Spirit Rempah dari Serambi Mekkah
Lada, cengkeh, dan pala termasuk rempah populer kala itu. Kekayaan rempah di Aceh telah menarik banyak pedagang dari banyak negeri berlabuh ke bumi Serambi Mekkah.
Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 yang mengusung tema ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” adalah upaya mendukung Indonesia sebagai jalur rempah dunia. Pada masa lampau, Provinsi Aceh merupakan salah satu jalur perdagangan paling sibuk di Selat Malaka.
Pekan Kebudayaan Aceh 2023 berlangsung pada 4-12 November 2023. Acara pembukaan yang dipusatkan di Taman Sulthanah Safiatuddin Kota Banda Aceh, Sabtu (4/11/2023), berlangsung meriah. Ribuan warga tumpah ruah memadati kompleks Pekan Kebudayaan Aceh (PKA).
Sebuah layar raksasa dibangun di tengah lapangan. Di layar itu, warga dapat menyaksikan semua atraksi budaya dalam seremonial pembukaan.
Tabuhan rapai pasee membuka seremonial PKA-8. Rapai pasee merupakan alat musik tabuh yang terbuat dari lingkaran kayu yang disemat kulit sapi atau kerbau pada palung gendang.
Baca juga: Pekan Kebudayaan Aceh Dukung Indonesia Jalur Rempah Dunia
Ukuran lingkaran gendang rapai pasee 24-27 inci, lebih besar dua kali lipat dari rapai pada umumnya yang berukuran 12 hingga 17 inci. Karena ukurannya besar, dalam keadaan sunyi, bunyi tabuhan rapai pasee bisa menggema hingga radius 5 kilometer.
Sebanyak 500 penari menampilkan tarian kolosal Drama Tari Musikal Hikmah Angen. Tarian ini menceritakan Kerajaan Aceh Darussalam yang kaya akan rempah. Pada masa lampau, Aceh menjadi bagian terpenting dalam jalur perdagangan rempah dunia, terutama di Selat Malaka.
Lada, cengkeh, dan pala termasuk rempah populer kala itu. Kekayaan rempah di Aceh telah menarik banyak pedagang dari berbagai negeri berlabuh ke bumi Serambi Mekkah itu.
Di awali kepentingan perdagangan rempah-rempah, Kerajaan Aceh Darussalam akhirnya memiliki hubungan dengan banyak kerajaan lain. Rempah juga menjadi komoditas membangun diplomasi dengan utusan kerajaan lain.
Malam itu, warga juga dihibur dengan penampilan penyanyi lokal yang membawa sejumlah lagu etnik. Seremonial pembukaan diakhiri dengan menumbuk rempah di dalam lesung oleh Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al Haytar, dan Deputi Koordinator Bidang Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK Didik Suhardi.
Baca juga: Aceh Didorong Merevitalisasi Jalur Rempah lewat Seni
PKA merupakan agenda rutin yang digelar setiap empat tahun. PKA pertama kali digelar pada 1958. PKA ke-2 dan ke-3 digelar pada 1972 dan 1988. Namun, pada saat konflik melanda Aceh, PKA tidak digelar secara rutin. PKA ke-4 baru digelar pada 2004.
PKA menjadi panggung untuk berbagai kegiatan kebudayaan dengan menampilkan kekayaan budaya di Aceh berupa atraksi budaya, penampilan kesenian, pameran, dan seminar kebudayaan.
Museum rempah
Tema PKA ke-8 ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” adalah bagian dari spirit Tanah Rencong untuk mengembalikan kejayaan rempah di Nusantara. Sebagaimana diketahui, saat ini, Indonesia sedang memperjuangkan jalur rempah sebagai warisan dunia. Jika China dikenal dengan jalur sutra, Indonesia adalah jalur rempah dunia.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza mengatakan, melalui PKA ke-8, Aceh mengusung diri sebagai salah satu bagian dari jalur rempah dunia.
