Mengurai Tantangan Konservasi Badak Sumatera
Repotnya proses kawin dan besarnya potensi keguguran menjadi tantangan terbesar dalam upaya meningkatkan populasi badak sumatera.
Persoalan yang selama ini masih menjadi teka-teki di dunia konservasi badak itu mulai dapat diungkap oleh para dokter hewan di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Matahari mulai terik saat Zulfi Arsan, koordinator tim dokter hewan di Suaka Rhino Sumatera (SRS), memeriksa kondisi badak Ratu dan bayinya di kandang perawatan, Sabtu (7/10/2023). Di sana sudah ada dua pawang dan seorang petugas paramedis berjaga. Ratu dan anaknya sedang dimandikan menggunakan selang air oleh pawangnya.
Setiba di kandang, Zulfi mengecek data aktivitas badak hasil pengamatan petugas. Setelah itu, ia memandu pawang badak dan paramedis untuk melakukan pemeriksaan kesehatan harian, yakni pengecekan suhu tubuh dan menimbang berat badan.
Petugas meletakkan termometer pada dubur badak. Dari hasil pemeriksaan, suhu tubuh kedua badak itu dalam kondisi normal, berkisar 37-37,2 derajat celsius. Gigi geraham bawah bayi badak juga mulai tumbuh. Badak mungil itu juga sudah mau makan pisang yang diberikan pawang badak.
Badak lalu digiring menaiki papan kayu yang telah dihubungkan dengan alat timbang. Berat badan Ratu tercatat 582 kilogram, sementara bayinya yang baru berusia delapan hari telah mencapai 32,5 kilogram, atau naik 5,5 kg dari berat badan saat lahir.
Kompas mendapat kesempatan melihat langsung kondisi induk dan bayi badak tersebut pada Jumat-Sabtu (6-7/10/2023). Tim Kompas yang masuk atas izin KLHK harus melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 untuk mencegah penyebaran virus. Tim dokter baru memperbolehkan masuk ke area kandang badak setelah hasil tes PCR Covid-19 negatif.
Ratu dan anaknya berada di dalamboma(kandang semialami ukuran 30 meter x 30 meter di dalam SRS), tempat Ratu melahirkan. Di samping boma, terdapat ”kandang” lebih besar di dalam hutan.
Anak badak yang baru menginjak usia delapan hari itu sibuk berkeliling kandang mengikuti induknya. Sesekali, ia ikut berkubang atau bermain adu kepala dengan sang induk. Anak badak itu juga tampak menyusu hampir setiap satu jam sekali.
Penjagaan yang ketat yang diterapkan di SRS bukan tanpa alasan. Untuk menghasilkan seekor anak badak saja, dokter hewan dan petugas harus berjuang dan bekerja keras mulai dari ”mencomblangkan” badak hingga mengawal proses kelahirannya.
Sulit
Koordinator tim dokter hewan SRS di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Zulfi Arsan, menjelaskan, upaya mendongkrak populasi badak memang tidak mudah. Proses perkawinan badak hanya terjadi saat betina dalam keadaan birahi dan masa subur. Sementara masa kawin badak hanya satu hari.
Dalam waktu 24 jam, badak jantan dan betina harus dipertemukan di dalam kandang untuk melakukan ”ritual” sebelum kawin. Badak jantan akan saling beradu cula untuk merangsang proses ovulasi badak betina. ”Badak betina perlu rangsangan dari luar untuk bisa membuat sel telur yang sudah matang keluar dari indung telur dan siap dibuahi,” kata Zulfi.
Proses perkawinan badak hanya terjadi saat betina dalam keadaan birahi dan masa subur. Sementara masa kawin badak hanya satu hari.
Di situlah kecermatan dan insting para dokter hewan dalam mengamati perilaku badak yang mulai agresif amat penting. Jika badak dipertemukan dalam waktu yang tidak pas, badak yang mempunyai sifat soliter justru akan saling berkelahi hebat dan proses kawin tidak akan berhasil.
Saat ini, tim dokter di SRS sudah melakukan USG rutin untuk mengecek ukuran folikel badak betina. Saat diameter folikel sudah mencapai 2 sentimeter, itu bisa menjadi penanda badak betina memasuki masa birahi dan siap dikawinkan dengan badak jantan.
Selain proses kawin yang rumit, badak betina juga sangat rentan mengalami keguguran pada awal kehamilannya. Badak Ratu tercatat sudah mengalami keguguran tiga kali, sementara badak Rosa mengalami keguguran hingga delapan kali.
Karena alasan itulah tim dokter hewan SRS selalu memberikan hormon penguat kandungan untuk badak selama masa hamil. Dari pengalaman Zulfi yang telah mendampingi kelahiran tiga badak di SRS, pemberian hormon itu efektif untuk menjaga janin badak. ”Usia kehamilan badak baru bisa dikatakan aman setelah empat bulan,” ujar Zulfi.
Badak umumnya melalui masa hamil selama 15-16 bulan atau sekitar 480 hari. Selama masa hamil itu, dokter juga memberikan makanan yang bervariasi dan vitamin agar kondisi induk badak sehat hingga masa persalinan.
Menurut dia, tim dokter sudah menemukan pola yang pas untuk mengatur jarak kehamilan badak betina. Ia optimistis, badak betina bisa diatur untuk bisa hamil dalam kurun waktu 3-4 tahun. Tiga badak jantan yang ada di sana juga berada pada masa produktif.
Saat ini, tim dokter terus melakukan terobosan baru supaya badak sumatera bisa bertambah populasinya. Sperma tiga badak sumatera terus diperiksa untuk mengetahui tingkat kemampuan reproduksinya. Tim dokter juga tengah melakukan tes DNA badak-badak yang ada di SRS untuk merancang genetik badak yang akan lahir di masa depan.
