Sama-sama Jadi Arang Dibakar Konflik di Kebun Sawit Seruyan
Nyawa melayang dan ada yang terluka akibat konflik di kebun sawit Seruyan, Kalteng. Investasi jauh dari yang diharapkan.
Wajah Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, mendadak muram dalam beberapa hari terakhir. Ada 1.046 keluarga tinggal di sana, tapi cuma sepi yang terasa, setidaknya hingga Selasa (17/10/2023).
Hilir mudik warga menggunakan sepeda motor tampak saat malam menjelang. Orang-orang yang tidak dikenal disambut curiga saat masuk desa. Tragedi di perkebunan sawit yang tidak kunjung usai kembali jadi penyebabnya.
Konflik terakhir terjadi pada Sabtu (7/10/2023). Gijik (35), warga setempat, tewas. Peluru tajam diduga menembus tubuhnya.
Dua warga lain, Taufik Nur Rahman (23) dan Ambaryanto (54), juga tertembak sehingga harus dirawat intensif. Saat kejadian, aparat menangkap 20 warga.
Gijik, Taufik, dan Ambaryanto adalah sebagian dari ratusan peserta yang kembali berdemonstrasi menuntut hak plasma kebun sawit dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Kerusuhan itu terkait tuntutan warga agar perusahaan memberikan kebun plasma sebesar 20 persen dengan luas 1.175 hektar.
Tahun ini, sudah 17 tahun janji itu tidak dipenuhi. Perjalanan itu jelas panjang dan melelahkan.
Instruksi tembakan
Lelah itu terekam Madi (47), warga Bangkal. Sudah beberapa hari dia tidak bisa istirahat dengan tenang.
Saat kejadian itu, sejumlah pengunjuk rasa membawa mandau, senjata tradisional khas Dayak. Madi yang sedang melewati daerah itu pun ikut menonton aksi. Tiba-tiba, dia diciduk polisi. Madi ditahan semalam di Kepolisian Resor Kotawaringin Timur di Sampit. Sampai hari ini, Madi tidak mengetahui alasan dirinya ditangkap ketika itu.
Dalam aksi berdarah itu, polisi dari Kepolisian Daerah Kalteng datang mengamankan situasi. Sebanyak 440 polisi yang terdiri dari Brimob dan Sabhara diterjunkan untuk mengamankan lokasi. Mereka dilengkapi dengan senjata laras panjang.
”Saat menonton itu polisi sempat bilang, ’Pulang!’ Ya, saya pulang. Eh, pas mau pulang malah disuruh naik ke mobil. Bawa senjata juga enggak, paling sandal saja di kaki sama pakaian di badan,” ujar buruh serabutan dengan upah Rp 80.000-Rp 90.000 per hari itu.
Maselin (45), warga Bangkal lainnya, juga dikejar trauma. Suara tembakan peluru, gas air mata, hingga kata-kata provokatif dari arah barisan aparat Polda Kalteng enggan pergi dari otaknya.
Baca juga : Tragedi Seruyan Dinilai sebagai ”Extrajudicial Killing”
”Tembak... tembak... tembak...,” begitu bunyi dari pengeras suara yang didengar oleh Maselin. Suara itu terekam jelas di memorinya sampai saat ini. Pada saat kejadian, ia sedang membawa nasi dan lauk-pauk untuk peserta aksi.
Meski begitu, Maselin mengatakan, beruntung masih bisa lari saat suasana mencekam itu datang.
Setelah meletakkan nasi dan lauk-pauk untuk makan siang peserta aksi, dia menyelamatkan diri. Langkahnya cepat meninggalkan barisan aparat yang semula berjarak 50 meter dengannya.
Sumaryanto (38), warga lain, juga tunggang langgang saat mendengar suara tembakan. Seperti Maselin, fisiknya tak terluka. Namun, tidak dengan dua orang di depannya.
”Hanya beberapa detik saja, saya dengar suara tembakan. Gijik dan Taufik roboh,” kata Sumaryanto.
Meski ketakutan, solidaritas antarwarga menghentikan langkah Sumaryanto untuk pergi lebih jauh. Dia bersama Piter (59), paman Gijik, mengangkat tubuh korban menjauh dari huru-hara. Tidak jelas dari mana peluru itu bersarang di tubuh Gijik.
Namun, nyawa Gijik melayang. Ada dua lubang di badannya. Tidak ada peluru yang tertinggal di tubuh Gijik.
Saat mengenang keponakannya, Piter tidak kuasa menahan tangis. Di matanya, Gijik adalah orang baik.
Bujangan pekerja kebun sawit itu menggunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidup orangtua. Gijik juga rela membayar uang sekolah beberapa keponakannya.
Baca juga : Ironi Nyawa Melayang di Bara Kebun Sawit Seruyan
Bertemu Presiden
Kepala Polda Kalteng Inspektur Jenderal Nanang Avianto meminta maaf atas kejadian ini. Dia menyebut, investigasi di lapangan dilakukan untuk mengungkap tragedi ini. Dalam kesempatan yang sama, ia menyinggung perihal investasi yang harus melibatkan warga. Artinya, setiap investasi yang dilakukan haruslah menyejahterakan warga setempat.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengatakan, dirinya sedang di Jakarta. Dia mengklaim berupaya berjumpa Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membahas persoalan Seruyan.
”Harapannya, pemerintah pusat bisa evaluasi perizinan perusahaan perkebunan dan pemegang izin lain, seperti hutan tanaman industri dan pertambangan di Kalteng, khususnya di Seruyan,” katanya.
Sugianto menuturkan, dirinya berupaya agar perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng menjalankan kewajiban pemberian kebun plasma bagi masyarakat. Dia juga berharap masyarakat ikut menjaga keamanan.
”Inti dari menyampaikan aspirasi adalah menyuarakan keinginan, bukan mempertontonkan senjata-senjata khas Dayak yang sakral. Mari kita tempatkan waktu dan momen yang relevan untuk menampilkan senjata tradisional,” ujar Sugianto.
Yang penting jalan dulu, keluar dari sini. Bahaya kalau di sini terus, ini kayaknya bakal rusuh terus.
Ingin pergi
Akan tetapi, jaminan keamanan dari para pejabat sepertinya belum sepenuhnya mampu menenangkan. Tidak hanya warga, tetapi para pekerja sawit di HMBP juga khawatir.
Paulus Molo (37), misalnya, hanya ingin keluar dari lokasi kebun. ”Saat kejadian, kami sempat evakuasi ibu-ibu pekerja di sini, dan banyak lagi. Ada yang mengungsi ke masjid, ada yang langsung pindah tempat kerja,” kata Paulus.
Saiful (40), buruh sawit HMBP lainnya, juga mengemas barangnya di sebuah masjid di Kilometer 69 Seruyan Raya. Ia menghubungi kerabatnya di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, dan meminta bantuan untuk diterima bekerja di perusahaan kebun di sana.
”Yang penting jalan dulu, keluar dari sini. Bahaya kalau di sini terus, ini kayaknya bakal rusuh terus,” kata Saiful.
Buah dari bara konflik tidak akan pernah menciptakan kenyamanan. Api rawan membesar menghancurkan apa saja, termasuk nyawa. Semua rentan sama-sama jadi arang.