Puluhan warga Dago Elos, Kota Bandung, Jawa Barat, datang ke Jakarta untuk memperjuangkan hak atas tanah yang sudah mereka tempati selama puluhan tahun.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama tiga hari ke depan, warga Dago Elos, Kota Bandung, Jawa Barat, akan memperjuangkan hak atas tanah yang mereka tempati selama puluhan tahun. Mereka berencana mendatangi Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Komnas HAM, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Mabes Polri, hingga Aksi Kamisan.
Sebanyak 80-an warga datang ke Jakarta menggunakan dua bus. Mereka yang kebanyakan ibu-ibu itu tiba Selasa (10/10/2023) dini hari di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta Pusat.
Kedatangan puluhan warga tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap pihak yang bersengketa dengan mereka. Warga juga ingin menunjukkan mereka tak gentar menghadapi mafia tanah.
Jelang siang, warga mulai bersiap di halaman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Mereka dominan mengenakan pakaian serba hitam. Disiapkan pula deretan payung hitam bertuliskan Stop Penggusuran.
”Dago melawan, ” pekik seorang perwakilan warga. ”Tak bisa dikalahkan, ” sahut warga. Hal yang sama diulang tiga kali untuk membakar semangat warga.
”Kami memperjuangkan hak hidup yang hendak digusur, ” ujar Ketua Forum Dago Melawan Angga Sulistia Putra.
Warga harus mengosongkan Dago Elos di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, setelah kalah oleh gugatan tiga orang yang katanya keturunan Muller dari Belanda, yaitu HHM, DRM, dan PSM. Satu penggugat lain merupakan perusahaan, PT DIG. Mereka menggugat hak atas tanah seluas 6,9 hektar itu berbekal tiga surat tanah dari masa pemerintahan Hindia Belanda yang disebut milik GHM.
Dalam kurun tahun 2016-2017, gugatan trio Muller dan perusahaan itu dikabulkan majelis hakim. Warga sempat banding dan diterima pada tingkat Mahkamah Agung, tetapi peninjauan kembali menggugurkan putusan tersebut.
”Peninjauan kembali memutuskan kami warga ilegal yang tak berhak tinggal di Dago Elos,” kata Angga.
Putusan tersebut membuat 2.000 warga yang mendiami 2 RW dan 4 RT harus pindah. Namun, mereka tetap berjuang mempertahankan hak atas tanah yang telah didiami puluhan tahun.
Sebelum memutuskan ke Jakarta, warga Dago Elos sempat menempuh jalur pidana. Mereka melaporkan dugaan pemalsuan dokumen, keterangan palsu dalam persidangan, dan lainnya ke Polrestabes Bandung. Namun, hal itu berakhir kericuhan yang terjadi pertengahan Agustus lalu.
Selama tiga hari di Jakarta, warga akan menyambangi kementerian dan lembaga. Menurut rencana, pada Selasa ini ke Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan; Rabu (11/10/2023) esok ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kejaksaan Agung, Kompolnas, dan Mabes Polri; dan Kamis (12/10/2023) ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta bergabung dalam Aksi Kamisan, sebelum kembali ke Dago Elos.
Melawan trauma
Masih ada trauma di balik kedatangan warga Dago Elos ke Jakarta. Mereka melawan rasa takut setelah mendapat tindakan represif saat unjuk rasa dari pihak yang mereka sebut sebagai aparat kepolisian, Senin (14/8/2023) malam.
Kericuhan tersebut buntut dari protes warga karena laporan yang mereka ajukan tidak diterima polisi. Unjuk rasa berdampak pada terhambatnya arus lalu lintas sehingga puluhan polisi dengan perlengkapan antihuru-hara merapat ke lokasi.
Kami datang bukan untuk senang-senang. Ada kegetiran. Kami tinggalkan anak, suami, istri, orangtua, dan pekerjaan untuk mempertahankan hak atas tempat kami tinggal.
Mereka bernegosiasi hingga warga dan kuasa hukum sepakat untuk melaporkan kembali dugaan penipuan. Ketika sebagian warga mulai kembali ke rumah masing-masing, terdengar suara tembakan gas air mata. Warga berlarian ke segala arah. Gas air mata tersebar tidak terkendali sehingga terpapar ke warga, termasuk orang tua, perempuan, dan anak-anak.
Gas air mata tersebar tidak terkendali masih jadi perbincangan hangat warga dalam obrolan sehari-hari. Dampaknya terasa pada mental mereka, terutama anak-anak.
”Kami datang bukan untuk senang-senang. Ada kegetiran. Kami tinggalkan anak, suami, istri, orangtua, dan pekerjaan untuk mempertahankan hak atas tempat kami tinggal,” tutur Ristia Kusnadi, salah satu perwakilan warga.
Warga serba terbatas karena kebanyakan pekerja dengan upah harian. Mereka cukup terbantu adanya solidaritas atau donasi dari sejumlah pihak.
Ristia sedikit lega melihat warga masih bisa tertawa di tengah ketidakpastian dan hawa panas Jakarta. Mereka bertekad tetap berjuang meskipun diterpa panas dan terik.
Tim Advokasi Dago Elos Heri Pramono menyebut ada tujuh poin aspirasi warga. Mereka ingin dibentuk satgas mafia tanah untuk kasus Dago Elos sehingga terang benderang serta mengusut kekerasan yang dilakukan aparat.