Baca juga: Seekor Badak Sumatera Lahir di Taman Nasional Way Kambas
Sejak 1996
SRS Way Kambas adalah lembaga nirlaba yang berkonsentrasi pada upaya penangkaran dan pengembangbiakan badak secara alamiah dipadu dengan campur tangan manusia. SRS dibangun tahun 1996 dan dikelola di bawah Yayasan Badak Indonesia.
Penangkaran yang dibangun atas izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan ikhtiar menyelamatkan satwa endemik yang populasinya kurang dari 100 ekor di dunia.
Pada awal beroperasi tahun 1998, hanya ada tiga badak yang dirawat di pusat pengakaran badak itu, yakni Torgamba, Dusun, dan Bina. Namun, populasi badak di SRS berkurang menjadi dua ekor setelah badak Dusun mati pada 2001.
Harapan untuk keberlanjutan program breeding badak di SRS kembali muncul setelah dua badak betina, yakni Ratu dan Rosa, ditranslokasi ke sana. Ratu merupakan badak asli TNWK yang keluar ke permukiman warga pada 2005. Sementara Rosa adalah badak asal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang nasibnya seperti Ratu.
Untuk mendukung program pembiakan badak di SRS, Andalas, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Amerika Serikat, dipulangkan ke Indonesia pada tahun 2007.
Di SRS, Andalas dikawinkan dengan Ratu hingga beranak Andatu yang sangat dinanti banyak pihak. Kelahiran Andatu pada 23 Juni 2012 menjadi penanda keberhasilan konservasi badak pertama di Asia setelah 124 tahun lamanya.
Sebelum Andatu lahir, kelahiran badak Sumatera di penangkaran yang terakhir terjadi di Calcutta Zoo, India, pada 1889. Tak heran, begitu Ratu hamil lagi setelah dua kehamilan sebelumnya keguguran, tim dokter dari Indonesia, Australia, AS, dan Badan Konservasi Dunia (IUCN) mencurahkan perhatian khusus.
Setelah Andatu, kelahiran badak sumatera kedua di SRS terjadi pada 12 Mei 2016. Perkawinan badak Ratu dan Andalas kembali menghasilkan keturunan seekor badak betina yang diberi nama Delilah.
Setelah Andatu mulai dewasa, badak jantan itu mulai dikawinkan dengan Rosa. Proses perkawinan badak itu dilakukan berulang kali karena Rosa mengalami keguguran hingga delapan kali. Rosa akhirnya hamil dan melahirkan anak pertamanya pada 24 Maret 2022.
Kabar baik bagi dunia konservasi badak kembali terdengar ketika Ratu melahirkan anak ketiganya pada 30 September 2023. Anak badak betina itu tumbuh sehat dalam perawatan tim dokter hewan dan petugas.
Dengan kelahiran badak itu, saat ini total sudah ada empat badak yang lahir di SRS. Adapun jumlah badak yang dirawat di SRS sebanyak sembilan ekor. Selain Ratu dan anaknya, badak betina lain ialah Bina, Rosa, Delilah, dan Sedah Mirah. Sementara badak jantan ada Andalas, Andatu, dan Harapan.
Manajer Lapangan SRS TNWK Sumadi Hasmaran menuturkan, SRS dibangun di zona inti TN Way Kambas yang dikelilingi pagar berlistrik. Kawasan seluas 250 hektar itu dibangun di zona inti agar badak tetap merasakan hidup di habitat aslinya. Hal ini amat penting untuk mendukung upaya peningkatan populasi badak karena satwa itu bersifat soliter.
Setiap badak menghuni kandang seluas 10 hektar. Setelah 6-7 tujuh bulan menetap di satu kandang, badak akan dipindah ke kandang di sebelahnya yang luasnya juga 10 hektar. Ini dilakukan agar badak mendapat ruang jelajah dan pakan yang optimal.
Menurut dia, komitmen dan ketekunan para petugas yang bekerja di SRS menjadi salah satu kunci keberhasilan konservasi badak di sana. Selama lebih dari dua dekade, tim dokter hewan SRS mempelajari seluk-beluk cara mengembangbiakkan badak secara alami. Para pawang juga merawat badak dengan penuh kasih sayang.
Pelaksana Tugas Kepala Balai TNWK Hermawan mengatakan, pihaknya turut mendukung upaya konservasi satwa liar di TNWK dengan menjalankan program patroli untuk mengamankan kawasan hutan. Hingga saat ini, aktivitas perburuan liar dan pembakaran hutan masih menjadi tantangan bagi upaya konservasi satwa liar di TNWK.
TNWK menjadi benteng pelestarian beberapa satwa langka, khususnya badak sumatera dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Selain badak dan gajah, di dalam hutan TNWK juga masih terdapat sejumlah satwa kunci lainnya, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan tapir (Tapirus indicus). ”Saya berharap anak badak bisa lahir setiap tahun di SRS TNWK,” ujarnya.
Ketika mengumumkan kabar kelahiran badak di SRS beberapa waktu lalu, Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar menyebut, kelahiran anak badak itu menjadi kabar gembira dari dunia konservasi Indonesia. Ia berharap, ada kabar bahagia dari kelahiran badak sumatera berikutnya.
Lalu, akankah anak badak kembali lahir di SRS tahun ini atau tahun depan? Kita tunggu saja kabar baik selanjutnya dari Menteri KLHK.
Baca juga: Di Balik Kabar Baik Kelahiran Badak Sumatera