Tiga Dekade Penyelamatan Badak Sumatera
Hampir tiga dekade Suaka Rhino Sumatera menjadi tempat penyelamatan badak sumatera. Proses panjang ikhtiar konservasi satwa kunci itu akhirnya berhasil melahirkan bayi-bayi badak.
Suaka Rhino Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, telah 27 tahun menjadi tempat penyelamatan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Kelahiran empat bayi badak di SRS menjadi jawaban keberhasilan penangkaran alamiah dipadu dengan campur tangan manusia.
Menyusuri kawasan SRS seolah berada dalam dunia lain, seperti tergambar pada film Jurassic Park. Kawasan untuk penangkaran badak sumatera ini berada dalam Zona Inti TN Way Kambas dan dikelilingi pagar berlistrik.
Untuk mencapai lokasi, perjalanan menembus hutan belantara sejauh 10 kilometer. Jalurnya yang berbatu kasar itu sekaligus menjadi jalur pelintasan satwa liar.
Pohon-pohon setinggi 40 meter dan ratusan spesies tumbuhan hutan berjejer serta menjulang di kanan dan kiri jalan. Beberapa satwa liar, seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), siamang (Symphalangus syndactylus), dan beruk (Macaca nemestrina) bergelantungan di antara dahan pohon. Ada juga melintas di pinggir jalan. Primata dan burung liar saling bersahutan memecah keheningan hutan.
SRS Way Kambas dibangun pada 1996 atas izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. SRS dikelola Yayasan Badak Indonesia yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk menyelamatkan badak sumatera yang saat ini populasinya diperkirakan kurang dari 100 ekor.
Sumadi Hasmaran yang menjabat sebagai Manajer Lapangan SRS TNWK adalah orang yang ada di balik layar pembangunan area penangkaran badak tersebut. Kala itu, ia ditugaskan untuk membuat konsep dan desain kandang badak serta membangun SRS.
”Ketika pertama kali masuk ke dalam hutan untuk menentukan titik pembangunan SRS, saya masih menemukan tapak kaki badak. Saat itu saya yakin di dalam hutan TNWK masih banyak badak sumatera,” ucap Sumadi saat ditemui di SRS, Sabtu (7/10/2023).
Sumadi yang sebelumnya bekerja di Taman Safari Indonesia pun membuat desain kandang badak berbentuk lingkaran di area sekitar seluas 100 hektar. Kandang besar berbentuk lingkaran besar itu kemudian disekat-sekat menyerupai potongan ”pizza” menjadi kandang yang lebih kecil dengan luas masing-masing 10 hektar.
Setiap badak menempati kandang seluas 10 hektar itu selama 6-7 bulan. Setelah itu, badak akan dipindahkan ke kandang serupa yang ada di sebelahnya. Ini dilakukan agar ruang jelajah dan pasokan makanan untuk badak tetap terjaga.
Di bagian tengah kandang besar dibuat juga kandang kawin berbentuk lingkaran yang lebih kecil. Saat masa kawin, badak yang hidup soliter di kandang masing-masing akan dipertemukan di kandang kawin tersebut.
Tiga badak
Pada awal beroperasi tahun 1998, hanya ada tiga badak yang dirawat di SRS, yakni Torgamba, Dusun, dan Bina. Namun, populasi badak di SRS berkurang menjadi dua ekor setelah badak Dusun mati pada 2001.
Harapan untuk keberlanjutan program breeding badak di SRS kembali muncul setelah dua badak betina, yakni Ratu dan Rosa, ditranslokasi ke sana. Ratu merupakan badak asli TNWK yang keluar ke permukiman warga pada 2005. Sementara Rosa adalah badak asal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang nasibnya seperti Ratu.
Untuk mendukung program pembiakan badak di SRS, Andalas, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Amerika Serikat, dipulangkan ke Indonesia tahun 2007. Di SRS, Andalas dikawinkan dengan Ratu hingga beranak Andatu yang sangat dinanti banyak pihak.
Kelahiran Andatu pada 23 Juni 2012 menjadi penanda keberhasilan konservasi badak pertama di Asia setelah 124 tahun lamanya. Sebelumnya, kelahiran badak sumatera di penangkaran yang terakhir terjadi di Calcutta Zoo, India, pada 1889.
Kelahiran badak sumatera kedua di SRS pada 12 Mei 2016. Perkawinan badak Ratu dan Andalas kembali menghasilkan keturunan seekor badak betina yang diberi nama Delilah.
Andatu yang mulai dewasa lalu dikawinkan dengan Rosa. Proses perkawinan badak itu dilakukan berulang kali karena Rosa mengalami delapan kali keguguran. Rosa akhirnya hamil dan melahirkan anak pertamanya, seekor badak betina yang diberi nama Sedah Mirah pada 24 Maret 2022.
Kabar baik bagi dunia konservasi badak kembali terdengar ketika Ratu melahirkan anak ketiganya pada 30 September 2023. Anak badak betina itu tumbuh sehat dalam perawatan tim dokter hewan dan petugas.
Tim Kompas berkesempatan melihat langsung kondisi anak badak di kandang perawatan, Jumat-Sabtu (6-7/10/2023). Meski begitu, para jurnalis harus lebih dahulu melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 untuk mencegah menyebarkan virus. Tim diizinkan masuk setelah menunjukkan hasil tes negatif Covid-19.
