Soal Penangkapan Ikan Terukur, Sulut Tunggu Peran Kementerian Kelautan dan Perikanan
Mayoritas nelayan di Sulut belum siap menjalankan aturan penangkapan ikan terukur yang akan berlaku mulai 2024. Dibutuhkan sosialisasi dan persiapan mulai dari infrastruktur hingga kesiapan petugas di lapangan.
Sebagai aparatur sipil negara di daerah, Tienneke Adam mengerti bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pemerintah pusat tak akan dapat dibatalkan pemerintah daerah. Meski tebersit enggan, ia tetap mendukung kebijakan penangkapan ikan terukur yang telah diwacanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak 2021.
”Kebijakan PIT (penangkapan ikan terukur) ini bukan jelek. Bagus,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara itu ketika dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Rabu (1/11/2023).
Enam bulan lalu, ratusan nelayan di Bitung berdemonstrasi menolak PIT. Bitung adalah kota perikanan strategis 50 kilometer di timur Manado.
”Semua (nelayan) pada menolak. Kalau ditanya, enggakada yang setuju,” tambah Tienneke. Kondisi itu menunjukkan kontrasnya kepentingan di atas dan sikap akar rumput.
Tienneke menyatakan, hingga kini mayoritas nelayan di Sulut belum siap. Padahal, PIT akan berlaku pada 2024.
Lewat kebijakan PIT, lautan Republik Indonesia yang sejatinya telah dibagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) akan dibagi lagi menjadi enam zona. Masing-masing zona diberi kuota bobot ikan yang boleh ditangkap selama setahun, termasuk dalam skala besar di empat zona industri.
Dengan produksi perikanan tangkap yang hampir 300.000 ton per tahun, Sulut akan diapit dua zona, yakni Zona 02 dan 03. Menurut perhitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2022, kuota tangkapan di Zona 02 adalah 738.000 ton per tahun senilai Rp 15,8 triliun, sementara Zona 03 sebanyak 2,26 juta ton per tahun setara Rp 46,12 triliun.
November 2021 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono berkunjung ke Bitung untuk apel kesiapan pasukan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Di sela-sela acara, ia sempat menyinggung wacana tentang PIT di depan para wartawan.
Baca juga : Menakar Masa Depan Bitung Setelah Penangkapan Ikan Terukur
Meski mayoritas nelayan belum siap, lanjutnya, PIT tak bisa ditunda. Namun, ia minta kebijakan itu diberlakukan hanya kepada kapal-kapal dengan surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang diterbitkan pemerintah pusat.
Artinya, hanya kapal-kapal berukuran di atas 30 gros ton (GT) dengan wilayah penangkapan Jalur III atau di atas 12 mil dari garis pantailah yang sebaiknya diwajibkan mematuhi PIT. Untuk kapal-kapal yang lebih kecil, Tienneke menyebut, dibutuhkan sosialisasi dan persiapan lebih panjang, mulai dari infrastruktur sampai petugas di lapangan.
Sebetulnya, kapal berbobot 30 GT ke bawah merupakan urusan pemprov selaku penerbit SIPI. Akan tetapi, Tienneke bilang, sosialisasi kepada lebih dari 30.000 nelayan di 13 kabupaten/kota bahari di Sulut bukan hal mudah dan murah. Ini semakin sulit karena pihaknya tak punya anggaran yang cukup, sementara tak semua nelayan aktif menggunakan media sosial.
”Ini kebijakan yang belum dipahami semua lapisan masyarakat karena kurangnya kegiatan sosialisasi, kurangnya kami (turun) ke daerah, karena semua dana (dari pusat) tidak ada lagi,” katanya.
Baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota Dimulai Bertahap
Memang, sejak kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan pada akhir November 2021, hampir tidak ada lagi kunjungan KKP ke daerah, terutama Bitung yang dijuluki ”Kota Cakalang” sekaligus salah satu sentra industri pengolahan ikan di Indonesia. Kucuran dana kegiatan dari kementerian pun, kata Tienneke, ikut seret sehingga sosialisasi terhambat.
Seharusnya, KKP memberlakukan pembagian pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang lebih adil dengan daerah. Apalagi, besarannya bisa dibilang terlampau besar bagi para nelayan, yakni 5 persen dari tangkapan bagi kapal di bawah 60 GT dan 10 persen bagi kapal di atas 60 GT dengan harga ikan yang dipukul rata Rp 15.000 per kilogram.
Hampir 50 persen kapal di sini (Sulut), kan, izin pusat. Kalau dulu, kapal kecil bisa masuk ke (wilayah) kapal besar. Kasihan kapal-kapal kecil.
Di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, realisasi PNBP selama 2016-2020 cenderung naik, dimulai dengan Rp 907,04 juta pada 2016 hingga Rp 1,43 miliar pada 2019. Pada 2020, perolehan turun menjadi Rp 1,13 miliar akibat pandemi Covid-19.
