Pekan Kebudayaan Aceh Dukung Indonesia Jalur Rempah Dunia
Pekan Kebudayaan Aceh Ke-8 mengangkat tema ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia”. Selain ajang apresiasi kebudayaan, acara itu juga mendukung pengusulan Jalur Rempah di Nusantara sebagai warisan budaya dunia.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pekan Kebudayaan Aceh Ke-8 akan digelar pada 4-12 November 2023 dengan tema ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia”. Selain sebagai ajang apresiasi kebudayaan, kegiatan itu juga mendukung pengusulan Jalur Rempah di Nusantara sebagai warisan budaya dunia.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza, Jumat (6/10/2023), mengatakan, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) merupakan agenda rutin yang digelar setiap lima tahun. ”PKA menjadi ajang pertunjukan kebudayaan terbesar di Aceh,” katanya.
PKA Ke-8 akan digelar di Taman Ratu Safiatuddin, Kota Banda Aceh. Sebanyak 23 kabupaten/kota di Aceh akan menampilkan berbagai kesenian dan kebudayaan khas, seperti tari tradisi, kerajinan, artefak, kuliner, dan praktik kebudayaan lampau.
Aceh sebagai daerah yang majemuk memiliki keberagaman suku, seperti Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Singkil, Kluet, dan Tamiang. Keberagaman suku itu membuat praktik kebudayaan yang tumbuh di Aceh juga beragam. Keberagaman itulah yang akan ditampilkan dalam PKA Ke-8.
Almuniza memaparkan, selain memperlihatkan wajah Aceh masa lampau, kebudayaan masa kini juga akan ditampilkan dalam PKA Ke-8. Oleh karena itu, akan terlihat perjalanan kebudayaan di Aceh. ”Kami ingin menampilkan Aceh masa lampau, masa kini, dan masa depan,” ucapnya.
Dia menambahkan, PKA Ke-8 mengangkat tema ”Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia” untuk mendukung program pemerintah pusat yang ingin mengusulkan Jalur Rempah di Nusantara sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
”Kami menginginkan Aceh menjadi salah satu bagian dari jalur rempah dunia,” ujar Almuniza.
Dia memaparkan, selama sembilan hari penyelenggaraan, PKA Ke-8 akan dimeriahkan dengan pawai kebudayaan, lomba tari, pameran di masing-masing anjungan, permainan tradisional, hingga seminar nasional.
”Kami mengundang 10 negara sahabat untuk memeriahkan PKA, tetapi yang telah konfirmasi hadir adalah India, Malaysia, dan Jepang,” ujarnya.
Pemprov Aceh juga mengundang Presiden Joko Widodo untuk membuka PKA Ke-8. Pada PKA Ke-4, pembukaan dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. PKA Ke-5 dan PKA Ke-6 dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan PKA Ke-7 dibuka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
”Persiapan kami sudah 80 persen. Kami sangat berharap PKA Ke-8 dibuka oleh Presiden Joko Widodo,” ujar Almuniza.
Pekan Kebudayaan Aceh pertama kali digelar tahun 1958. PKA Ke-2 dan PKA Ke-3 digelar pada 1972 dan 1988. Namun, pada saat konflik melanda Aceh, PKA tidak digelar secara rutin. PKA Ke-4 baru digelar pada tahun 2004.
Ketua Laboratorium Seni Aceh Rakitan Iskandar mengatakan, PKA masih terpaku pada produk kebudayaan masa lampau. Padahal, praktik budaya di Aceh sangat dinamis.
”Yang ditampilkan adalah kebudayaan masa lalu yang didaur ulang. Padahal, praktik kebudayaan bisa berubah sesuai dengan masa. Harusnya yang ditampilkan perjalanan perubahan kebudayaan tersebut,” kata Iskandar.
Iskandar juga mengingatkan, selama ini pembinaan dan apresiasi kepada pelaku kesenian dan kebudayaan di Aceh masih lemah. Dia mencontohkan, kesenian rapa’i pase di Aceh Utara kini hanya menyisakan pemain yang berusia lanjut. Kaderisasi sangat lemah karena perhatian dan alokasi anggaran dari pemerintah kurang.
Namun, rapa’i pasee selalu ditampilkan dalam PKA. ”Usai PKA, para pemain rapa’i pasee kembali sepi perhatian. Mereka berjuang sendiri untuk merawat kesenian itu agar tidak punah,” ungkap Iskandar.
Iskandar berharap, PKA bukan hanya menjadi acara selebrasi budaya untuk mendapatkan nilai ekonomi. Acara itu juga diharapkan dapat memperkuat pembinaan dan apresiasi terhadap pelaku kesenian di Aceh.
Kami menginginkan Aceh menjadi salah satu bagian dari jalur rempah dunia.