Empat Tahun Penurunan Produksi Minyak Sawit Nasional Butuh Segera Dihentikan
Tren penurunan produksi minyak sawit Indonesia dalam empat tahun terakhir harus segera distop. Peremajaan sawit rakyat, penggunaan bibit unggul, dan serangga penyerbuk yang lebih baik harus didorong.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Tren penurunan produksi minyak sawit Indonesia dalam empat tahun terakhir harus segera distop untuk menyelamatkan industri sawit nasional. Berbagai upaya harus ditingkatkan, seperti peremajaan sawit rakyat, penggunaan bibit unggul, dan serangga penyerbuk yang lebih baik. Peningkatan produksi penting di tengah naiknya konsumsi minyak nabati dalam negeri dan dunia.
”Dengan moratorium pembukaan kebun sawit baru, perusahaan tidak bisa lagi ekspansi. Satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi adalah dengan peningkatan produktivitas sawit yang ada sekarang,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (26/10/2023).
Eddy menyampaikan hal tersebut dalam acara Indonesian Palm Oil Stakeholders (IPOS) Forum 2023 di Medan. Ia menyebut, konsumsi minyak nabati dalam negeri mengalami peningkatan lebih dari 3 juta ton setiap tahun. Pada 2021, konsumsi minyak nabati Indonesia baru 18 juta ton, lalu naik menjadi 21 juta ton pada 2022.
”Pada 2023 ini, kami perkirakan konsumsi minyak nabati dalam negeri sudah mencapai 24 juta ton-25 juta ton. Apalagi, tahun ini ada program B-35 (pencampuran 35 persen biodiesel pada biosolar),” katanya.
Eddy mengingatkan, Indonesia adalah negara dengan produksi minyak sawit terbesar di dunia sekaligus negara dengan konsumsi terbesar. Ekspor minyak sawit mentah (CPO) dunia mencapai 55 juta ton per tahun dan 54 persen atau 27 juta ton di antaranya berasal dari Indonesia. ”Dunia pun akan kesulitan kalau produksi sawit Indonesia berkurang,” katanya.
Peningkatan konsumsi minyak nabati nasional ataupun dunia tidak seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit.
Produksi CPO Indonesia menurun dalam empat tahun ini setelah mencapai puncak pada 2019 sebanyak 51,8 juta ton. Pada 2020, produksi menurun menjadi 47,03 juta ton, lalu berlanjut menjadi 46,88 juta ton pada 2021 dan 46,72 ton pada 2022.
Dunia pun akan kesulitan kalau produksi sawit Indonesia berkurang.
Tahun ini diharapkan penurunan produksi bisa ditahan.
Penyebab utama menurunnya produksi sawit Indonesia, katanya, adalah tanaman sawit rakyat yang sudah menua sehingga produktivitasnya hanya 2,5 ton CPO per hektar per tahun, jauh di bawah potensinya yang bisa mencapai 8 ton. Sementara program peremajaan sawit rakyat (PSR) belum bisa berjalan maksimal.
Pemerintah menargetkan PSR seluas 185.000 hektar per tahun. Namun, realisasinya hanya 25.000-30.000 hektar per tahun atau 16 persen dari target. Kondisi ini membuat produktivitas sawit rakyat setiap tahun menurun.
Eddy menyebut, PSR ini menjadi salah satu prioritas Gapki. Mereka membentuk bidang khusus untuk mendorong percepatan PSR. Program ini dicanangkan pemerintah melalui pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Lembaga itu mendapat dana dari pungutan ekspor CPO dan turunan CPO.
Ia menambahkan, Gapki bersama Kementerian Pertanian dan BPDPKS juga menyiapkan program mendatangkan bibit unggul atau plasma nutfah sawit dari kawasan Afrika dan Amerika Latin. Genetik sawit yang lebih unggul dapat meningkatkan produktivitas sawit secara signifikan.
Selain itu, sedang disiapkan juga jenis serangga penyerbuk bunga sawit untuk meningkatkan rasio bunga menjadi buah. ”Serangga penyerbuk saat ini sudah dari zaman dulu. Pada waktu hujan, mereka tidak mau keluar. Kami harapkan ada serangga penyerbuk baru sehingga sifatnya berubah dan bisa menaikkan produktivitas,” kata Eddy.
Ketua Gapki Sumut Timbas Prasad Ginting menyebut, IPOS Forum menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan industri sawit untuk mendiskusikan peningkatan produksi. Mereka juga menyediakan Klinik Sawit sebagai tempat para petani sawit berkonsultasi mengenai permasalahan budidaya tanaman kelapa sawit.
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia Kacuk Sumarto mengatakan, potensi peningkatan produksi sawit nasional berasal dari program PSR. Apalagi, luas sawit rakyat mencapai 6,4 juta hektar. ”Dengan meningkatkan produksi sawit rakyat dari 2,5 ton CPO per hektar per tahun menjadi 5,5 ton saja, akan ada peningkatan produksi 19 juta ton. Nilainya lebih dari Rp 200 triliun,” katanya.