Polda DIY Gagalkan Pengiriman Pekerja Migran Ilegal ke Qatar
Polda DIY gagalkan pengiriman pekerja migran ilegal ke Qatar. Dalam hal ini yang menjadi korban adalah dua ibu rumah tangga asal Jawa Barat yang dijanjikan bekerja sebagai ART.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah atau Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menggagalkan pemberangkatan pekerja migran Indonesia ke Qatar. Dua pelaku ditangkap.
Dua orang yang menjadi korban dan akan diberangkatkan adalah NS (41), dan RN (37), yang keduanya merupakan ibu rumah tangga asal Purwakarta dan Bekasi, Jawa Barat. Terkait kasus ini, polisi juga telah menangkap dua pelaku yang juga merupakan ibu rumah tangga, yaitu NA (32), warga asal Jakarta Timur, DKI Jakarta, dan JN (59), warga asal Purwakarta, Jawa Barat.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Ajun Komisaris Besar Tri Panungko mengatakan, pengungkapan kasus ini bermula dari penundaan pemberangkatan dari empat penumpang pesawat maskapai tertentu yang akan berangkat ke Singapura.
”Rombongan ini mengaku akan berwisata, tetapi visa yang dibawa adalah visa untuk keperluan bekerja,” ujarnya dalam acara rilis perkara di Polda DIY, Selasa (7/11/2023).
Laporan penundaan ini disampaikan oleh Kantor Imigrasi dan Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) yang ada di Bandara Internasional Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport (YIA), Sabtu (21/10/2023).
Adapun empat orang yang ditunda berangkat ke Singapura masing-masing adalah dua calon pekerja migran Indonesia (PMI) yaitu NS dan RN, juga salah satu tersangka, yakni NA, serta anak NA, yaitu FN, yang masih berusia enam tahun.
Dari hasil penyelidikan dan wawancara singkat yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi, dua PMI ini berstatus sebagai PMI ilegal dan tidak bisa diberangkatkan karena tidak mengurus syarat-syarat keberangkatan melalui BP3MI.
NS dan RN adalah dua korban yang berkeinginan kuat untuk bekerja di luar negeri. Mereka dijanjikan akan bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Qatar, tetapi nominal gaji yang dijanjikan belum diketahui.
Dalam kasus ini, tersangka NA berperan sebagai penampung calon PMI, mengurus pemberangkatan PMI, dan mencarikan agen di Qatar. Sementara itu, tersangka JN berperan mencari dan mensponsori calon PMI, kemudian menguruskan paspor untuk calon PMI.
Dua tersangka ini dinyatakan melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 600 juta. Mereka juga dinyatakan melanggar Pasal 81 juncto Pasal 69 UU RI No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar.
Dari keterangan korban NS, awalnya ia menghubungi JN. Selanjutnya, JN kemudian menghubungi N yang diketahuinya memiliki perusahaan penyalur PMI dan sering memberangkatkan PMI ke luar negeri.
N kemudian berlaku sebagai sponsor dan memberi uang Rp 10 juta kepada NS melalui JN. Sebanyak Rp 6 juta diberikan kepada keluarga NS, sedangkan Rp 4 juta dipakai untuk mengurus berbagai keperluan untuk pemberangkatan seperti paspor dan lain-lain.
N lalu memperkenalkan JN pada NA. Tersangka NA inilah yang kemudian meminta uang Rp 23 juta untuk keperluan membeli tiket pesawat ke Singapura dan Qatar.
NS kemudian bertemu dengan RN, yang keduanya kemudian sempat menginap semalam di rumah NA di Jakarta. Kamis (17/10/2023), mereka berempat, yaitu NS, RN, NA, dan anaknya FN, berangkat bersama-sama menuju YIA. Mereka sempat menginap semalam di sekitar bandara. Ketika kemudian hendak berangkat pada Sabtu (21/10/2023), pemberangkatan mereka ditunda karena petugas menemukan sejumlah kejanggalan.
Tri mengatakan, dua tersangka yang ditangkap, yaitu NA dan JN, pernah bekerja sebagai PMI legal yang diberangkatkan dari sejumlah perusahaan tertentu. Oleh karena itu, mereka berdua sangat hafal tentang prosedur dengan pemberangkatan PMI.
Belakangan, mereka mengaku akan berwisata, tetapi dari penampilan dan raut wajah, mereka tampak bukan seperti akan orang yang akan berekreasi atau bersenang-senang.
Sebelum ini, mereka juga sudah beberapa kali berhasil memberangkatkan PMI secara ilegal. Mereka tergiur untuk terus menjalankan kegiatan ini karena tergiur adanya honor yang dijanjikan oleh agen di luar negeri. Namun, untuk kasus ini, belum diketahui berapa honor yang dijanjikan akan mereka terima.
Polda DIY berupaya memperdalam penyidikan, termasuk untuk mengungkap pihak-pihak lain yang terlibat, seperti agen-agen PMI yang menjadi mitra kerja sama pelaku di luar negeri.
Kepala Kantor Imigrasi Yogyakarta Najarudin Safaat mengatakan, kasus ini terungkap karena dua korban yang dijanjikan menjadi calon PMI memperlihatkan sejumlah kejanggalan.
”Saat ditanya seputar pekerjaan dan visa bekerja yang dibawa, mereka kesulitan untuk menjawab. Belakangan, mereka mengaku akan berwisata, tetapi dari penampilan dan raut wajah, mereka tampak bukan seperti akan orang yang akan berekreasi atau bersenang-senang,” ujarnya.
Kepala BP3MI DI Yogyakarta Tonny Christwanto mengatakan, alasan wisata biasanya memang kerap dilontarkan oleh para PMI ilegal. Alasan ini biasanya dianggap sebagai alasan paling jitu karena mereka tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pengurusan izin bekerja dan berangkat ke luar negeri.
”Ketika kemudian mengungkapkan akan berangkat izin bekerja, Kantor Imigrasi akan langsung menanyakan bukti penyelesaian pengurusan di BP3MI, dan ketika itulah mereka tidak akan mampu menunjukkannya,” ujarnya.
Tahun ini, sudah ada empat upaya pemberangkatan PMI secara ilegal melalui YIA, dengan jumlah korban mencapai lebih dari 20 orang.
Sebagai bandara baru, menurut Tonny, YIA sekarang sering menjadi sasaran karena dianggap sebagai bandara dengan sistem pengamanan dan pengawasan PMI yang lebih longgar dibandingkan dengan bandara-bandara lain di kota besar lainnya, seperti Bandara Sukarno-Hatta di Banten ataupun Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali.