Bahaya Mengintai dari Penambangan Emas Ilegal di Pulau Buru
Dari penelitian pada 2021, penambangan emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, menyebabkan kandungan merkuri di sedimen sejumlah sungai melebihi ambang batas. Metilmerkuri di rambut warga juga demikian.
Matahari masih tinggi saat Kirman (40) memutuskan memutar kemudi perahunya kembali ke darat. Angin di tengah teluk tetiba berubah kencang. Hasil tangkapannya dari melaut sejak pagi hari juga tak memuaskan. Nelayan Desa Kaki Air, Kecamatan Teluk Kayeli, Kabupaten Buru, Maluku, ini mau tak mau harus pulang lebih cepat dari biasanya dan baru kembali pada sore hari.
”Sekarang ini dapat ikan belanak hanya satu ember (20 kilogram) saja sudah senang. Dulu, bisa dapat sampai tiga ember,” keluhnya.
Bahkan saking banyaknya ikan, ia menggambarkannya dengan menyebut, ikan-ikan sering lompat di depan rumahnya yang memang berada di antara permukiman terapung. Ikan seolah ”menyerahkan diri” untuk ditangkap sang empunya rumah. Tak jarang pula, Kirman dan nelayan Kaki Air lainnya terpaksa membuang ikan hasil tangkapan karena ikan tak mampu lagi diserap pembeli.
”Jadi, ibaratnya, dulu kita tinggal turun ambil uang di laut,” ujarnya.
Kala itu, jenis dan ukuran ikan pun beragam. Ia bisa menangkap seekor ikan belanak dengan berat hingga 1 kilogram (kg). Kirman juga kerap mendapatkan ikan tembang yang biasanya dijadikan sarden. Namun, semua kemewahan tersebut berakhir setelah emas ditemukan di Gunung Botak yang berada di tengah Pulau Buru sekitar tahun 2011.
Baca juga:
> Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat
> Ikan Sekarang ”Su” Lari Jauh Tergusur Tambang
Temuan emas memikat petambang emas ilegal dari berbagai penjuru Nusantara. Dengan alat-alat sederhana, vegetasi di perbukitan diterabas, dan perut bumi berusaha ditembus, demi mencari emas. Kerusakan lingkungan tak terelakkan terjadi.
Apalagi, untuk mengolah material tanah yang digali petambang guna menemukan emas, logam berat yang berbahaya bagi makhluk hidup, yakni merkuri, digunakan. Tromol untuk pengolahan itu berjejer di sejumlah sungai yang mengalir dari Gunung Botak. Air menjadi salah satu hal yang esensial untuk pengolahan itu.
Namun, tak hanya emas yang bisa diperoleh dari proses pengolahan itu, ada pula limbah dari sisa hasil pemrosesan yang mengandung merkuri dan logam berat lain, seperti tembaga. Hal ini yang kemudian menambah kerusakan pada lingkungan.
Kerusakan kian masif karena aliran sungai dari Gunung Botak bermuara di Teluk Kayeli. Padahal, teluk tempat ikan bertelur dan bertumbuh. Teluk juga menjadi tumpuan hidup bagi Kirman dan banyak nelayan lainnya di pesisir teluk, khusus di Kaki Air saja jumlah warganya mencapai 700 orang. Ikan belanak yang dijadikan ikan teri Kaki Air selama ini tersohor hingga ke Ambon, ibu kota Maluku.
Baca juga: Tuna yang Sudah ”Mati” di Laut Kami
Air bersih
Tidak hanya pada perikanan, air di muara yang biasa dikonsumsi masyarakat, kini juga tak lagi bisa dikonsumsi. Sejak aktivitas penambangan emas ilegal, air di muara menjadi keruh. Sedimen akibat tak ada lagi vegetasi di Gunung Botak, ditambah limbah dari pemrosesan emas, ditengarai membuat air di muara kini menjadi selalu berwarna cokelat.
Akibat dari pencemaran itu, warga Kaki Air terpaksa membeli galon isi ulang ukuran 19 liter seharga Rp 15.000 atau tiga kali lipat dibandingkan harga galon di Jawa.
”Setiap hari saya beli dua galon atau Rp 30.000. Kalau untuk mencuci baju, ambil dari air hujan,” ucap Murniati (45), salah satu warga Kaki Air. Padahal, biaya yang dikeluarkannya itu setara dengan harga 2 kg beras atau kebutuhan beras keluarganya selama dua-tiga hari.
Berkaca pada hasil penelitian Guru Besar Kimia Anorganik Universitas Pattimura, Yusthinus Male, pada 2021, tingkat kandungan merkuri di sedimen Sungai Patipulu, salah satu sungai yang bermuara di Teluk Kayeli, sudah sebanyak 16 miligram/kilogram (mg/kg), atau 16 kali lipat dari standar normal kandungan merkuri dalam sedimen sebesar 1 mg/kg. Tingkat merkuri yang melebihi batas normal juga ditemukan di sungai lain, seperti Anahoni dan Waelata.
