Mengembalikan Kejayaan Jalur Rempah
Rempah memiliki jejak komoditas penting sebagai hasil bumi Nusantara sekaligus membuka jalur perdagangan dengan luar negeri. Pandemi Covid–19 menjadi pengingat kembali pentingnya rempah alami dalam kehidupan sehari-hari.
Peran rempah sebagai komoditas penting dalam perdagangan di Indonesia kini sudah bergeser. Variasi rempah yang pada masa lalu populer kini semakin sedikit jenisnya. Jalur rempah juga bukan lagi menjadi penggerak utama ekonomi global seperti pada masa lalu.
Namun, ada harapan jalur rempah kembali dipopulerkan. Melalui edukasi, sosialisasi, dan promosi yang terintegrasi, Jalur Rempah Nusantara diharapkan kembali populer, setara dengan Jalur Sutera yang kembali populer di China.
Jalanan aspal menuju Pantai Lilibooi di sebelah barat Kota Ambon terik terkena sinar matahari. Sepanjang jalan, jamak kita jumpai terpal berisi rempah berwarna kecoklatan. Ketika mobil berjalan pelan, ada seorang ibu sibuk membolak-balikkan cengkeh dan pala dengan tangannya.
Ambon memang salah satu kota rempah di Indonesia yang populer dari zaman kolonial hingga saat ini. Selain Kepulauan Maluku, daerah asal cengkeh yang dikenal di Indonesia adalah Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Petani rempah di Ambon masih menjadikan rempah sebagai sumber pemasukan meski bukan lagi komoditas utama seperti zaman dulu.
Perjalanan panjang rempah Nusantara sejak abad ke-15 membuat masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari rempah. Budaya yang bermula dari kegiatan maritim ini kemudian berkembang menjadi jalur perdagangan rempah-rempah. Hasil akulturasi dari kegiatan maritim tersebut tampak dari ragam bahasa, lagu daerah, pakaian, makanan, hingga kebiasaan berperilaku lainnya yang terdapat penggunaan rempah di dalamnya.
Hasil penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bersama Litbang Kompas pada 26 Oktober 2020 - 6 November 2020 menemukan, pemahaman masyarakat atau awareness terhadap rempah dan jalur rempah masih sebatas keterhubungan niaga. Padahal, sisi lain keberadaan rempah di Nusantara juga mengungkapkan adanya nilai keterhubungan budaya dan ikatan sosial antardaerah.
Bagian terbesar responden (36,3 persen) menjawab kata pertama yang muncul saat mendengar kata ”rempah” adalah bumbu. Artinya, masyarakat masih mengasosiasikan rempah sebagai produk atau barang saja. Selain bumbu, persepsi responden lainnya dalam memaknai rempah juga tidak jauh-jauh dari produk. Jawaban yang banyak diungkapkan responden lainnya adalah beragam jenis nama-nama rempah dan nama-nama rimpang, seperti cengkeh, jahe, dan lada.
Sementara istilah ”jalur rempah” paling banyak diasosiasikan dengan makna perdagangan rempah. Sementara itu, masih ada 44 persen responden yang tidak mengetahui apa itu jalur rempah. Dari semua jawaban, belum ada masyarakat yang mengasosiasikan jalur rempah dengan ketersambungan budaya.
Gambaran tersebut memperlihatkan keberadaan rempah dan jalur rempah masih semata dimaknai dari sisi ekonomis, yaitu sebagai produk dan perdagangan. Padahal, perdagangan rempah dalam sejarah Indonesia bukanlah sekadar dalam konteks ekonomi saja, melainkan juga memunculkan proses pertukaran nilai dan budaya yang turut membentuk identitas masyarakat Indonesia.
Keterhubungan antardaerah
Jejak budaya rempah di Indonesia mengungkapkan identitas asli kekayaan nusantara. Cengkeh dan pala merupakan tanaman asli Indonesia (Kompas 2/8/2017). Keduanya merupakan tanaman dari Kepulauan Maluku.
Harum tanaman asli Indonesia ini juga memiliki banyak manfaat. Tanaman cengkeh, misalnya, daun dan tangkainya bisa diolah dan dijual dalam bentuk minyak. Nilai tambah gagang cengkeh naik setelah diolah menjadi minyak atsiri.