Aceh dan rempah tidak bisa dipisahkan. Dari dulu hingga kini, aneka rempah mudah ditemukan dalam kehidupan warga Aceh. Kuliner Aceh, seperti kuah beulangong (kari), mi aceh, hingga ie bu peudah (bubur) sarat rempah di dalamnya. Rempah juga telah lama menjadi obat herbal.
Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki mengatakan, rempah menjadi tema yang sangat kontekstual dengan kondisi nasional. Rempah merupakan komoditas niaga populer sejak dulu hingga kini.
”Aceh patut berbangga karena dua titik dari 20 jalur rempah Nusantara berada di Aceh,” kata Marzuki.
Pada abad ke-15 dan ke-16, Kerajaan Samudera Pasai (kawasan utara-timur Aceh) dan Kerajaan Aceh Darussalam menjadi episentrum perdagangan rempah. ”Banyak temuan manuskrip dan artefak yang memperlihatkan Aceh sebagai jalur rempah dunia,” kata Marzuki.
Oleh sebab itu, menurut Marzuki, tidak berlebihan jika Aceh memiliki museum rempah yang akan menjadi tempat belajar sekaligus untuk melestarikan rempah khas Aceh.
Wacana lain, Pemprov Aceh akan membangun kebun raya rempah di Aceh bagian barat-selatan selain sebagai museum hidup juga menjadi taman obat herbal. ”Kami telah mendata dan memetakan kemungkinan ini, semoga ada dukungan dari kementerian,” kata Marzuki.
Deputi Koordinator Bidang Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Didik Suhardi menuturkan, semangat Aceh untuk mengembalikan kejayaan rempah patut didukung semua pihak. Terlebih, rempah-rempah dapat menjadi sumber ekonomi bagi warga.
Baca juga: Mengembalikan Kejayaan Jalur Rempah
”Semoga membawa kembali kejayaan Aceh terhadap industri rempah sehingga bisa memakmurkan masyarakat Aceh,” tutur Didik.
Didik mengatakan, pada era modern kebudayaan dari luar mudah masuk ke Nusantara. Tanpa usaha mempertahankan, suatu saat budaya Nusantara akan luntur. Rempah sebagai salah satu komoditas kebudayaan perlu dirawat. Namun, tidak kalah penting pelestarian budaya juga dapat mendorong kemajuan ekonomi daerah.
”Internet hadir hingga ke rumah dan kamar kita. Ada hal positif ada hal negatif, semisal drama Korea yang saat ini banyak digemari dan sedikit banyak mengikis kehidupan sosial kita. Oleh karena itu, pelaksanaan PKA ini kita berharap dapat menjadi sarana menjaga kelestarian budaya kita,” papar Didik.
Direktur Institut Peradaban Aceh Haekal Afifa menuturkan, Aceh adalah gerbang perdagangan jalur rempah. Kala itu, misi untuk menguasai perdagangan rempah dunia menjadi salah satu pemicu perang di Selat Malaka. Laksamana Keumalahayati, panglima perang laut Kerajaan Aceh Darussalam, dikenal garang menghalau pasukan Portugis.
Dalam sejarah disebutkan, Kerajaan Aceh pernah memberikan sejumlah lada kepada Khalifah Turki. Sebagai gantinya, Turki memberikan sebuah meriam kepada delegasi Aceh. Meriam itu diberi nama Meriam Lada Sicupak dan digunakan untuk memerangi Portugis. Meriam Lada Sicupak pulalah yang dijadikan maskot PKA ke-8.
Haekal menuturkan, Aceh masa lalu sangat terbuka. Sebagai kota dagang, Aceh membuka pintu bagi siapa saja yang datang. Haekal berharap PKA bukan hanya menjadi ajang silaturahmi kebudayaan, melainkan juga momentum mengembalikan kejayaan rempah Aceh.
Baca juga: Rempah Jadi Identitas Tak Terpisahkan dari Kisah dan Kuliner Nusantara