Polda Kalteng Tarik 200 Personel dari Lokasi Tragedi Seruyan
Setelah kerusuhan pada 7 Oktober 2023, Polda Kalteng menarik 200 personel polisi yang berjaga di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan. Namun, masih ada setidaknya 220 personel yang berjaga di lokasi tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Setelah kerusuhan yang menewaskan seorang warga beberapa waktu lalu, kondisi Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, mulai kondusif. Kepolisian Daerah Kalteng pun menarik 200 personel pasukan Brimob yang berjaga di desa itu. Namun, masih ada sekitar 220 aparat kepolisian yang berjaga di sana.
Hal itu dijelaskan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji di Palangkaraya, Rabu (18/10/2023). Menurut Erlan, situasi di Bangkal berangsur kondusif setelah kerusuhan pada 7 Oktober lalu.
Kerusuhan itu terjadi saat warga menggelar aksi untuk menuntut PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) segera menyediakan kebun plasma kelapa sawit untuk masyarakat. Aksi itu lalu berujung bentrok dengan aparat hingga menewaskan seorang warga Desa Bangkal, Gijik (35).
Erlan menyebut, selain karena situasi yang berangsur kondusif, penarikan personel itu dilakukan karena Polda Kalteng sedang menyiapkan Operasi Mantap Brata untuk pengamanan Pemilu 2024. Total personel yang dibutuhkan untuk operasi itu sebanyak 1.988 orang.
”Iya kami tarik dari Bangkal sebagian yang jaga karena untuk melaksanakan Operasi Mantap Brata untuk pengamanan pemilu,” kata Erlan.
Erlan menjelaskan, pengiriman personel polisi ke PT HMBP merupakan permintaan perusahaan karena situasi yang terus tidak kondusif akibat aksi yang digelar masyarakat sejak 16 September 2023.
Personel dikirim bertahap ke lokasi, dari awalnya sekitar 150 personel lalu meningkat hingga total mencapai 440 personel gabungan. Pihak TNI juga mengirim personel ke lokasi.
Erlan menambahkan, pengamanan di lokasi tersebut tidak hanya untuk melindungi pihak perusahaan, tetapi juga mengamankan para pekerja kebun sawit yang tinggal di dalam perkebunan serta warga lain yang tidak ikut unjuk rasa.
”Bahkan, ada keluarga yang lari ke hutan karena takut ada penjarahan dan pembakaran seperti yang terjadi sebelumnya. Ini juga yang akan kami usut,” tutur Erlan.
Perwakilan Solidaritas untuk Bangkal, Janang P Firman, menyatakan, Polda Kalteng seharusnya menarik seluruh personel dari Desa Bangkal. Sebab, dia menilai, kerusuhan yang terjadi selama ini dipicu oleh tindakan represif aparat keamanan.
”Intensitas konflik selalu rawan terjadi jika kepolisian masih ada di sana, apalagi dengan adanya warga yang tewas ditembak kemarin. Justru kehadiran polisi membuat warga cemas,” ungkap Janang yang juga merupakan Manajer Advokasi dan Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng.
Janang menjelaskan, aksi unjuk rasa di Desa Bangkal merupakan inisiatif warga setempat. Dia menambahkan, penolakan warga terhadap perusahaan sudah terjadi sejak 17 tahun lalu atau pada 2006.
Dalam aksi-aksi sebelumnya, Janang menyebut, masyarakat tidak pernah berbuat anarkistis. Namun, masyarakat menjadi marah lantaran ada warga yang ditangkap serta adanya tembakan gas air mata dan peluru karet dari aparat.
Tragedi yang terjadi pada 7 Oktober 2023 itu merupakan puncak kemarahan warga karena tewasnya salah satu peserta aksi. ”Desakan kami itu meminta aparat menarik semua pasukannya, bukan setengah saja,” ungkap Janang.
Cabut izin
Piter (59), warga Desa Bangkal yang merupakan peserta aksi, mengungkapkan, tuntutan warga saat ini tidak lagi kebun plasma, tetapi pencabutan izin perusahaan. Sebab, kehadiran perusahaan dinilai tidak membawa dampak baik kepada masyarakat. Bahkan, seorang warga akhirnya tewas karena konflik yang terjadi.
”Setelah Gubernur Kalteng datang ke desa beberapa waktu lalu itu, ia ingin perusahaan dievaluasi dan bisa diberi sanksi hingga pencabutan. Nah, kami mendukung itu. Kami juga mau izin dicabut, tanah dikembalikan ke masyarakat,” kata Piter yang merupakan paman dari Gijik, korban tewas pada kerusuhan 7 Oktober lalu.
Maselin (45), warga Desa Bangkal lainnya, mengungkapkan, perjuangan masyarakat itu berkait dengan tanah yang diwariskan oleh para leluhur. ”Mereka yang punya kebun, tetapi itu sementara. Adapun tanahnya, itu punya leluhur kami,” katanya.
Desakan kami itu meminta aparat menarik semua pasukannya, bukan setengah saja.