Cegah Kelaparan di Papua Terulang, Lumbung Pangan Mandiri Jadi Solusi
Bencana kelaparan terus terjadi di wilayah Papua. Untuk mencegah bencana itu terulang, pemerintah diminta memberdayakan masyarakat agar bisa membuat lumbung pangan mandiri.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Bencana kelaparan akibat cuaca ekstrem terus terjadi di wilayah Papua. Masyarakat kerap kehabisan persediaan makanan karena sistem pertanian yang rentan terdampak cuaca ekstrem. Untuk mencegah kelaparan berulang, pemerintah diminta memberdayakan masyarakat agar bisa membuat lumbung pangan mandiri.
Kejadian kelaparan terbaru terjadi di Distrik Amuma, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Di wilayah itu, belasan ribu warga di 13 kampung terdampak bencana kelaparan pada Agustus-Oktober 2023.
Bahkan, puluhan orang dilaporkan meninggal akibat kelaparan tersebut. Dalam peristiwa itu, masyarakat kehabisan stok makanan, diduga karena perkebunan mereka diserang hama akibat perubahan cuaca.
”Masyarakat selama ini hanya mengandalkan sumber pangan tanaman ubi. Hanya itu saja yang mereka andalkan yang menjadi sumber pangan mereka secara turun-temurun,” ujar Naman Bayage, koordinator penanganan bencana kelaparan Distrik Amuma, saat dihubungi dari Jayapura, Rabu (25/10/2023).
Berdasarkan catatan Kompas, bencana kelaparan di Papua berkali-kali terjadi. Salah satu yang paling parah terjadi pada tahun 1984 di Jayawijaya. Saat itu, terjadi musibah kelaparan karena tanaman ubi jalar warga terserang hama. Akibatnya, 231 warga meninggal.
Sementara itu, pada Agustus 2023, tiga warga di Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, juga dilaporkan meninggal. Musibah kekeringan terjadi karena cuaca dingin ekstrem menciptakan embun air yang membeku atau biasa disebut frost. Fenomena alam tersebut merusak tanaman umbi-umbian dan sayur milik warga.
Pakar pertanian dari Universitas Papua, Agus Sumule, mengatakan, cuaca ekstrem sangat memengaruhi ketahanan pangan masyarakat Papua, khususnya mereka yang tinggal di dataran tinggi. Sebab, sejak dulu masyarakat hanya mengandalkan sistem pertanian dengan menanam ubi jalar.
Di sisi lain, akibat perubahan iklim, wilayah dataran tinggi di Papua semakin rentan terdampak cuaca ekstrem, termasuk frost. Fenomena itu terjadi saat cuaca sangat panas pada siang hari dan suhu rendah atau dingin di malam hari. Hal itu membuat tanaman seperti ubi jalar lebih mudah menjadi kering hingga membusuk.
”Perubahan iklim global yang semakin parah membuat fenomena seperti frost semakin sering terjadi. Dulu terjadi juga, tetapi sekarang semakin sering terjadi dan semakin luas. Di sisi lain, masyarakat belum siap,” kata Agus.
Hal serupa diungkapkan antropolog Universitas Cenderawasih, Hanro Lekitoo. Menurut dia, selama ini masyarakat di wilayah Papua, khususnya yang hidup di dataran tinggi, menjalankan sistem pertanian sesuai dengan pengetahuan lokalnya.
Hanro menyebut, masyarakat Papua sebenarnya telah memiliki tradisi untuk mengembangkan lumbung pangan mandiri. Hal itu dilakukan dengan menanam ubi jalar di sejumlah lahan dengan waktu tanam yang berbeda. ”Dengan begini, mereka berharap bisa memanen pada sejumlah periode waktu berbeda,” ucapnya.
Namun, kebiasaan turun-temurun ini tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan iklim yang terus terjadi. Fenomena embun beku, misalnya, akan mudah merusak semua tanaman yang menjadi lumbung pangan masyarakat.
Perubahan iklim global yang semakin parah membuat fenomena seperti frost semakin sering terjadi.
Pangan lokal
Hanro berharap, ada intervensi dari pemerintah untuk mencegah berulangnya kelaparan di Papua. Pemerintah diharapkan tidak hanya memberikan bantuan pangan saat kelaparan terjadi, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk mandiri menciptakan lumbung pangan dengan tanaman lokal yang dimiliki.
”Dengan demikian, masyarakat tidak terpaku hanya menanti bantuan dari pemerintah yang terkadang juga lama datangnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Agus berpendapat, pemerintah perlu menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak untuk melakukan rekayasa genetika untuk menghadirkan umbi-umbian yang lebih tahan cuaca ekstrem.
”Misalnya bekerja sama secara langsung dengan pusat penelitian umbi-umbian Peru, yakni CIP (Centro Internacional de la Papa). Atau bisa melalui perguruan tinggi di Papua, transfer ilmu tentang teknologi pertanian atau jenis umbi-umbian lain yang lebih tahan dengan perubahan iklim,” ucapnya.
Agus menambahkan, pemerintah juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menyiapkan lumbung pangan dari sumber tanaman lokal. ”Ada sejumlah pangan lokal yang bisa diberdayakan dan lebih tahan pada cuaca ekstrem, seperti talas dan kelapa hutan yang banyak ditemui di dataran tinggi Papua. Tinggal pemerintah memfasilitasi transfer ilmu itu sehingga masyarakat bisa mandiri,” tuturnya.
Sekretaris Daerah Papua Pegunungan Sumule Tumbo mengatakan, setelah adanya kejadian bencana kelaparan yang berulang, pemerintah setempat telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak untuk menyiapkan lumbung pangan. Menurut rencana, lumbung pangan itu akan dibangun di sejumlah lokasi strategis di wilayah rawan bencana kelaparan.
Selain itu, Pemprov Papua Pegunungan juga mencari masukan dari berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, terkait pemanfaatan pangan lokal berkelanjutan. ”Beberapa waktu lalu ada penawaran teknologi mesin dari salah satu perguruan tinggi. Mesin itu bisa mengubah sagu, keladi, dan ubi menjadi beras ubi atau beras sagu. Wilayah kami punya potensi itu sehingga ke depan diharapkan tidak ada lagi kendala kekurangan pangan saat bencana,” ujarnya.
Terkait kejadian bencana kelaparan di Yahukimo, Kementerian Sosial terus menyalurkan berbagai bantuan kebutuhan pokok pada masyarakat sejak Jumat (20/10/2023). Bantuan yang disalurkan itu berupa makanan, pakaian, tenda, hingga kebutuhan anak-anak dan bayi.