Tragedi Seruyan Dinilai sebagai ”Extrajudicial Killing”
Tragedi Seruyan dinilai sebagai pembunuhan di luar hukum. Selain itu, banyak pihak juga menilai terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
KUALA PEMBUANG, KOMPAS – Tragedi di Seruyan yang menewaskan salah satu anggota komunitas adat Desa Bangkal dinilai sebagai pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) dan pelanggaran HAM berat. Banyak hak warga dilanggar dalam peristiwa tersebut. Kini, empat warga kembali dipanggil untuk diperiksa polisi.
Tragedi Seruyan terjadi saat ribuan warga Desa Bangkal melakukan unjuk rasa menuntut hak masyarakat pada sebuah perusahaan perkebunan sawit. Unjuk rasa yang berlangsung selama 23 hari itu berujung pada tewasnya Gijik (35) karena ditembak, lalu Taufik Nurahman (21) yang masih dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin karena ditembak, dan Ambaryanto (54) yang ditembak dengan peluru karet beberapa kali di tubuhnya (Kompas, 13/10/2023).
Salah satu saksi mata kejadian, MH (36), baru saja menerima surat panggilan dari aparat kepolisian atas kasus menghalangi petugas menjalankan tugas dan soal senjata tajam. Ia nanti akan didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya dalam proses tersebut. Ia kebingungan, tetapi tetap akan menghadiri panggilan tersebut.
MH merupakan saksi yang melihat kebrutalan aparat kepolisian. Menurut dia, kerusuhan dimulai karena polisi ingin membubarkan massa yang sedang berunjuk rasa. Saat itu, MH sedang mengantarkan makanan kepada peserta aksi. Saat itu, ia mendengar polisi minta semua ibu-ibu dan anak-anak kecil untuk pulang, tetapi setelahnya polisi langsung melemparkan gas air mata diikuti suara tembakan. ”Sudah enggak kehitung lagi berapa banyak itu suara tembakan,” kata MH, Minggu (15/10/2023).
Selain MH, ada tiga orang lain yang dipanggil aparat, yakni CG (27), SI (40), dan BA (30). Hal itu dikonfirmasi oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji. Erlan menegaskan, ada empat orang yang dipanggil menjadi saksi dalam peristiwa di Desa Bangkal pada kejadian 7 Oktober 2023 itu.
Sederhananya, (korban) dibunuh tanpa dasar.
Erlan menambahkan, tak hanya warga, pihaknya juga memeriksa setidaknya 45 anggota kepolisian yang bertugas saat kejadian. Mereka diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi. Namun, belum dipastikan ada tidaknya pelanggaran sebab pihaknya masih dalam proses pendalaman.
”Saksi masyarakat di lapangan (juga masih diperiksa) dan masih banyak lagi yang belum diperiksa dari mulai pengamanan sampai yang lainnya,” ujarnya.
Sebelumnya, polisi menangkap 20 warga saat peristiwa penembakan pada 7 Oktober 2023. Mereka kemudian dilepas pada 8 Oktober 2023 yang dijamin oleh Gubernur Kalteng Sugianto Sabran. Meski dilepas, ujar Erlan, proses hukum masih berlanjut.
Melihat hal itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana dalam jumpa media di Jakarta mengungkapkan, tragedi Seruyan itu merupakan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing). Tewasnya Gijik dalam unjuk rasa menandakan hak hidup yang dirampas.
”Sederhananya, (korban) dibunuh tanpa dasar,” ujar Arif.
Ia menjelaskan, dalam tragedi itu juga kuat indikasi pelanggaran HAM berat, apalagi dalam peristiwa itu terjadi serangan dan banyak indikator lain. Ia juga melihat, cara aparat membubarkan peserta aksi merupakan bentuk represif dan brutal.
”Represi dan brutalitas aparat terhadap hak berkumpul secara damai dalam mengemukakan pendapat, ada lagi pelanggaran terhadap hak proses hukum secara adil, warga digeledah, disita kendaraannya, dan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat, bahkan perempuan dan anak,” ungkap Arif.
Tanah leluhur
Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto mengungkapkan, upaya mendapatkan kebun plasma merupakan cara mereka untuk mendapatkan tanah leluhur mereka kembali yang sebelumnya diambil paksa perusahaan perkebunan sawit. Namun, selama ini yang keluar ke media hanya permintaan kebun plasma 20 persen.
”Plasma hanya cara untuk mendapatkan kembali apa yang sudah dirampas perusahaan. Ini terjadi akibat informasi yang sangat terbatas dari pemerintah saat memberikan izin ke perusahaan,” ucapnya.
Ferdi menambahkan, jauh sebelum perusahaan perkebunan itu hadir, masyarakat masih leluasa mengelola hutan mereka atau ruang hidup mereka. Konflik datang sejak perusahaan datang ke desa itu.