Pemilu Beretika dan Bermartabat Hasilkan Pemerintah dan Kekuasaan yang Demokratis
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD menekankan pentingnya menyelenggarakan pemilu yang beretika dan bermartabat. Dengan demikian, menghasilkan pemerintahan dan kekuasaan yang demokratis.
DENPASAR, KOMPAS — Pemilihan umum atau pemilu merupakan salah satu penanda negara demokrasi. Oleh karena itu, pemilu harus diselenggarakan secara beretika dan bermartabat sehingga menghasilkan pemerintahan dan kekuasaan yang demokratis sesuai aspirasi rakyat.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD dalam Kuliah Umum berjudul ”Demokrasi Konstitusional dan Pemilu yang Bermartabat” di Auditorium Widya Sabha, Kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Bali, Selasa (10/10/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Turut hadir dalam kuliah umum yang juga ditayangkan secara daring itu, antara lain, Deputi VI Menkopolhukam, Stafsus Menkopolhukam, Pejabat Gubernur Bali, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi Bali, Wakil Rektor Universitas Udayana Bidang Akademik, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, perwakilan partai, pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta se-Bali, tokoh masyarakat, penyelenggara pemilu di Bali, serta mahasiswa.
Mahfud mengatakan, sistem demokrasi terbukti dan dipandang menjadi sistem yang paling memungkinkan berjalan dan bekerjanya negara sebagai organisasi kekuasaan yang bertujuan untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak asasi manusia. Juga agar dapat mencapai tujuan kemajuan dan kesejahteraan sesuai dengan aspirasi warga negara, serta mampu membatasi kekuasaan untuk meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan.
Baca juga: Membaca Peta Persaingan Elektabilitas Ganjar Pranowo dan Anies
”Demokrasi juga sejak awal menjadi sistem bernegara yang dipilih oleh para pendiri bangsa Indonesia,” kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan, prinsip dasar demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Intinya adalah rakyat yang menetukan haluan negara dan yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas negara.
”Demokrasi adalah mekanisme untuk menyerap aspirasi kebaikan setiap individu menjadi kebaikan publik. Di mana demokrasi memiliki seperangkat nilai sebagai pembatas yang tidak boleh dilanggar, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan dasar manusia, persatuan, kedamaian, dan keadilan,” kata Mahfud.
Nilai-nilai itu, kata Mahfud, menjadi asas dan tujuan pembentukan norma hukum. Oleh karena itu, praktik demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan nilai dan normal.
Pemilu
Menurut Mahfud, pemilu merupakan salah satu mekanisme yang menjadi penanda negara demokrasi. ”Jadi kalau ada negara demokrasi, harus ada pemilu. Ada yang pemilu periodik, ada berkala. Kalau di negara yang sistem pemerintahannya presidensial seperti kita, pemilu lima tahun sekali,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, sebagai mekanisme politik pembentukan pemerintahan dan pergantian kekuasaan, pemilu selalu diharapkan menghasilkan pemerintahan dan kekuasaan yang demokratis sesuai dengan aspirasi rakyat.
”Oleh sebab itu, dalam konstitusi kita ada kata yang paten atau tertulis resmi. Yakni pemilu harus dilaksanakan Luber Jurdil, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itu agar aspirasi rakyat terserap menjadi kesepakatan publik,” kata Mahfud.
Jadi kalau ada negara demokrasi, harus ada pemilu. Ada yang pemilu periodik, ada berkala.
Mahfud menyebutkan, agar proses dan hasil pemilu benar-benar demokratis, pemilu harus dilaksanakan secara bermartabat, yaitu sesuai dengan nilai, etika, dan aturan hukum.
Baca juga: Duet Prabowo Gibran Mencuat Sporadis
Aturan hukum dalam pemilu berfungsi dengan demikian memberikan kepastian prosedur, syarat, dan tahapan sehingga dapat dikuti dan dilaksanakan oleh semua peserta pemilu.
”Pemilu beretika mengajarkan kepada kita agar pemilu jangan hanya dipandang sebagai aturan hukum semata, tetapi mengandung nilai-nilai etik yang harus dilaksanakan. Karena kalau ikut aturan hukum, pemilu bisa dimanipulasi,” kata Mahfud.
