Masih banyak tenaga kesehatan di penjuru Indonesia mengabdi tanpa pamrih dan tanpa batas. Penghargaan khusus pun diberikan oleh Kementerian Kesehatan atas pengabdian tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 258 tenaga kesehatan dari seluruh wilayah Indonesia berkumpul di Jakarta, Selasa (15/8/2023). Mereka menerima penghargaan khusus dari Menteri Kesehatan atas pengabdiannya yang melintasi batas.
Salah satunya adalah Sri Haryanti (51), dokter di pedalaman Papua. Ia mendapatkan penghargaan pada kategori sumber daya manusia kesehatan nonpemerintah. Sri Haryanti atau lebih akrab dipanggil dokter Ati merupakan lulusan Program Studi Magister Kedokteran Kerja di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia telah lebih dari sepuluh tahun mengabdi sebagai dokter di pedalaman Papua. Ia tidak melayani kesehatan pegawai atau karyawan di tempat kerja, seperti gelarnya. Namun, ia melayani masyarakat di pedalaman Papua, mulai dari penderita HIV, malaria, gizi buruk, bahkan membantu persalinan.
Dokter Ati pertama kali menginjakkan Tanah Papua pada 1997 ketika terjadi bencana kelaparan di Jayawijaya. Saat itu, ia hanya sebentar membantu pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang terdampak.
Barulah pada 2013, ia kembali ke Papua untuk memberi pelayanan penuh bagi masyarakat. ”Pada 2013 itu saya mulai ikuti dorongan hati saya untuk datang kembali ke Papua. Sebab, saya lihat, tidak ada dokter yang mau melayani di pedalaman. Jadi, kalau bukan saya, siapa lagi?” katanya.
Pada 2013, ia mengawali pelayanan di Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan. Tidak ada siapa pun yang dikenalnya. Ia datang ke wilayah yang tidak terjangkau layanan puskesmas.
Selang beberapa lama kemudian, ia bergabung dengan organisasi nonprofit, Clinton Foundation, untuk melayani persoalan HIV di Papua. Setelah tiga tahun, ia bekerja selama tiga bulan dengan Organisasi Kesehatan Dunia dan kemudian menjadi tenaga kesehatan bagi Siloam Group sampai sekarang.
Setelah bergabung sebagai dokter di Siloam Group, ia memperluas layanan di pedalaman Papua dengan membentuk tujuh klinik kesehatan. Sebanyak empat klinik di Papua Pegunungan, dua klinik di Papua Selatan, dan satu klinik di Papua Tengah. Di ketujuh titik itu, ia menjadi satu-satunya dokter yang melayani masyarakat umum. Barulah pada satu tahun terakhir ada satu dokter yang membantu.
Berbagai tantangan dihadapi selama pengabdiannya. Tidak hanya sekali dua kali ia harus dievakuasi karena masalah keamanan.
Keterbatasan infrastruktur juga menjadi kendala utama yang dihadapi. Beberapa kali ia ditolak. Keinginan untuk kembali ke kota besar pun sempat terbesit di benaknya. ”Namun, saya masih punya beban ketika masih ada pasien, terutama anak yang meninggal karena tidak mendapatkan pertolongan. Itu tidak boleh lagi terjadi. Saya sangat berharap jika ada dokter yang bisa menggantikan saya dan itu harus dokter dari Papua,” katanya.
Kader posyandu
Lain cerita dari Rikha Rumadas (59). Ia menjadi kader posyandu sejak 1994. Tamatan sekolah menengah ekonomi atas itu ingin menjadi kader posyandu karena pengalaman pahit ditolak sebagai PNS.
Saat itu, banyak anggapan bahwa orang asli Papua kurang berkualitas sehingga itu pula yang menjadi alasan mengapa ia tidak diterima sebagai pegawai negeri. Itu sebabnya, ia ingin menghapus anggapan bahwa anak-anak asli Papua kurang berkualitas.
”Untuk membentuk orang-orang yang berkualitas harus sehat dahulu barulah bisa pintar,” katanya.
Ia pun gencar mengedukasi masyarakat mengenai peningkatan gizi, makanan seimbang, kesehatan ibu hamil, dan imunisasi. Sekalipun asli Papua, penolakan warga juga sering ia hadapi. ”Paling susah dulu itu meminta ibu hamil untuk melahirkan di puskesmas. Kami punya adat bahwa ibu yang melahirkan tidak boleh keluar dari rumah,” katanya. Setelah memberikan pemahaman berkali-kali, akhirnya mereka menurut.
Pelayanan yang ia berikan tanpa pamrih. Bahkan, ketika awal membangun posyandu, ia menggunakan uang pribadi. Sebagai nelayan, tentu uang yang dimiliki tidak banyak. Sebagai seorang kader pun ia hanya mendapatkan insentif Rp 200.000 per bulan. Meski begitu, ia tidak pernah memperhitungkan biaya yang harus ia keluarkan. Ia hanya yakin bahwa yang dilakukannya bisa menjadikan anak-anak asli Papua sehat dan berkualitas.
Ketika ditanya harapan bantuan bagi para kader yang bekerja sebagai ujung tombak pelayanan di masyarakat, ia tak meminta untuk diri sendiri, ”Kami hanya butuh alat-alat kesehatan yang bagus. Kami butuh timbangan digital karena selama ini kami harus menggotong timbangan gantung yang berat. Timbangan digital perlu supaya lebih akurat.”
Harapan yang sama pun disampaikan Sri. Tenaga kesehatan harus dipastikan mendapatkan hak yang sesuai. ”Jika haknya sudah dipenuhi, ia pun akan menjalankan kewajibannya dengan baik,” katanya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan, regulasi akan semakin diperkuat untuk memastikan kesejahteraan bagi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia. Pembayaran gaji bagi tenaga kesehatan ASN pun akan dipastikan tidak terlambat. Mekanisme pembayaran akan diubah dari sebelumnya harus melewati pemerintah daerah kini bisa langsung dikirim melalui masing-masing rekening dari tenaga kesehatan.
Selain itu, monitoring dari pembayaran jasa pelayanan bagi tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan juga akan dilakukan secara rutin setidaknya setiap tiga bulan sekali. Bagi pemerintah daerah yang belum menuntaskan pembayaran jasa pelayanan bagi tenaga kesehatan di wilayahnya, dana alokasi khusus fisik tidak akan dibekukan sementara sampai pembayaran jasa pelayanan dituntaskan.
”Kami juga akan terus dorong agar tenaga kesehatan yang masih honorer bisa diangkat menjadi ASN atau tenaga P3K (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Khusus bagi tenaga kesehatan yang mendapatkan penghargaan ini juga akan mendapatkan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri serta kami daftarkan sebagai tenaga kesehatan pendamping haji,” tutur Budi.