Di dalam kandang, anak badak yang baru menginjak usia delapan hari sibuk berkeliling kandang mengikuti induknya. Sesekali, ia ikut berkubang di lumpur dan bermain adu kepala dengan sang induk. Anak badak juga tampak menyusu hampir setiap satu jam sekali.
Dengan kelahiran badak betina itu, total sudah ada empat ekor badak lahir di SRS. Adapun jumlah badak yang dirawat di SRS sebanyak sembilan ekor. Selain Ratu dan anaknya, badak betina lain ialah Bina, Rosa, Delilah, dan Sedah Mirah. Sementara badak jantan ada Andalas, Andatu, dan Harapan.
Baca juga: Mengurai Tantangan Konservasi Badak Sumatera
Kini, area SRS juga diperluas menjadi 250 hektar karena jumlah badak terus bertambah. Selain kandang penangkaran area koridor badak, SRS juga mempunyai fasilitas lain, di antaranya laboratorium dan sarana penunjang berupa kantor, mes untuk dokter dan petugas, tempat ibadah, dapur, toilet, hingga pos jaga.
Jejak badak
Keberadaan sembilan badak yang dirawat di SRS bisa jadi menjadi jejak terakhir keberadaan badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas. Sebelum 2015, kamera jebak yang dipasang di hutan masih dapat menangkap keberadaan satwa endemik itu. Kala itu, jumlah badak liar di TNWK diperkirakan masih sekitar 20 ekor.
Namun, survei terbaru pada 2022 menunjukkan, jejak keberadaan badak sumatera yang hidup liar di dalam kawasan hutan TNWK tidak terlihat. Saat itu, survei dilakukan dengan memasang kamera jebak (trap) di sejumlah titik. Selain itu, tim yang jumlahnya ratusan orang diterjunkan untuk berpatroli dan menyisir kawasan hutan demi mencari jejak keberadaan satwa liar tersebut.
Kendati begitu, keberadaan badak liar di dalam hutan tidak terlihat. Jejak sekunder berupa feses atau tapak badak juga tidak ditemukan.
Ahli Muda Pengendali Ekosistem Hutan KLHK Dedi Candra menuturkan, hasil survei di TNWK pada 2022 memang belum menemukan jejak keberadaan badak sumatera. Kendati begitu, jejak kematian dan indikasi perburuan satwa liar itu juga tidak ditemukan.
Karena itulah diperlukan metodologi survei yang lebih baik untuk bisa mendeteksi keberadaan badak sumatera di dalam hutan. ”Harapan kita badak sumatera masih ada, kita akan benar-benar menyisir kawasan TNWK ini,” kata Dedi seusai kegiatan sosialisasi dan konsolidasi wilayah TNWK di Lampung Timur, akhir Agustus 2023.
Pelaksana Tugas Kepala TNWK Hermawan menuturkan, aktivitas perburuan liar dan kebakaran hutan masih menjadi tantangan terbesar dalam upaya perlindungan satwa liar. Untuk menekan aktivitas ilegal itu, tim patroli gabungan diterjunkan untuk menjaga kawasan hutan.
Way Kambas merupakan benteng penyelamatan badak sumatera. Di dunia, populasi badak sumatera diperkirakan tinggal 80 ekor. Selain di Lampung, badak sumatera juga ada di Aceh dan Kalimantan.
Manajer Program Yayasan Badak Indonesia Arief Rubianto mengatakan, upaya penyelamatan badak, seperti yang dilakukan di SRS TN Way Kambas, memang tidak mudah dan murah. Kebutuhan dana untuk seluruh operasionalisasi SRS mencapai Rp 5 miliar per tahun.Seluruh dana ini diperoleh dari sumbangan donatur dan lembaga, termasuk perguruan tinggi.
Selain penangkaran badak di SRS, YABI juga menjalankan program Rhino Protection Unit (RPU) dengan melakukan patroli pengamanan untuk mendukung upaya penyelamatan badak sumatera. Saat ini sudah ada 9 unit RPU yang aktif melakukan patroli pengamanan hutan di TNWK.
Kelahiran empat badak di SRS, katanya, merupakan capaian dari sebuah proses panjang yang membutuhkan tahapan pembelajaran. Pengetahuan tentang intensif breeding, memperpendek jarak kelahiran, biobank, serta pengembangan teknologi reproduksi berbantu (assisted reproductive technology) yang telah diterapkan di SRS akan terus dikembangkan untuk percepatan peningkatan populasi badak sumatera.
Menurut dia, model konservasi badak di SRS cukup sesuai untuk upaya penyelamatan badak sumatera di tempat lain. Terbaru, fasilitas serupa akan dibangun di Kabupaten Aceh Timur, Aceh, sebagai ikhtiar penyelamatan badak sumatera yang ada di kawasan ekosistem Leuser.
Baca juga: Di balik kabar baik kelahiran badak sumatera
Menuju tiga dekade upaya penyelamatan badak sumatera di SRS, Arief optimistis akan ada lagi kelahiran badak sumatera di sana. Hingga suatu hari nanti, badak sumatera itu dapat benar-benar dipulangkan ke rumahnya.