Cetak Sawah di Mentawai yang Gagal dan Berulang
Memaksa Mentawai beralih ke beras hanya akan merusak kemandirian pangan mereka.
Cetak sawah telah dilakukan berulang di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Tanaman sagu dan pohon-pohon besar lainnya telah ditebangi, selera pangan masyarakat juga telah bergeser ke beras, tetapi tanaman padi tidak bisa dipanen.
Mateus Saleleubaja (47), warga Dusun Rogdok, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, masih ingat ketika ia bersama puluhan warga lainnya diminta membuka lahan persawahan sepuluh tahun lalu. ”Ada sekitar 30 hektar lahan dijadikan sawah. Rata-rata satu orang menggarap satu hektar. Semuanya gagal, tidak ada yang panen sama sekali,” kata Mateus, yang ditemui Kamis (28/9/2023).
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai mencanangkan cetak sawah baru seluas 1.000 hektar selama periode 2011-2016 di kepulauan ini, termasuk di Pulau Siberut. Pemerintah memberikan sejumlah bantuan dan pendampingan kepada warga untuk menyukseskan program ini.
Menurut Mateus, waktu itu ia dan warga lain di Rogdok mendapat bantuan bibit padi, parang, cangkul, dan uang operasional bensin untuk membersihkan lahan dari pepohonan. Selain itu, pegawai dinas pertanian juga memberikan pendampingan.
Akan tetapi, sawah yang dibuka di Rogdok gagal total. Warga pun meninggalkan lahan itu. Sekarang lahan bekas sawah sudah beralih menjadi areal perladangan. ”Sekarang lahan ditanami pisang medan,” katanya.
Cerita senada soal program cetak sawah diungkapkan Benediktus Sakaliau (38), warga Dusun Toktuk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Rabu (27/9/2023). Ia satu dari total 25 warga yang ikut membuka lahan sawah baru di Dusun Puro II, Desa Muntei, tahun 2012-2013.
Menurut Benediktus, lahan yang dijadikan sawah adalah rawa gambut ladang sagu. Setiap warga membuka dan mengelola 1 hektar lahan sawah baru. Warga diberi sejumlah bantuan, antara lain biaya pembukaan lahan, bibit, dan pestisida, serta pendampingan dari dinas pertanian.
Sebagian besar lahan persawahan tersebut tidak digarap dan dibiarkan bersemak.
Program cetak sawah baru yang diikuti Benediktus juga berujung kegagalan. Penjelasan dari dinas pertanian, kata Benediktus, tanahnya terlalu asam. Banyak hama wereng dan tidak mempan terhadap pestisida.
”Cuma dua kali tanam. Pada masa tanam pertama, ada sebagian yang dapat beberapa karung. Untuk yang kedua, gagal semua, isinya kosong. Sekarang sudah ditanami pisang,” kata pria yang sekarang menjabat Kepala Dusun Toktuk ini, dusun yang mekar dari Dusun Puro II sejak 2013.
Dua kisah tersebut hanya segelintir dari cerita kegagalan program cetak sawah di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Selama puluhan tahun warga diarahkan, bahkan dipaksa untuk bersawah, sejalan dengan dorongan agar warga meninggalkan pangan lokal sagu, keladi, dan pisang.
Sejarah lisan dan dokumentasi ilmiah telah menunjukkan, upaya cetak sawah telah berulang kali dilakukan di Pulau Siberut dan kebanyakan menuai kegagalan. Misalnya, laporan Darmanto, peneliti Mentawai yang menjadi Research Fellow at the Oriental Institute, Czech Academy of Sciences, dalam papernya di Journal of Southeast Asian Studies (2023) mengungkapkan, upaya cetak sawah di Siberut sudah dilakukan sejak tahun 1911-an oleh Belanda.
Baca juga: Warisan Kolonial di Balik Peminggiran Budaya Pangan Lokal
Vakum bersawah
Johanes Simalinggai (54), salah seorang petani di areal persawahan itu, mengatakan, ada dua hamparan areal persawahan di Dusun Puro. Satu hamparan seluas 8 hektar, hamparan lainnya seluas 4 hektar. Total ada 20 petani yang menggarap areal persawahan itu, termasuk dirinya.
Akan tetapi, hanya satu petani yang menggarap sawah tersebut tahun 2023. Para petani lain vakum bersawah sementara waktu karena fokus mencari uang untuk biaya sekolah atau kuliah anak dengan berladang atau pekerjaan lainnya.
Johanes juga ikut vakum menggarap sawah, sebab sebagian besar petani lainnya berhenti. ”Kalau 1-2 orang saja bersawah, tidak dapat hasilnya. Habis diserang hama,” kata pria yang keluarganya lebih banyak mengonsumsi nasi dibanding sagu ini, Kamis (28/9/2023).