”Proses (pengolahan emas dengan tromol) ini membutuhkan banyak air sehingga dibuat di sungai, air yang sudah tercampur merkuri ataupun sianida ini dilimpaskan ke sungai. Merkuri yang berat massa jenisnya lebih dari air jatuh ke bawah dan mengendap di sedimen sehingga berpotensi merusak badan air juga,” ucap Male.
Menumpuknya merkuri di air berdampak pada kondisi perikanan yang nantinya mengganggu kesehatan manusia yang ada di sekitarnya. Male menjabarkan, merkuri yang ada di badan air akan dimakan oleh mikroba, sulfubakteria. Mikroba tersebut akan mengonsumsi merkuri, lalu mengeluarkan kotoran yang disebut metilmerkuri (MeHg).
Metilmerkuri lalu dimakan fitoplankton, mikroorganisme dasar dalam rantai makanan di perairan. Fitoplankton yang sudah terpapar metilmerkuri dimakan zooplankton, plankton besar yang hidup dengan memakan jenis plankton lainnya. Zooplankton juga merupakan plankton yang dikonsumsi oleh hewan perairan kecil, seperti udang dan ikan teri.
Ikan-ikan kecil ini lalu menjadi bahan makanan bagi ikan-ikan lain yang berukuran besar, dan seterusnya. Perlu diingat, metilmerkuri memiliki sifat biogmagnifikasi. Artinya, kandungan metilmerkuri akan terus bertambah seiring dengan terus berjalannya rantai makanan, mulai dari fitoplankton hingga di dalam ikan yang tersaji di atas meja makan kita.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Hal ini pula yang menyebabkan kandungan metilmerkuri dalam jumlah besar biasanya terdapat di ikan pemuncak rantai makanan, seperti ikan todak dan ikan tuna.
Apalagi, merujuk penelitian Male setahun sebelumnya, merkuri sudah ditemukan telah terdistribusi sampai Teluk Kayeli. Merkuri juga ditemukan di biota laut.
Pencemaran darat
Pencemaran tidak hanya terjadi di perairan, tetapi juga di daratan. Masih berkaca pada temuan Male pada 2021, tingkat merkuri yang ada di areal tanah bekas tromol di Sungai Patipulu sudah berada di angka 22 mg/kg merkuri dari standar normal sebesar 1 mg/kg. Areal tanah bekas tromol ini lalu ditanam berbagai tanaman yang akan dikonsumsi warga, seperti sayur-sayuran.
Hasilnya, kandungan metilmerkuri di rambut warga di Desa Kaiely di Kecamatan Teluk Kayeli, Buru, pun sudah berada di batas yang tidak wajar. Ia khawatir, minimnya pencegahan dan tindakan tegas pemerintah akan berdampak buruk bagi warga di masa depan nanti. Selain kesehatan, dampak ekonomi juga harus menjadi perhatian. Permasalahan merkuri dan sianida berpotensi menyulitkan upaya pemerintah mendorong sektor perikanan berbasis ekspor, seperti ke Amerika dan Eropa.
Dalam sejarah, metilmerkuri menjadi penyebab munculnya penyakit ”misterius” di Minamata, kota di pesisir Jepang. Pada 1950-an, secara mendadak, ribuan warga meninggal. Banyak dari mereka juga mengalami gangguan saraf yang menyebabkan kehilangan kemampuan bicara, berjalan, bahkan melihat. Ibu yang tengah mengandung juga banyak yang keguguran.
Setelah diusut, metilmerkuri ternyata berasal dari limbah pupuk yang dibuang oleh sebuah perusahaan pupuk, Chisso. Chisso mulai membuang limbah yang mengandung metilmerkuri pada 1930-an atau sekitar 20 tahun sebelum warga terkena dampaknya.
”Ikan dan sayuran ini lalu dikonsumi warga, maka kandungan metilmerkurinya semakin besar. Inilah mengapa dampaknya baru terlihat puluhan tahun kemudian. Kerugian jangka panjang tidak akan terbayar dengan kentungan di jangka pendek,” ucapnya.
Penjabat Kepala Desa Kaki Air Rahmawati Dafrullah berharap, pertambangan di Gunung Botak dapat ditata sehingga tak lagi mencemari sungai hingga Teluk Kayeli. Hal ini penting bagi kesehatan masyarakat, juga karena banyak warganya bermatapencarian sebagai nelayan.
”Kalau tidak ada yang beli ikan bagaimana? Berarti beta (saya) pu (punya) masyarakat di sini mati pelan-pelan,” ungkapnya.
Baca juga: Perisai Adat yang Melindungi Laut
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Erawan Asikin mengakui, tambang ilegal di Gunung Botak bisa berdampak pada pesisir. Pihaknya pun telah berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menangani dampak lingkungannya.
Sudah berulang kali pemerintah dan aparat keamanan mencoba menutup penambangan emas ilegal di Gunung Botak. Namun, hingga kini para petambang selalu kembali. Ancaman besar tak pelak mengintai kesehatan masyarakat dan juga masa depan perikanan di perairan Pulau Buru.