Pemilu beretika itu harus dilakukan dan dilaksanakan bersama-sama oleh penyelenggara, peserta, maupun masyarakat. Penyelenggara pemilu telah diikat dengan standar etika berupa kode etik dengan mekanisme penegakannya melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
”Kita sudah punya perangkat lengkap untuk membuat pemilu yang baik,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, perlu terus mendorong dan meningkatkan standar etika peserta pemilu. Dalam berkompetisi hendaknya mengedepankan kepentingan persatuan dan kemaslahatan bersama, dengan menggunakan bahasa dan komunikasi yang santun dan mencerahkan.
Selain beretika, pemilu bermartabat juga harus terwujud. Mahfud mengatakan, dalam pemilu nanti harus dihindari penggunaan kampanye negatif, apalagi kampanye hitam karena berpotensi meningkatkan ketegangan dan perpecahan.
Kampanye negatif dan kampanye hitam juga bersifat manipulatif. Hal itu karena kita mendorong pemilih untuk menentukan pilihan pada satu calon berdasarkan keburukan calon lain, padahal calon yang dipilih itu tidak diketahui lebih baik atau justru lebih buruk.
Masyarakat juga memiliki peran dalam mengedepankan etika, baik dalam menentukan pilihan maupun mendukung calon. Pertimbangan pilihan sangat penting untuk dapat menciptakan iklim rasional dan adu program serta gagasan dalam pemilu.
Menurut Mahfud, pemilu sebagai penanda demokrasi itu, bukan mencari pemimpin yang ideal sempurna. Apalagi yang dipilih adalah manusia. Di mana manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan, campuran antara baik dan jelek. Tetapi ada yang lebih banyak baiknya, ada yang lebih banyak jeleknya.
Baca juga: Selaraskan Visi dan Misi Capres Cawapres dengan Rencana Pembangunan
”Tugas Saudara adalah memilih yang terbaik dari yang tidak ideal. Memilih yang lebih sedikit jeleknya daripada yang lebih banyak jeleknya. Sehingga orang-orang yang jahat, kita halangi bersama agar tidak menjadi pemimpin di negeri ini,” kata Mahfud.
Seusai kuliah umum, Mahfud mempersilakan peserta untuk mengajukan pertanyaan. Dosen Fakultas Hukum Udayana I Dewa Gede Palguna menjadi moderator dalam sesi tersebut. Berbagai pertanyaan disampaikan peserta dalam dua sesi baik yang mewakili organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, calon anggota legislatif, hingga mahasiswa. Di akhir sesi kedua, Mahfud menutup dengan mengajak seluruh yang hadir untuk menyanyikan lagu ”Indonesia Pusaka”.
Andini Ambarita, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, misalnya, menanyakan politik identitas serta pencegahannya. Mahfud menanggapinya dengan mengatakan pemerintah terus berupaya mencegah munculnya politik identitas. Sekaligus tetap menindak tegas kelompok atau orang yang memicu konflik dengan politik identitas.
Wakil Rektor Universitas Udayana Bidang Akademik I Gede Rai Maya Temaja berharap, penyelenggaraan kuliah umum tersebut membuat tidak hanya sivitas akademika Universitas Udayana, tetapi juga masyarakat luas, memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai cara berdemokrasi yang baik di era pemilu mendatang.
”Pemilu merupakan sarana bagi seluruh elemen bangsa untuk memilih putra putri terbaik bangsa yang nantinya akan memimpin negara selama lima tahun ke depan. Beranjak dari hal itu, sudah sepatutnya semua warga negara memahami esensi pemilu sebagai momen pengimplementasian hak untuk memilih dan dipilih,” kata I Gede Rai Maya Temaja.
Menurut dia, sebagai bagian dari hak konstitusional, seluruh elemen bangsa harus memiliki perspektif yang sama untuk mewujudkan pemilu yang bermartabat. Dengan demikian, setiap warga negara diyakini dapat berpikir dengan logis dan penuh rasa aman dalam menentukan calon pemimpin pilihannya.