Atasi Kekurangan Dokter, Lulusan dari Papua Perlu Diperbanyak
Lulusan dokter dari Papua dinilai perlu diperbanyak untuk mengatasi problem kekurangan dokter selama ini. Dokter asal Papua dianggap lebih bisa memetakan masalah dan mengabdi di wilayahnya.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Permasalahan yang kompleks di lapangan dinilai memengaruhi kurangnya minat dokter untuk mengabdikan diri di wilayah Papua. Pemberdayaan tenaga dokter asal Papua dianggap bisa menjadi solusi mengatasi kekurangan dokter. Warga setempat dianggap lebih bisa mengabdi untuk daerahnya.
”Masalah kekurangan jumlah dokter memang kompleks. IDI (Ikatan Dokter Indonesia) bisa membantu dengan mengadvokasi serta mendorong berbagai pihak saling bersinergi,” kata Ketua Umum IDI Moh Adib Khumaidi saat acara IDI Goes to Campus di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, Senin (16/10/2023).
Menurut dia, IDI juga bisa turut memberikan pendampingan ke perguruan tinggi serta mendorong anak mendapatkan beasiswa untuk mencetak dokter asli Papua lebih banyak lagi.
Adib mengatakan, berbagai stigma yang ada di Papua memengaruhi serta menjadi pertimbangan dokter sehingga mereka enggan bekerja di wilayah Papua. Dia berharap, perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran bisa dimaksimalkan untuk mencetak dokter yang mau mengabdi untuk Papua.
Dua perguruan tinggi di Papua yang menyelenggarakan fakultas kedokteran di wilayah Papua adalah Universitas Cenderawasih di Jayapura serta Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat.
”Tidak bisa hanya mengandalkan dokter dari luar Papua, pemberdayaan putra daerah perlu didorong, apalagi mereka tahu kondisi serta bisa memetakan masalah yang ada di daerah,” kata Adib.
Hal serupa diungkapkan akademisi sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Trajanus Laurens Jembise. Menurut Trajanus, faktor geografi yang luas membuat problem persebaran dokter melingkupi Papua.
Tidak bisa hanya mengandalkan dokter dari luar Papua, pemberdayaan putra daerah perlu didorong, apalagi mereka tahu kondisi serta bisa memetakan masalah yang ada di daerah.
Dia menyebut, saat ini dokter di Papua hanya berjumlah sekitar 900 orang. Mereka tersebar di enam provinsi. Padahal, menurut dia, dengan jumlah penduduk yang mencapai 5,4 juta jiwa, idealnya wilayah Papua memiliki sekitar 3.400 dokter.
Persebaran semakin tidak merata karena dokter hanya akan mengabdi untuk wilayah tertentu. ”Hal ini berkaitan dengan kesejahteraan dan keamanan dokter. Para tenaga medis dan kesehatan pasti akan cenderung memilih mengabdi di daerah yang bisa memastikan itu,” ujarnya.
Minimnya jumlah dokter itu diperparah dengan masalah kesejahteraan dan keamanan. Pada Agustus 2023, misalnya, sebanyak 98 dokter memperjuangkan tunjangan tambahan penghasilan pegawai yang dikurangi hingga 72 persen. Tunggakan serupa dialami tenaga-kesehatan lain di daerah pelosok Papua.
Selain itu, dari segi keamanan, IDI Papua mencatat, selama 2019-2023 ada empat dokter yang menjadi korban kekerasan, tiga di antaranya meninggal. Belum lagi sejumlah ancaman lain, seperti perusakan fasilitas kesehatan yang marak dilakukan kelompok kriminal bersenjata di pedalaman Papua.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Roby Kayame mengatakan, permasalahan yang dialami dokter harus diselesaikan bersama. Selama ini, negara melalui TNI-Polri terus berupaya menciptakan keamanan di berbagai wilayah yang menjadi daerah konflik di Papua.
Selama 2019-2023 ada empat dokter yang menjadi korban kekerasan, tiga di antaranya meninggal.
Roby sepakat bahwa sivitas akademika, khususnya Universitas Cenderawasih, mengupayakan percepatan pencetakan dokter, khususnya dokter spesialis.
Apalagi dengan bakal hadirnya rumah sakit di lingkup Universitas Cenderawasih. menurut Roby, hal itu bisa menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dokter di Papua.
”Universitas harus mengupayakan, pemerintah mendorong penambahan fasilitas pelayanan kesehatan. Ini harus dijalankan bersamaan, tidak boleh saling tunggu sehingga nanti akan saling bertemu,” ujarnya.