Wapres: Pimpinan Agama di Papua Ambil Peran ”Game Changer”
Para pemimpin agama di Papua bisa berkontribusi mewujudkan kesejahteraan dan keamanan di Papua. Peran mereka, dinilai Wapres Ma’ruf Amin, sangat besar.
Oleh
NASRUN KATINGKA, MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin berdialog dengan pemuka gereja dari Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) dan Papua Christian Centre (PCC). Wapres menekankan peran besar para pemimpin agama di Papua sebagai ”game changer” dalam mewujudkan kesejahteraan dan keamanan di Papua.
”Dalam rangka menjadikan Papua yang lebih sejahtera dan lebih maju, peran para pemimpin, pimpinan gereja, para pendeta itu menjadi kunci atau sekarang kata orang game changer,” ujar Wapres Amin mengawali dialog dengan pimpinan gereja di Jayapura, Papua, Rabu (11/10/2023).
PGGP dan PCC menjadi dua lembaga keagamaan yang rutin mengembangkan forum komunikasi, konsultasi, dan dialog antarpemimpin gereja, serta memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga pemerintah, adat, dan kemasyarakatan di Papua.
Oleh karena itu, Wapres selalu bertemu dengan para pendeta tiap kali melakukan kunjungan kerja ke Papua. ”Karena, menurut saya, pendeta atau para pemimin agama, saya anggap sebagai salah satu pimpinan masyarakat yang memiliki pengaruh yang besar di dalam rangka membimbing dan memberikan pemahaman-pemahaman kepada masyarakat,” ujarnya.
Gereja memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan bermasyarakat di Papua. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya unsur ”wakil-wakil agama” dalam Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Peningkatan jumlah guru
Sementara dalam pertemuan tersebut, pemuka agama juga memberikan sejumlah rekomendasi. Salah satunya di bidang pendidikan tentang peningkatan jumlah guru SD dan PAUD di Papua. Ketua PCC Jhony Banua Rouw berharap sekolah tinggi yang berada di lembaga keagamaan bisa menyelenggarakan pendidikan keguruan demi menghasilkan guru yang berkomitmen.
”Kami melihat perlu ada upaya mencetak guru-guru yang memiliki komitmen. Kami merasa bahwa pengadaan guru ini tidak bisa digantikan dengan program-program lain. Komitmen guru-guru untuk tinggal di pedalaman, kami lihat dari perguruan tinggi lain itu tidak memilikinya,” kata Jhony.
Menanggapi hal tersebut, Wapres menyebut, penetapan Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2023 tentang Program Percepatan Pemenuhan Guru di Provinsi Papua pada 3 Agustus 2023 yang lalu sebagai salah satu terobosan yang sangat mendukung percepatan pembangunan kesejahteraan di Tanah Papua.
”Poin utama dalam peraturan tersebut, yaitu perguruan tinggi non-pemerintah dapat melaksanakan pendidikan guru,” uar Wapres Amin.
Sebagai upaya menindaklanjuti pengadaan guru tersebut, Wapres juga menjelaskan telah dilakukan pembahasan mengenai pengadaan program studi guru SD dan PAUD di Sekolah Tinggi Teologi.
”Direktorat Jenderal Binmas Kristen Kementerian Agama telah melaksanakan pembahasan langkah-langkah menuju pendirian Program Studi Pendidikan Guru SD dan Pendidikan Guru PAUD pada Sekolah Tinggi Teologi,” ujarnya.
Jaringan luas
Dalam kesempatan terpisah, Uskup Jayapura Monsinyur Yanuarius Matopai You menyatakan, pertemuan dengan Wapres Amin semoga bisa menjadi jalan agar pemuka agama semakin dilibatkan dalam upaya pembangunan manusia di Tanah Papua. Menurut dia, gereja memiliki jaringan yang luas hingga ke pelosok Bumi Cenderawasih.
Saat ini, PGGP beranggotakan 58 gereja yang tersebar di seluruh wilayah Papua, dengan 5 rumpun besar, yaitu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Papua, Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-Lembaga Injil di Indonesia (PGLII) Wilayah Papua, Gereja Katolik (Keuskupan Jayapura), Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia (PGPI) Wilayah Papua, dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) Sinode Papua.
Selama ini, kata Yanuarius, masyarakat di berbagai pelosok Papua belum merasakan manfaat dari berbagai kebijakan pemerintah. ”Selama ini kami hanya mendengar ada dana, tetapi masyarakat tidak banyak yang merasakan. Dengan jaringan gereja yang banyak serta beragam program kemanusian, sekaligus bisa menjadi solusi konflik-konflik sosial akibat ketidaksetaraan,” ucapnya.
Hal serupa disampaikan Alberth Yoku, mantan Ketua Sinode GKI yang saat ini menjabat sebagai perwakilan Provinsi Papua di Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Dia menyebut, BP3OKP yang memiliki kewenangan untuk sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, serta koordinasi dana otsus mendorong pelibatan tokoh agama dalam penggunaan dana otsus.
Dia menyoroti penggunaan dana otsus pada periode dua dekade awal, 2001-2021, belum menunjukkan hasil signifikan. BP3OKP yang dibentuk melalui peraturan presiden dalam perubahan kedua UU No 21/2001 ini pun turut mengarahkan pemerintah daerah untuk melibatkan tokoh agama dalam pemanfaatan dana otsus.
Catatan Badan Pusat Statistik, pada 2021 angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua (60,62 persen) dan Papua Barat (65,26 persen) masih berada di bawah rata-rata nasional (72,29 persen). Angka di dua provinsi Pulau Papua tersebut bahkan seakan tertinggal sedekade dengan IPM di kawasan barat Indonesia pada 2012, misalnya Jawa Barat (67,32 persen).
Dengan demikian, dengan momentum perubahan pada periode otsus kedua, 2021-2041, inisiatif perubahan bisa dijalankan pemerintah daerah di Papua. ”Dulu pemda banyak bekerja sama dengan pengusaha (pemanfaatan dana otsus) dan hasilnya belum terlihat. Sekarang coba libatkan tokoh agama. (Tokoh agama) tidak akan mengkhianati negara,” kata Alberth.