Penghuni Lapas di Pekalongan Jadi Target Pelacakan Pencegahan Tuberkulosis
Dinas Kesehatan Kota Pekalongan menargetkan menemukan 1.018 asus tuberkulosis tahun 2023, dengan salah satu fokusnya pada penghuni lembaga pemasyarakatan. Anak di Semarang juga rentan tertular penyakit ini.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
PEKALONGAN, KOMPAS — Penghuni lembaga pemasyarakatan menjadi salah satu target utama pelacakan pencegahan tuberkulosis di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Di Semarang, anak-anak yang tinggal di kawasan rawan bencana rentan menderita penyakit ini.
Dinas Kesehatan Kota Pekalongan menargetkan menemukan 1.018 kasus di tahun 2023. Hingga pekan pertama November ditemukan 813 kasus atau sekitar 80 persen dari target.
Salah satu tempat yang menjadi target pelacakan adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Pekalongan. Di lapas, umumnya beberapa orang tinggal dalam satu sel yang sama. Kondisi itu dinilai rawan menyebarkan penyakit menular, seperti tuberkulosis.
”Selain pemeriksaan kesehatan secara rutin kepada narapidana dan warga binaan pemasyarakatan, kami juga melatih serta beri dukungan teknis dan peralatan untuk mendeteksi, mengobati, dan mencegah penyebaran tuberkulosis,” kata Indayah Dewi Tunggal, pengelola program tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Rabu (8/11/2023).
Menurut Indayah, program penanggulangan tuberkulosis di Lapas Kelas II A Pekalongan sejauh ini berjalan baik. Semua pasien terduganya dilaporkan ke dinkes. Sampel dahaknya lantas dikirim ke sejumlah rumah sakit, seperti RSUD Bendan, RS Budi Rahayu, dan Puskesmas Buaran Kota Pekalongan.
Pelacakan terakhir dilakukan pertengahan September 2023. Ada satu narapidana yang diduga mengidap tuberkulosis. Dia sudah diobati secara intensif dan dipindahkan ke ruangan khusus untuk menekan risiko penularan.
Isolasi terhadap penderita tuberkulosis sebaiknya dilakukan selama dua bulan. Setelah dua bulan minum obat dan isolasi, kumannya diyakini tidak aktif dan kecil kemungkinan menular. Pengobatan kepada pasien kemudian dilanjutkan hingga bulan keenam supaya pasien bisa sembuh total.
”Orang-orang yang pernah berkontak dengan penderita tuberkulosis juga harus menjalani penapisan dan terapi pencegahan. Caranya minum obat seminggu sekali dengan 12 dosis selama tiga bulan. Mereka yang berkontak dengan penderita juga dianjurkan memakai masker untuk meminimalkan risiko penularan,” imbuh Indayah.
Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik di Lapas Kelas II A Pekalongan S Hardono mengatakan, selama tahun 2022 ada 12 warga binaan positif tuberkulosis. Kini, mereka sudah diobati dan dinyatakan sembuh.
”Kami dibantu dua perawat dan satu dokter dari puskesmas setempat yang datang ke lapas sekali sepekan. Selain melayani warga binaan, mereka juga memeriksa kesehatan petugas,” katanya.
Sejauh ini, menurut Hardono, pihaknya masih terkendala minimnya ketersediaan ruangan khusus untuk isolasi. Sejumlah ruangan di lapas itu terendam banjir rob yang tak pernah surut.
”Apabila tahun depan lapas jadi dipindah ke Kabupaten Pekalongan, kemungkinan kami bisa leluasa menyediakan ruang khusus isolasi. Dengan begitu, penularan penyakit, seperti tuberkulosis, bisa dicegah,” tutur Hardono.
Penderita anak
Sebelumnya, Dinkes Kota Semarang melaporkan, ada 1.572 anak menderita tuberkulosis pada 2023. Sebanyak 965, berusia di bawah empat tahun dan 607 lainnya berusia 5-14 tahun. Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang menilai, masih tingginya angka penderita tuberkulosis menunjukkan adanya faktor-faktor penghambat eliminasi.
”Salah satu yang kami temukan adalah stagnasi kolaborasi dan sumirnya tata kelola atau tata niaga barang medis tuberkulosis di Kota Semarang. Pendekatan multipihak yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 juga belum dijalankan di berbagai daerah, termasuk di Kota Semarang,” ucap Direktur Pattiro Semarang Iskandar.
Menurut Iskandar, pihaknya juga menemukan ada irisan penuh antara kawasan kasus tuberkulosis tinggi dengan kawasan rawan bencana. Dari 16 kecamatan di Kota Semarang, ada empat kecamatan yang rentan terdampak bencana, seperti Semarang Timur, Semarang Utara, Genuk, dan Candisari. Kawasan itu biasanya kumuh sehingga mudah memicu munculnya kasus baru.
Ke depan, Iskandar mendorong agar kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani tuberkulosis ditingkatkan. Dengan demikian, penanganan tuberkulosis kepada anak-anak bisa berjalan optimal.