kuat menghadapi berbagai bencana dan persoalan.
”Misalnya kemarau, sudah seharusnya ada pemetaan wilayah mana saja yang menjadi langganan keisis air bersih tiap musim kering, terlebih saat kekeringan panjang. Dengan pemetaan ini, pemerintah bisa membuat langkah antisipasi hingga saat terjadi kemarau lagi sudah ada solusi,” katanya
Masalah banjir
Begitu juga persoalan banjir dan kemacetan. Di sebagian kawasan di Makassar, banjir adalah peristiwa berulang setiap musim hujan. Jika sudah ada pemetaan sumber masalah, seharusnya pemerintah bisa menyusun solusi jangka pendek ataupun panjang.
Pada Februari lalu, banjir yang merendam Makassar menjadi catatan kelam banjir terbesar yang terjadi selama setidaknya lebih 20 tahun terakhir. Saat itu hampir seantero Makassar terendam. Setidaknya 10 dari 15 kecamatan terendam.
Baca juga: Banjir Makassar, Saat Seantero Kota Terendam Air Bah
Ahli tata kota sekaligus sumber daya air Universitas Hasanuddin, Farouk Maricar, mengatakan, hujan hanyalah pemicu. Di luar soal itu, banjir adalah akumulasi berbagai persoalan kota. Dia menyebut selama ini rambu-rambu pembangunan banyak dilanggar.
Dia mencontohkan, banyaknya jalur dan kantong air serta sempadan sungai yang beralih fungsi jadi permukiman. Padahal, Makassar dilintasi anak-anak sungai yang bermuara di Selat Makassar. Anak-anak sungai ini berasal dari sungai besar di Gowa dan Maros. Perlintasan anak sungai ini di antaranya melewati permukiman.
Banyaknya permukiman di sempadan sungai ataupun jalur air membuat aliran sungai makin mengecil di muara. Sebagai contoh adalah Sungai Daya yang hulunya selebar 125 meter, tetapi mengecil hingga tersisa kurang dari 10 meter di hilir.
Beberapa kawasan yang dulunya berfungsi sebagai resapan air di antaranya kawasan Tanjung yang berbatasan dengan Selat Makassar kini berganti permukiman. Dahulu, kawasan ini adalah daerah rawa dan menjadi hilir bagi air dari Sungai Jeneberang. Begitu juga beberapa kawasan lain.
Menurut Farouk, di tengah perubahan iklim yang kian tak menentu, banjir adalah hal yang tak bisa dielakkan. Namun, dengan upaya antisipasi dan mitigasi, dampak banjir bisa diminimalkan.
”Saat daerah resapan menjadi permukiman mestinya ada pengganti untuk tempat parkir air, misalnya dengan membuat kolam retensi. Ini yang harus dilakukan. Makanya, rambu-rambu, dalam hal ini rancangan tata ruang, jangan hanya bagus saat penyusunan, tapi tak diterapkan. Jika rambu-rambu ini terus dilanggar, persoalan banjir ini akan makin parah dari tahun ke tahun,” katahya.