Inflasi Naik akibat El Nino, Pemprov Maluku Bangun Fasilitas Pascapanen
Keterbatasan pasokan akibat El Nino mengerek naik harga komoditas pangan di Maluku. Untuk menekan inflasi, Pemprov Maluku menempuh sejumlah cara, termasuk membangun fasilitas pengolahan pascapanen.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Lonjakan harga pangan akibat fenomena El Nino turut mendorong kenaikan inflasi di sejumlah kota di Maluku. Di tengah kondisi itu, masyarakat di Maluku didorong mengonsumsi pangan lokal sebagai alternatif. Pemprov Maluku juga membangun fasilitas pengolahan komoditas pascapanen untuk menekan inflasi.
Ditemui di Ambon, Rabu (1/11/2023), Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Maluku Yanti Likur menjelaskan, ketersediaan pangan untuk komoditas strategis di Maluku masih aman. Meski demikian, harga sejumlah bahan pangan seperti beras, cabai, bawang, dan gula, sudah merangkak naik karena terbatasnya pasokan dari daerah asal akibat terdampak El Nino.
Tidak hanya akibat cuaca, harga pangan di Maluku juga terpengaruh masih susahnya akses logistik pangan ke beberapa daerah. Menurut Data DKP Maluku pada Oktober 2023, ketersediaan beras berada di angka 32.910 ton, sedangkan kebutuhan per minggu sebesar 2.300–2.400 ton.
”Maluku sangat bergantung pada komoditas beras dari Jawa. Jadi, saat stoknya terganggu, harganya mulai naik,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan Kompas, Rabu (1/11/2023), sejumlah komoditas pangan strategis di Kota Ambon mengalami kenaikan. Di Pasar Mardika, yang merupakan pasar terbesar di Ambon, harga cabai rawit bergerak dari Rp 50.000 per kilogram (kg) pada Agustus 2023, menjadi sekitar Rp 90.000 per kg. Selain itu, harga beras pun mengalami kenaikan.
Di Pasar Mardika, harga beras medium sekitar Rp 14.000 per kg dari harga sebelumnya Rp 12.000–Rp 13.000 per kg. Sementara itu, harga beras premium di kisaran Rp 16.000–Rp 17.000 per kg, naik dari harga sebelumnya Rp 15.000 per kg.
Maluku sangat bergantung dengan komoditas beras dari Jawa. Jadi, saat stoknya terganggu, harganya mulai naik
Yanti menyebut, DKP Maluku rutin menggelar operasi pasar melalui gerakan pangan murah di beberapa pasar di Maluku. Dia juga mengajak warga untuk mengkonsumsi pangan lokal yang tersedia di beberapa daerah. Namun, akses terhadap pangan lokal seperti umbi-umbian pun terbatas.
”Harga pangan lokal seperti satu paket umbi-umbian bisa mencapai Rp 30.000 per kilogram dan hanya dapat dikonsumsi satu hari. Masyarakat sudah telanjur tergantung dengan beras dan meninggalkan pangan lokal. Jadi, memang sulit juga untuk mendorong hal ini. Namun, untuk petani, cara ini masih ampuh untuk dilakukan,” ujarnya.
Statistisi Ahli Madya Badan Pusat Statistik Maluku Jessica Puppela menjelaskan, sejumlah kota di Maluku mengalami inflasi. Di Kota Ambon, inflasi menyentuh angka 3,56 persen pada Oktober 2023, naik dari angka 3,08 persen pada September 2023. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau.
Selain di Ambon, kenaikan inflasi juga terjadi di Kota Tual. Inflasi Oktober 2023 di Tual menyentuh angka 4,55 persen, naik dari angka 4,26 persen pada bulan sebelumnya. Kontributor tertinggi inflasi di Tual berasal dari kelompok penyediaan makanan dan minuman sebesar 10,25 persen.
”Secara gabungan inflasi tahun ke tahun di dua kota tersebut menyentuh angka 3,62 persen. Untuk Kota Tual menjadi kota keempat tertinggi untuk kenaikan inflasi dari sisi indeks harga konsumen,” ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan hasil analisis Food Security Vulnerability Atlas (FSVA) dari DKP Maluku, terdapat sekitar 54 kecamatan yang dikategorikan rawan pangan. Kategori rawan pangan tidak hanya terkait ketersediaan, tetapi juga aksesibilitas yang membuat pengiriman bahan logistik sulit, baik secara medan ataupun infrastruktur.
Kepala Dinas Pertanian Maluku Ilham Tauda menjelaskan, pihaknya tengah membangun fasilitas pengolahan pascapanen untuk menekan inflasi pangan. Saat ini, Pemprov Maluku sedang membangun fasilitas pascapanen di tiga sentra bawang merah, yakni Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tengah, dan Maluku Barat Daya.
Fasilitas pascapanen itu berfungsi untuk penyimpanan dan pengolahan bawang merah menjadi produk turunan. Dengan begitu, ketergantungan pasokan bawang merah dari daerah lain bisa dikurangi.
Keberadaan fasilitas pascapanen itu diharapkan bisa ikut menurunkan inflasi di sejumlah wilayah lain di Maluku. Hal ini karena bawang merah menjadi salah satu komoditas pemicu inflasi.
”Tahun 2022, produksi bawang merah di Maluku tercatat 759 ton, sementara kebutuhan bawang merah mencapai 4.256 ton. Karena itu, upaya peningkatan produksi bawang merah harus didorong untuk mengurangi pasokan dari luar daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,” tutur Ilham.