Menurut Johanes, sebelumnya, ia bisa menanam padi dua kali setahun karena sawahnya selalu berair. Rata-rata ia bisa mendapat 500 kg gabah kering sekali panen di sawah seluas 1 hektar yang digarapnya.
”Hasil itu masih sedikit sebenarnya. Padi dihantam hama. Seperempat buah padi habis oleh burung. Apalagi burung gereja, keras kepala, susah diusir. Tapi tahun lalu, saya dapat 1,5 ton. Saya coba pakai pupuk, lebih banyak hasilnya. Petani lain tidak pakai pupuk,” katanya.
Terdapat beberapa petak sawah yang ditanam. Sementara itu, sebagian besar lahan persawahan tersebut tidak digarap dan dibiarkan bersemak. Beberapa petak sawah yang ditanami itu tampak tidak subur. Sebagian padi yang masih pada masa vegetatif itu tidak tumbuh sama tinggi. Di bagian tengah petak sawah, padi tumbuh lebih pendek dan menguning.
Kendala bersawah
”Selama dua kali menanam, hasilnya impas saja. Luas sawah waktu itu 0,5 hektar. Sekali panen 500 kg gabah kering, untuk makan saja tidak cukup. Sekarang saya berladang pisang dan kelapa,” kata Frengky.
Menurut Frengky, sawahnya tidak begitu berhasil karena berada di kawasan rawa pada bagian pinggir. Adapun sawah yang saat ini masih aktif kondisi tanahnya lebih bagus. Sawah yang sempat digarap Frengky digarap petani lain, tetapi kemudian tetap terbengkalai dan sudah menjadi semak belukar.
Ia mengaku tidak begitu cocok dengan pertanian padi. Sebab, bersawah lebih repot, tidak bisa ditinggal, dan menyita waktu. Akibatnya, selama menjaga sawah dari awal tanam hingga panen, ia tidak bisa ke ladang, apalagi lokasi ladang berjauhan dengan sawah.
”Dari segi uang yang didapat, sama saja dengan berladang. Namun, pekerjaan ladang lebih ringan. Sawah ini harus bersabar kita, kalau tidak, habis, tidak ada hasilnya,” ujar ayah tiga anak ini.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Mentawai Hatisama Hura, Jumat (13/10/2023), mengatakan, selama periode 2011-2016 memang ada program cetak sawah di Mentawai. Walakin, waktu itu ia belum menjabat ataupun menjadi pegawai di dinas tersebut.
Menurut informasi yang Hatisama dapatkan, capaian program cetak sawah 1.000 hektar pada periode 2011-2016 tersebut hanya 300-400 hektar sawah. ”Kebanyakan (sawah yang dibuka itu) tidak berlanjut,” kata Hatisama.
Namun, Hatisama masih meyakini bahwa tanah dan alam Mentawai cocok untuk ditanam padi. Hal itu harus didukung sarana-prasarana irigasi supaya berkelanjutan. Selama ini, sawah hanya mengandalkan sistem tadah hujan dengan indeks pertanaman satu kali setahun.
”Kalau dikelola betul-betul itu, (sawah di Mentawai) sudah menghasilkan sekitar 1.000 ton, tapi itulah karena juga masalah komitmen petani kita, keseriusan mereka (kurang),” katanya.
Memaksa Mentawai beralih ke beras, hanya akan merusak kemandirian pangan mereka.
Hatisama melanjutkan, sejak 2017, dinas tidak lagi mengadakan program cetak sawah. Anggaran program cetak sawah berasal dari dana alokasi khusus (DAK). Mentawai harus menyiapkan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LD2B) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009.
Untuk selanjutnya, kata Hatisama, dinas akan mengadakan program cetak sawah jika ada usulan dari masyarakat. Hal ini berkaca dengan pengalaman cetak sawah pada masa lampau yang tidak berkelanjutan.
Ketua Tani Center IPB, yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas IPB, Hermanu Triwidodo, mengatakan, upaya cetak sawah di pulau-pulau kecil yang masih memiliki pangan lokal seharusnya tidak dilanjutkan. ”Pengembangan pangan di pulau-pulau kecil harus diarahkan pada kemandirian, sesuai ketersediaan pangan lokal. Kalau mereka punya pangan lokal, seperti Mentawai yang punya sagu, jangan dipaksa berubah mencetak sawah yang butuh banyak input pertanian,” katanya.
Data menunjukkan, Mentawai masih defisit beras dan terpukul akibat kenaikan harga beras saat ini. Padahal, mereka punya banyak sagu dan keladi, yang bisa tumbuh baik di kepulauan ini. Memaksa Mentawai beralih ke beras, hanya akan merusak kemandirian pangan mereka.
Liputan dengan tema pangan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center.
Baca juga: Darurat Kemandirian Pangan