Baca juga: Kisah Aroma Pemikat Dunia
Minyak ini dapat diolah menjadi minyak gosok, sabun, serta minyak dan lilin untuk terapi aroma. Minyak atsiri cengkeh adalah bahan obat-obatan, kosmetik, dan dibutuhkan industri makanan atau minuman.
Kekayaan tanaman asli Nusantara ini juga diminati pasar dunia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil cengkeh terbesar di dunia. Selama 2008-2012, produksi cengkeh Indonesia menyumbang 79,8 persen produksi dunia.
Beragam manfaat tanaman rempah ini membuat publik tertarik untuk mengetahui informasi terkait rempah dan jalur rempah. Bahkan, responden juga mengungkapkan ketertarikannya untuk mengetahui jenis rempah, menggunakan rempah, serta mencoba makanan dan minuman yang mengandung rempah dari daerah lain.
Respons positif masyarakat ini bisa dijadikan modal untuk menghidupkan kembali Jalur Rempah Nusantara. Apalagi dari hasil penelitian tersebut, masyarakat sudah memiliki modal integrasi antardaerah yang tinggi. Terlihat dari keterbukaan masyarakat yang tinggi dalam menerima perbedaan suku atau etnis dalam hubungan antarrekan kerja, tetangga, hingga pernikahan.
Terlebih, masa pandemi Covid–19 ini menjadi pengingat kembali tentang pentingnya rempah alami dalam kehidupan sehari-hari. Karena pandemi, kini banyak masyarakat mencoba kembali ke rempah sebagai solusi untuk meningkatkan imunitas.
Ekspor komoditas rempah dari Provinsi Lampung mengalami peningkatan di tengah pandemi Covid-19. Balai Karantina Pertanian Bandar Lampung mencatat, selama periode Januari-Juni 2020, ekspor cengkeh sebanyak 130 ton. Jumlah itu meningkat sekitar 31,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Cengkeh asal Lampung diekspor ke Jerman, Mesir, India, Kazakhstan, Malaysia, Pakistan, Taiwan, Uni Emirat Arab, dan Inggris. Selain cengkeh, kenaikan ekspor juga dialami lada hitam, naik dari 3.606 ton menjadi 5.668 ton.
Baca juga: Kejutan dari Jalur Rempah
Diliriknya tanaman rempah di masa pandemi menjadi harapan kembalinya kejayaan rempah Nusantara di pasar dalam negeri dan luar negeri. Ini juga menjadi peluang baru pengembangan ekspor yang sedang lesu akibat wabah korona.
Masyarakat berharap pengembangan Jalur Rempah dapat dimulai dengan membiasakan penggunaan rempah di lingkungan keluarga. Sosialisasi dapat dilakukan di lingkungan rukun tetangga (RT) dalam kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Dharma Wanita.
Masyarakat juga berharap pengetahuan terkait rempah dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sehingga anak-anak usia sekolah akan teredukasi sejak dini. Sebagian masyarakat juga berharap sosialisasi dilakukan secara tatap muka interaktif daripada model sosialisasi lainnya. Untuk kaum muda dari Generasi Z, mereka lebih memilih sosialisasi dilakukan melalui media sosial.
Kalangan pelaku usaha yang berdomisili di lokasi Jalur Rempah berharap adanya forum rutin di daerah mereka. Mereka ingin mengetahui informasi terkait perdagangan daerah lain. Forum-forum seperti ini diharapkan dapat menjadi ajang saling mempromosikan produk daerahnya ke daerah lain.
Hasil penelitian ini memang menunjukkan bahwa sebaiknya fokus penguatan Jalur Rempah dimulai dari daerah. Sumber-sumber rempah kita memang lebih banyak berasal dari daerah.
Penguatan kelompok pelaku rempah seperti pedagang dan petani rempah di daerah menjadi modal kuat untuk kembali memopulerkan Jalur Rempah sebagai warisan ketersambungan budaya, lebih dari sekadar keterhubungan niaga. (LITBANG KOMPAS)