Gapki Dukung Penyelesaian 3,3 Juta Hektar Lahan Sawit dalam Kawasan Hutan
Gapki mendukung perbaikan tata kelola industri sawit yang dilakukan pemerintah, termasuk pemutihan 3,3 juta hektar lahan sawit di kawasan hutan. Perbaikan tata kelola penting untuk meningkatkan daya saing.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mendukung perbaikan tata kelola industri sawit yang dilakukan pemerintah, termasuk pemutihan atau proses melegalkan 3,3 juta hektar lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Perbaikan tata kelola sangat penting di tengah penurunan produksi dan peremajaan sawit rakyat yang lambat.
”Gapki sama sekali tidak ada kekhawatiran terkait tata kelola industri sawit, termasuk penataan HGU yang masuk kawasan hutan. Persoalan ini harus diselesaikan oleh satuan tugas tata kelola sawit,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono dalam diskusi bertajuk ”HGU Perkebunan Sawit dan Kawasan Hutan”, di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (23/8/2023).
Meski demikian, Eddy menegaskan, pemutihan HGU di kawasan hutan ini bukan berarti perusahaan diampuni pemerintah. Perusahaan sawit mendapat sertifikat HGU dari pemerintah secara legal setelah status lahan bersih dan jelas (clear and clean). Pemberian HGU perkebunan juga didahului pembentukan tim yang terdiri dari semua pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pemerintah daerah.
Pada akhir Juni, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, audit satgas tata kelola industri sawit menemukan 3,3 juta hektar tutupan sawit berada di kawasan hutan. Lahan sawit itu bagian dari 16,8 juta hektar sawit di Indonesia. Sebanyak 10,4 juta hektar di antaranya digunakan perusahaan dan 6,4 juta hektar merupakan perkebunan rakyat (Kompas.id 24/4/2023).
”Perkebunan sawit yang ada di kawasan akan diputihkan. Mau diapakan lagi? Tak mungkin dicabut karena itu terpaksa diputihkan,” ujar Luhut dalam jumpa pers di kantornya, di Jakarta, Jumat (23/6/2023).
Dari 3,3 juta hektar HGU di kawasan hutan, menurut data KLHK (Kompas.id 17/7/2023), hanya 237.000 hektar yang memiliki surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan 913.000 hektar masih proses penetapan SK. Namun, 2,2 juta hektar belum memiliki SK dan belum berproses.
Eddy mengatakan perusahaan-perusahaan sawit telah menindaklanjuti langkah perbaikan tata kelola yang dilakukan pemerintah. Dari 3,3 juta hektar HGU dalam kawasan hutan, 1,8 juta hektar di antaranya adalah tutupan sawit milik perusahaan dan 1,5 juta hektar adalah sawit rakyat.
Pemerintah pun sudah mengambil langkah tindak lanjut perbaikan tata kelola ini dengan meminta perusahaan melaporkan secara mandiri data perusahaan meliputi informasi umum, legalitas dan produk hukum, dan perizinan perusahaan. Pelaporan dilakukan melalui laman resmi Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) pada 3 Juli-2 Agustus 2023 yang kemudian diperpanjang lagi 23 Agustus-8 September.
Sebanyak 1.870 perusahaan dari total lebih dari 2.000 perusahaan perkebunan sudah melaporkan data perusahaan ke Siperibun tersebut. Sebagai bentuk dukungan Gapki, kata Edy, semua perusahaan anggota Gapki sudah melaporkan data perusahaan ke Siperibun.
Eddy menyebut, penyelesaian tumpang tindih HGU dengan kawasan hutan ini akan diselesaikan dengan dua skema, yakni Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Pada skema Pasal 110A disebutkan, perusahaan yang memiliki izin usaha di kawasan perkebunan wajib menyelesaikan persyaratan paling lama 2 November 2023. Perusahaan hanya akan dikenai denda administratif dan atau pencabutan izin berusaha jika melewati batas waktu itu.
Skema penyelesaian kedua adalah Pasal 110B, yakni untuk perusahaan yang tidak punya izin usaha perkebunan di kawasan hutan. Perusahaan ini akan dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif, dan atau paksaan pemerintah. Skema ini juga hanya akan mengizinkan operasional perkebunan maksimal satu daur sejak masa tanam sawit atau tidak dapat melakukan peremajaan.
Pergantian kebijakan tata ruang justru menambah persoalan terutama di industri sawit. ( I Gde Pantja Astawa)
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menjelaskan, pemutihan HGU di kawasan hutan ini juga mempunyai dua sisi. Pemutihan ini juga membuat citra perusahaan sawit nasional seolah-olah selama ini melakukan deforestasi. Padahal, HGU itu adalah sertifikat resmi yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
”Ketika ada kebun sawit di kawasan hutan, perusahaan akan kehilangan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Padahal perusahaan punya HGU resmi sebagaimana salah satu syarat untuk mendapat sertifikat ISPO, yang mendapatkannya juga cukup sulit dan memakan waktu kadang-kadang 5 sampai 10 tahun,” kata Mukti.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran I Gde Pantja Astawa mengatakan, kebijakan tata ruang di Indonesia sering sekali silih berganti dan tidak menyelesaikan masalah. ”Pergantian kebijakan tata ruang justru menambah persoalan terutama di industri sawit,” kata I Gde.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino mengatakan, status lahan perusahaan yang mempunyai HGU seharusnya sudah bersih dan jelas, tidak ada tumpang tindih lagi dengan kawasan hutan.
”Bahasa saya, kawasan hutan yang masuk HGU, bukan HGU yang masuk kawasan hutan,” kata Sadino.
Hal itu, kata Sadino, karena pemberian HGU kepada perusahaan melalui proses yang panjang dan melibatkan semua pemangku kepentingan dari pemerintah. Persoalan ini juga terjadi karena sebagian kawasan hutan masih di tahap proses penunjukan, belum pada tahap penetapan kawasan hutan.