Perkuat Mitigasi, Peringatan Dini Bencana di Aceh Disiarkan Melalui Televisi
Sebagai wilayah dengan sejarah bencana besar, Aceh terus berupaya memperkuat mitigasi bencana. Informasi peringatan dini bencana pun bakal disebarkan melalui siaran televisi digital.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sesudah 19 tahun terjadi gempa bumi dan tsunami pada 2004, upaya mitigasi bencana di Aceh terus diperkuat. Penguatan itu, antara lain, dilakukan melalui penyebaran informasi peringatan dini bencana melalui siaran televisi digital.
Program yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh itu diluncurkan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria, Kamis (26/10/2023), di Museum Tsunami, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.
Dalam uji coba program itu, stasiun televisi secara serentak menampilkan informasi peringatan dini bencana agar warga dapat melakukan evakuasi mandiri. Informasi dengan durasi 40 detik itu bersifat lokal dan hanya menjangkau daerah bencana.
Nezar mengatakan, pemanfaatan televisi untuk menyebarkan peringatan dini bencana merupakan sebuah terobosan. Sebab, hingga sekarang, televisi masih menjadi sumber informasi bagi banyak warga.
Namun, Nezar menilai, informasi yang disiarkan itu tidak cukup berisi peringatan dini, tetapi harus disertai petunjuk untuk melakukan evakuasi. Hal ini penting untuk membantu masyarakat melakukan evakuasi mandiri.
Nezar menambahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menjalin kerja sama dengan lembaga penyiaran, operator seluler, dan pihak lain untuk menyampaikan peringatan dini. Selama ini, saat terjadi gempa, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan pengiriman pesan singkat atau SMS secara massal ke telepon seluler warga.
Di sisi lain, Nezar meminta stasiun televisi mengambil peran untuk memperkuat mitigasi bencana. Hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak program edukasi kebencanaan yang ditayangkan di televisi.
”Peningkatan kesiapsiagaan akan mengurangi dampak bencana. Oleh karena itu, peringatan dini sangat penting. Ketidaktahuan akan membuat banyak korban,” kata Nezar.
Nezar menuturkan, gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 menelan banyak korban jiwa karena banyak warga tidak memiliki pengetahuan tentang tsunami. Saat itu, setelah terjadinya gempa bumi, masyarakat tidak menjauh dari laut. Akibatnya, saat gelombang tsunami menerjang, warga tidak memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri.
Oleh karena itu, Nezar mengingatkan, bencana Aceh harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk membangun budaya sadar bencana. ”Indonesia berada di jalur Cincin Api Pasifik sehingga rawan bencana alam. Karena itu, kita harus selalu siap,” ujar Nezar.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, stasiun televisi ikut memiliki tanggung jawab untuk membangun budaya sadar bencana di tengah masyarakat. Melalui pemberitaan di televisi, upaya mitigasi bencana bisa diperkuat untuk mengurangi dampak bencana. ”Lembaga penyiaran juga harus punya empati untuk mengurangi dampak bencana,” katanya.
Ubaidillah menambahkan, program penyampaian informasi bencana melalui televisi digital dimulai dari Aceh. Sebagai daerah yang punya sejarah bencana besar, Aceh diharapkan menjadi daerah percontohan dalam memperkuat mitigasi bencana.
Sepanjang tahun 2022, Aceh dilanda gempa bumi sebanyak 1.138 kali. Sebanyak 783 gempa di antaranya memiliki kekuatan di bawah Magnitudo 3, sebanyak 345 gempa dengan kekuatan antara Magnitudo 3 dan Magnitudo 5, serta 10 gempa memiliki kekuatan di atas Magnitudo 5.
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh Hasan Dibangka mengatakan, Aceh merupakan provinsi rawan bencana. Kondisi tersebut harus disikapi dengan kewaspadaan tinggi. ”Yang harus kita lakukan agar membangun budaya sadar bencana agar dampak bencana dapat ditekan,” ujarnya.
Lembaga penyiaran juga harus punya empati untuk mengurangi dampak bencana.
Hasan menilai, setelah 19 tahun tsunami Aceh pada 2004, upaya mitigasi bencana di provinsi itu mulai melemah. Simulasi penanganan bencana kian jarang dilakukan dan infrastruktur mitigasi bencana juga minim.
”Seharusnya pendidikan kebencanaan diperkuat hingga masuk ke kurikulum sekolah. Belum semua anak mendapatkan pelatihan,” kata Hasan.