Pindahnya sebagian warga Rempang yang setuju direlokasi ke hunian sementara menyisakan persoalan. Konflik horizontal di kampung-kampung justru semakin meruncing.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
BATAM, KOMPAS — Rencana pemerintah merelokasi lima kampung tua memantik konflik horizontal di Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Kerukunan warga semakin retak setelah sejumlah orang meninggalkan kampung untuk pindah ke hunian sementara. Akademisi menilai perlunya mediator dari kelompok independen untuk menjembatani kepentingan warga dengan pemerintah.
Pembangunan tahap I Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City akan dikerjakan di lahan seluas 2.300 hektar. Di lokasi itu akan dibangun kawasan industri terintegrasi. Lima kampung tua yang akan terdampak pembangunan itu adalah Pasir Panjang, Belongkeng, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Warga Kampung Pasir Panjang, Kasino (32), Kamis (12/10/2023), mengatakan, dirinya bersedia menerima tawaran pemerintah pindah ke hunian sementara. Dia yakin hidupnya akan lebih terjamin. Sejak 3 Oktober, ia meninggalkan kampungnya untuk tinggal di sebuah rumah kontrakan di Pulau Batam.
”Kami pilih sewa rumah karena cari lokasi yang dekat dengan tempat saya kerja dan dekat tempat anak sekolah. Kami berharap pembangunan rumah relokasi segera selesai, jadi tidak perlu lama-lama tinggal di Batam,” kata Kasino.
Badan Pengusahaan (BP) Batam menyiapkan dua lokasi relokasi untuk warga, yakni Tanjung Banun di Pulau Rempang dan Dapur 3 di Pulau Galang. Pembangunan hunian relokasi bagi warga di lima kampung yang terdampak pembangunan tahap I Rempang Eco City ditargetkan baru selesai pada 2024.
Selagi menunggu proses pembangunan, warga diberikan opsi tinggal di rumah singgah yang disediakan BP Batam atau menerima uang sewa Rp 1,2 juta per keluarga. Selain itu, warga juga diberi uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala.
Kasino memilih mencari tempat hunian sementara sendiri di Pulau Batam. ”Saya satu keluarga ada empat orang, jadi total dapat Rp 6 juta dari pemerintah. Itu sudah saya terima sebelum pindah,” ujarnya.
Saat masih tinggal di Rempang, pekerjaan Kasino adalah nelayan. Namun, setelah tinggal di Batam, ia berganti profesi menjadi tukang bangunan. Dia diupah Rp 130.000 per hari.
”Kalau ditambah uang tunggu dari pemerintah yang satu kepala Rp 1,2 juta itu, penghasilan saya dalam satu bulan malah lebih besar daripada waktu jadi nelayan,” ucapnya.
Ke depan, Kasino menyatakan, tetap ingin kembali ke Rempang. Namun, ia tidak mau kembali tinggal di kampung lamanya dulu. Ia berharap bisa tinggal di tempat relokasi yang tengah dibangun pemerintah di Dapur 3.
”Kalau yang di Tanjung Banun itu lokasinya enggak strategis, pantainya penuh bakau dan berlumpur. Jadi, saya lebih milih di Dapur 3 karena tempatnya landai dan lebih dekat laut,” katanya.
Warga lain yang sudah pindah ke hunian sementara, Ramadhan (42), juga mengatakan lebih memilih direlokasi ke Dapur 3. Ia merasa kurang nyaman jika harus tinggal di Tanjung Banun yang sudah ditinggali warga lain sejak lama.
”Kalau bisa tinggal di tempat yang baru aja. Enggak enak hati kalau numpang di kampung orang,” ujarnya.
Jumlah warga di lima kampung yang harus direlokasi untuk proyek Rempang Eco City tahap I lebih kurang 950 keluarga. Sebelumnya, Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri Lagat Parroha Patar Siadari mengatakan, lebih dari 70 persen warga masih menolak.
”Kami yakin dengan hal itu karena waktu kami ke lapangan, warga betul-betul spontan berkumpul menyatakan penolakan relokasi,” kata Lagat pada 8 Oktober lalu.
Salah satu warga yang menolak relokasi di Kampung Pasir Panjang, Ishak (57), mengatakan, rencana pemerintah untuk merelokasi warga memicu konflik horizontal di kampung-kampung. Langkah pemerintah mendorong warga pindah ke hunian sementara dinilai tidak menyelesaikan persoalan.
”Rumah-rumah mereka yang sekarang kosong dipakai jadi posko untuk tim terpadu yang setiap hari membujuk kami agar mau direlokasi. Kami yang masih bertahan di kampung jadi semakin resah,” ujarnya.
Warga lain, Didi (43), mengatakan, akibat konflik antarwarga yang memanas itu, warga Pasir Panjang bahkan harus memindahkan lokasi peringatan Maulid Nabi. Sebab, masjid di kampung itu berdiri di lahan warga yang setuju terhadap relokasi.
”Tahun-tahun sebelumnya peringatan Maulid selalu meriah karena kami pasti undang ustaz dari luar untuk ceramah di masjid kampung kami. Tapi, tahun ini peringatan Maulid kami pindahkan ke posko bantuan hukum karena imam masjidnya tanda tangan untuk menyetujui relokasi,” ucapnya.
Dalam kunjungan ke Rempang pada 6 Oktober, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah akan terus berupaya meyakinkan warga agar bersedia untuk digeser. Ia berjanji hak-hak rakyat akan diperhatikan.
Puluhan warga, mayoritas perempuan, menyambut kunjungan Bahlil dengan beragam spanduk penolakan relokasi. Beberapa di antaranya menangis ketika memohon agar pemerintah jangan menggusur kampung yang telah mereka tinggali turun-temurun.
”Tugas kami meyakinkan mereka, tugas kami bicara baik-baik dengan mereka. Yang namanya kami geser orang, kami pindahin dari rumah a ke rumah b pasti prosesnya butuh waktu. Kami semua akan berupaya terus untuk meyakinkan,” ujar Bahlil.
Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Suraya Afif, kehadiran mediator independen diperlukan agar warga mendapat kesepakatan yang adil dalam konflik lahan di Pulau Rempang. Pelibatan tim independen penting agar warga tidak dalam posisi tertekan.
Mediator itu bisa saja lembaga negara, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman, atau lembaga swasta yang memiliki kapasitas. Dalam konteks konflik Rempang, pemerintah tidak bisa melakukan penyelesaian tanpa melibatkan tim imparsial. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kepentingan atau conflict of interest sulit untuk bersikap independen (Kompas, 10/10).