”PNBP kita cukup banyak ke pusat. Kita (daerah) yang kerja, nagih-nya di pelabuhan. Terus share ke daerah dari PNBP itu apa? Berapa banyak? Berapa persen? Buat daerah mana? Siapa yang akan menerima?” ucap Tienneke memprotes.
Pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor perikanan tangkap kini hanya dari, antara lain, penerbitan SIPI untuk kapal di bawah 30 GT. Namun, sumber ini rawan menyusut setelah pada Agustus 2023 Direktur Jenderal PSDKP KKP Adin Nurawaluddin menegaskan wilayah Jalur III dikhususkan bagi kapal-kapal berizin pusat.
Baca juga : Kebijakan Ekonomi Biru Indonesia Sejalan dengan Perjanjian Pencegahan Penangkapan Ikan Ilegal
Dengan begitu, kapal nelayan di bawah 30 GT harus beralih izin dulu jika ingin menangkap ikan di sana. ”Hampir 50 persen kapal di sini (Sulut), kan, izin pusat. Kalau dulu, kapal kecil bisa masuk ke (wilayah) kapal besar. Kasihan kapal-kapal kecil,” ujar Tienneke, merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021.
Beban nelayan
Dari sudut pandang nelayan, PNBP yang terlampau besar juga menghambat usaha. Julius Hengkengbala, Ketua Gerakan Nelayan Perkasa Indonesia (GNPI) yang berbasis di Bitung, menyebut nelayan sebenarnya adalah pekerjaan yang hampir sama seperti judi.
Dengan modal sekali melaut sekitar Rp 100 juta, belum tentu mereka akan pulang dengan tangkapan. Apalagi, target tangkapan utama para nelayan di Bitung adalah ikan pelagis, seperti cakalang dan tuna, yang tak pernah tinggal di satu tempat.
”Berapa bulan lalu ada kapal yang hampir tenggelam. Dibantu sama dua kapal, diiringi balik ke pelabuhan. Udah begitu, masih ditagih PNBP. Kan, itu perampok namanya?” kata Julius.
Baca juga : Pembiayaan Bidik Kebutuhan Pengadaan Kapal Besar
Kendati begitu, Julius menegaskan, para nelayan tak pernah menolak PNBP. Mereka justru mengapresiasi perubahan sistem pembayaran dari sebelum menjadi sesudah menangkap ikan sehingga lebih memberi rasa keadilan. Di samping itu, pembayaran PNBP adalah kewajiban mereka selaku warga negara.
Namun, harga acuan Rp 15.000 per kilogram dia sebut tak masuk akal, apalagi jika daerah tak kecipratan. ”Itu acuan dari mana? Kalau ada BUMN semacam Bulog di bidang perikanan, dan mereka mau beli Rp 15.000 terlepas dari kualitasnya, mari! Tetapkan saja standar harganya,” kata Julius yang mewakili penolakan keras 57 anggota GNPI terhadap PIT.
Sementara itu, Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan (IPP) Sulut Budi Wahono menyebut, 18 anggota asosiasinya secara umum telah menerima PIT sekalipun PNBP yang dibebankan kepada para nelayan nantinya akan memberatkan mereka juga, terutama para eksportir. Pasalnya, harga internasional ikan olahan tidak elastis meski ada biaya-biaya tambahan akibat regulasi dalam negeri.
Seiring dengan PIT yang akan membuka pintu bagi kapal-kapal asing, ia pun meminta KKP untuk turut memainkan peran penting dalam mendukung kelangsungan usaha perikanan tangkap serta industri pengolahan. ”Selama ini hulu (sektor perikanan tangkap) dianggap hutan rimba. Industri keuangan kurang men-support,” katanya.
KKP sebenarnya telah memiliki lembaga pendanaan sektor perikanan, yaitu Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP). Namun, sepanjang 2022, realisasi kreditnya hanya Rp 128 miliar bagi 1,27 juta nelayan di seantero negeri, turun dari Rp 270 miliar pada 2021 dan Rp 192 miliar pada 2020.
Adapun pada 2023, BLU-LPMUKP menyiapkan anggaran permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah sektor kelautan sebesar Rp 700 miliar dengan bunga kredit 3 persen per tahun dan tenor lima tahun. Sekitar Rp 400 miliar dialokasikan untuk membiayai usaha penangkapan ikan.
Baca juga : Sulut Rayakan HUT dengan Makan Massal Setengah Ton Sashimi Tuna
Tienneke, menyebut pembiayaan ini sangat penting diberikan terutama kepada nelayan-nelayan kecil dengan kapal di bawah 30 GT. Sebab, dalam pelaksanaan PIT nanti, akan sangat banyak persyaratan yang harus dipenuhi nelayan, seperti sistem pengawasan kapal perikanan (VMS), sertifikat kuota, dan bermacam perizinan lain.
Budi sependapat. ”Harusnya dengan PIT, (sektor perikanan tangkap) lebih baik lagi. Kalau hulu enggak di-support, bisa dapat dana dari mana? Sementara di negara lain banyak bantuan, kita kapal bikin sendiri, modal cari sendiri, jual (ikan) juga sendiri. Industri ini jadi stuck (stagnan),” pungkasnya.